Mohon tunggu...
sang cenderawasih
sang cenderawasih Mohon Tunggu... Freelancer - penulis di saat sepi

penikmat kopi, penyuka keindahan alam, pemusik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menanti Sentuhan Negara dalam Rasialisme dan Stigmatisasi Rasial

16 Juni 2020   12:36 Diperbarui: 16 Juni 2020   12:56 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atas nama tuntutan nurani para korban rasisme, negara wajib hadir untuk membela hak-hak ke-7 tahanan rasisme, masing-masing: Irwanus Uropmabin (dituntut 15 tahun penjara), Buchtar Tabuni (17 tahun penjara), Steven Itlay (15 tahun penjara), Agus Kossay (15 tahun penjara), Alexander Gobay (10 tahun penjara), Fery Kombo (10 tahun penjara), dan Hengki Hilapok (5 tahun penjara) serta ratusan korban rasisme lainnya yang hingga kini masih ditahan dan mendekam di penjara, di berbagai daerah di Papua.

Mari kita dengan jujur melihat kenyataan ini. Perlawanan rakyat Papua adalah simbol perlawanan terhadap rasisme di Indonesia. Sebab, sampai kapanpun jika hukuman bagi pelaku rasisme masih rendah, maka rasisme akan terus mencemari Bumi Pancasila.

Jika hukum sungguh dijadikan panglima, maka atas nama kebenaran, keadilan dan martabat hukum, pengenaan Pasal Makar sejatinya dianulir. Sebab, atas nama keadilan bagi suara kaum tak bersuara (voice of the voiceless), niscaya kebenaran akan menemukan jalannya. Karena kebenaran tidak pernah salah.

Kita perlu belajar dari Amerika Serikat terkait tindakan rasisme yang kini menjadi gelora demostrasi massal, menuntut keadilan atas meninggalnya salah seorang warga kulit hitam AS, George Floyd. Presiden Donald Trump akhirnya sadar bahwa kekuatan rakyat lebih dashyat dari opsi dirinya melegitimasi kekuasaan.

Pada akhirnya, jangan ada ruang toleransi terhadap segala bentuk rasisme dan diskriminasi di Persada Nusantara tercinta.

Jika para tahanan yang sedang menanti putusan di Balikpapan, pada akhirnya menjalani hukuman, maka timbul pertanyaan, sejauh mana tindakan besar negara untuk mengusir tindakan-tindakan rasisme di Indonesia?

Mari, kita melihat dengan jujur kenyataan rasisme, jangan hanya dengan kacamata Jakarta, tetapi juga dari kacamata Papua. Sudah terlalu lama anak-anak Papua hidup dalam bayang-bayang rasisme. Jangan lagi kita membenamkan semakin dalam tangisan warga bangsa di tanah Papua yang murni berjuang untuk menghapus rasisme di Indonesia.

Sebagai sesama anak bangsa, kita perlu bersama-sama merenungkannya di bulan peringatan Pancasila ini : Apakah adil jika mereka yang bertindak rasis dihukum ringan, sementara mereka yang menjadi korban rasisme justru dihukum sangat berat?

Kini, kita menanti sentuhan negara dalam mendukung warga bangsa yang bergerak memprotes tindakan rasisme di Indonesia.

Semoga.

Penulis : Mervin S.Komber

 Pendiri Pasific Studies, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun