Mohon tunggu...
sang cenderawasih
sang cenderawasih Mohon Tunggu... Freelancer - penulis di saat sepi

penikmat kopi, penyuka keindahan alam, pemusik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menanti Sentuhan Negara dalam Rasialisme dan Stigmatisasi Rasial

16 Juni 2020   12:36 Diperbarui: 16 Juni 2020   12:56 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di belahan dunia Barat, emosi publik terhadap diskriminasi rasial bukan hanya menjadi gerakan kelompok tertentu, melainkan menjadi gerakan massal. Semua elemen mengutuk keras tindakan rasial karena warga memahami akibat yang timbul dari pembiaran rasisme.

Dalam konteks Papua, protes serupa menjadi tanggung jawab orang Papua di tanah Papua semata, protes rasisme berjalan dalam lorong nan sunyi, di mana masyarakat Papua yang adalah korban rasisme merasa bertanggung jawab atas diskriminasi yang terjadi. 

Nyanyian sendu para korban rasisme di Tanah Papua semakin tenggelam dibalik pengenaan pasal makar. Sejatinya, teriakan dari Papua adalah ungkapan panjang yang merefleksikan sebuah pertanyaan, sampai kapan kita dianggap berbeda karena fisik?

Kondisi ini kontras dengan adanya untaian protes anak bangsa akan kasus rasisme di Amerika Serikat. Debu di seberang jalan terlihat jelas ketimbang batu di mata sendiri.

Menangkal Stigmatisasi Rasial; Menanti Sentuhan Negara

Rasionaitas objektif mutlak ada demi terciptanya sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, teratur, berkeadilan, berperikemanusiaan dan berkeadaban. Dominasi subjektif di balik stigmatisasi rasial pada hakikatnya cenderung dibangun (dipaksakan) guna melegitimasi kewenangan kekuasaan tertentu dengan tujuan untuk meruntuhkan dan menggantikan tatanan struktur yang telah menjadi acuan luhur kehidupan berbangsa dalam garis konstitusional.

Rasisme dalam narasi stigmatisasi rasial, di satu sisi cenderung menjadi anti-tesis baru yang justru menimbulkan kontroversi dan paradoks, karena mengabaikan keutamaan universal (HAM) dan menegaskan status quo diatas klaim dominasi mayoritas sebagai kebenaran mutlak. 

Pada sisi yang lain, jika stigmatisasi rasial terus dipelihara dan tanpa adanya penegakan hukum demi efek jera dan perlindungan korban rasisme, maka negara sedang membangun tembok baru dan membiarkan potensi paradigma radikalis menggeser substansi kebhinekaan yang menjadi payung sesama anak bangsa dalam melestarikan budaya bangsa.

Oleh karena itu, guna menangkal stigmatisasi rasial dan menegaskan status quo, sudah saatnya negara wajib hadir secara nyata, memberikan dukungan atas nama kebhinekaan kepada tahanan rasisme yang menjadi korban pengenaan pasal makar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Balikpapan.

Bukankah tanpa ucapan rasis tak mungkin ada tindakan unjuk rasa besar-besaran di tanah Papua. Bukankah warga Papua tumpah ruah di jalan raya karena para korban rasisme di tanah Papua menanti sentuhan negara untuk hadir sekaligus menegaskan bahwa rasisme dilarang tumbuh dan berkembang di atas bumi Pancasila.

Sangat mungkin, dalam konteks kasus rasisme akut, hukum cenderung dibenturkan sedemikian, sehingga logika hukum sarat kontroversi menjadi tontotan narsis di balik esensi kasus rasisme sebagai legal standing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun