Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Dua Mawar

22 Oktober 2020   21:42 Diperbarui: 23 Oktober 2020   19:46 3408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by LOGAN WEAVER on Unsplash

Malam baru saja mengubur sisa-sisa senja saat kau datang tanpa senyuman. Matamu sembab dengan kelopak yang terlihat berat. Aku biarkan kau duduk dalam diam di kursi kosong yang sekian lama sabar menunggu kehadiranmu. Tepat di sampingku. 

Ah, halaman rumah tua ini terlalu sunyi tanpa dirimu. Nyaris tak berarti. 

Namun, aku tahu kau pantang memulai percakapan dengan gerutu. Rerintik hujan yang terdengar dari atap seng rumah segera menyelamatkan kesepian kita, aku dan kau haru mendengarkannya. 

Kali ini kau sudah terlalu lama duduk membungkam di kursi. Aku harus lekas mendobrak pintu mulutmu.

"Kau sepertinya baru selesai menangis?" tanyaku dengan suara sengaja lembut.

Kau mengangguk. Matamu kosong memandang bulir-bulir air dari langit yang jatuh ke pot-pot bunga tak jauh di hadapan kita. Bunga-bunga yang kau sendiri menanam dan menatanya. Di sana juga terlihat Seffron, bunga yang konon digandrungi sang ratu Cleopatra. 

"Airmataku memang baru saja kering," katamu. Sorot matamu yang sedari tadi kosong perlahan seperti menyala berisi bunga-bunga api.

"Apa yang membuatmu sedih? Bukankah udara malam begitu sejuk?"

"Aku menangis bukan untuk meratapi kesedihan!"

"Lalu?"

Kau meninggalkan kursi. Berdiri memunggungiku kira-kira satu depa, mendekati pot-pot bunga itu. Aku masih diam menunggu jawabmu meski mulai diganggu rasa ingin tahu. 

Kau elus-elus Marigold kuning tua yang baru tadi pagi kau letakkan di antara pot-pot bunga itu. Orang-orang Meksiko menyebutnya "chempasuchil". Bunga kematian. Di sana mereka merayakannya sebagai "Dia de los Muertos". 

"Satu jam sebelum berangkat ke sini, aku sudah mendapat kabar tentang keberadaan Fatiha."

"Oh, ya! Dimana?" Aku menyusul meninggalkan kursi dan berdiri di sisi Mawar Sukma, perempuan yang setiap waktu namanya bergetar di hatiku. Meskipun Mawar Sukma belum juga memutuskan kapan kami akan merayakan pernikahan karena masih sibuk mengadvokasi petani-petani yang desanya diserang calo-calo tanah perusahaan tambang.  

"Karena itulah aku menangis. Airmataku tumpah karena aku sudah tidak tahan menyabari kebencian atas perlakuan mereka terhadap Fatiha!"

Mawar Fatiha adalah sahabat Mawar Sukma, yang tiba-tiba menghilang seusai demonstrasi kemarin siang. Seharian semalaman tak kunjung pulang. 

"Dimana Fatiha sekarang?" Ku ulangi pertanyaanku.

"Di kantor polisi. Mereka ternyata menangkapnya. Bahkan Fatiha belum bisa dijenguk siapapun sampai waktu yang mereka tentukan sendiri."

Aku terperangah. Aku pandangi Marigold yang masih dalam elusan Mawar Sukma. Negeri ini rasanya makin menyebalkan. Ribuan orang sudah ditangkap. Aku bahkan nyaris ditangkap dalam demonstrasi itu seandainya tidak berontak bahwa aku tidak layak ditangkap. 

Aku berkata bahwa aku hanya ingin menyuarakan hak-hak rakyat tanpa senjata. Bahwa aku bukan perusuh seperti yang mereka tuduh. 

"Saya bukan pemberontak! Saya hanya manusia culun yang mencoba berani mengambil inisiatif demonstrasi karena pintu-pintu nurani dan akal sehat ditutup rapat-rapat. Mereka itu pembohong yang lebih lembut dari belut!" Kataku setengah berteriak di depan orang-orang bersenjata berwajah beringas kala itu. 

Sekarang Mawar Fatiha yang mereka tangkap. Aku yakin penangkapan itu tindakan represif yang panik dan sembrono. Biasanya, di balik tindakan represif kaki tangan penguasa, pasti terdapat borok. 

Padahal, aku adalah saksi bagaimana gigihnya Mawar Fatiha melawan ketidakadilan dengan damai. Mawar Fatiha, seperti juga Mawar Sukma adalah pengagum manusia yang paling takut menghadapi kekerasan, yakni Mohamdas Karamchand Gandhi. 

Kedua perempuan itu pejuang yang lembut, yang menolak kekerasan, tapi juga menolak takut terhadap laku ketidakadilan. 

Sebelum demo kemarin, aku dengar sendiri Mawar Fatiha berorasi tentang "keteguhan tanpa kekerasan", bahkan dia mengutip kata-kata Gandhi: "Aku berdiri, namun hatiku tenggelam hingga ke sepatu botku."

Aku masih berdiri tertegun. Mawar Sukma kembali lebih dulu ke kursi. Suara hujan yang makin deras sekonyong-konyong memuakkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun