Saat ini, di sini.
Jiwaku bergolak, anganku terbang melayang menembus batas kemampuanku.
Dengan jelas kulihat dia keluar dari ragaku, bergerak ke atas menuju suatu tempat yang belum pernah kusaksikan.
Samar-samar kulihat suasana pagi nan sejuk, rerumputan basah oleh pelukan sang embun, kabut tipis membelai kulitku. Aku berdiri di tengah jalan desa, para penduduk beranjak ke ladang. Di bahu para lelaki terdapat pacul yang siap merobek tanah, tangan mereka menenteng arit yang bergerak seirama langkah kaki. Di belakang, para ibu dan perempuan dewasa mengikuti sambil menggendong bakul-bakul setianya.
Wajah mereka sangat ceria, tampak harapan-harapan indah akan kehidupan bersahaja.
Aku berjalan melawan arah mereka, menikmati pemandangan indah nan menawan, rumah-rumah tertata apik dan rapi. Aku terus melangkah, tak sejengkalpun kulewatkan. Belum pernah aku menjumpai pemandangan yang menggoda imanku tuk berlama-lama di sini.
Di depan terlihat beberapa anak berjalan beriringan sambil bercanda. Kupercepat langkahku dan berusaha mendekati mereka. Masing-masing anak membawa bungkusan di tangan mereka, entah apa isinya.
Selamat pagi anak-anak! kusapa mereka dengan penuh harap. Tak ada yang menoleh, tak ada yang mendengarku.
Mereka berbelok ke arah salah satu rumah besar khas jawa, halamannya luas dengan hamparan rumput hijau dan rapi. Beberapa anak lainpun sedang menuju rumah itu. Langkah kaki kuhentikan di depan teras. Puluhan anak-anak dengan tertib mengambil tempat, masing-masing sibuk dengan bungkusan yang dibawanya. Rupanya benda yang dibungkus rapi dengan kain batik itu berisi sabak dan grib. Pemandangan di depanku sungguh menakjubkan, mereka sungguh ceria menanti sesuatu. Raut wajah mereka sedang menanti kehadiran sosok di tengah-tengah mereka.
Terdengar pintu utama terbuka, serentak anak-anak berpaling ke arah pintu.
Seorang Perempuan dengan balutan kebaya dan jarik melangkah ke arah anak-anak yang sudah tidak sabar akan kehadirannya. Perempuan ini sungguh mempesona, kulit terawat dan bersih, tatapan mata yang tegas, hidung mancung, postur tubuhnya anggun berwibawa. Mata ini tersihir oleh pesonanya.
Sugeng enjang,
Perempuan itu berdiri di depan, perhatian anak-anak tertuju kepadanya.
Aku menyimak interaksi mereka walau tidak semua bahasanya kupahami, namun kutangkap intisari dari pemandangan yang ada di depanku. Perempuan itu berbicara banyak hal, tentang kehidupan, tentang alam, tentang keyakinan, tentang masa depan, tentang hak-hak perempuan.
Aku berdiri menyimak, ada rasa ingin mendekat dan duduk bersama anak-anak. Tetapi jiwaku enggan, takut mengganggu konsentrasi mereka.
Matahari merangkak menuju ubun-ubun. Perempuan itu memberi tanda jika pertemuan segera berakhir. Anak-anak merapikan bungkusan mereka, satu persatu menyalami Perempuan itu dan meninggalkan tempat ini.
Kuberanikan jiwa ini bergerak mendekati Perempuan di depanku. Beliau menatapku dengan seksama, ada rasa gundah dan setumpuk kecewa di benaknya.
Sugeng siang. Maaf... apakah ibu adalah Kartini?
Ya... betul..., Saya paham apa maksud kedatangan saudara dan siapa saudara. Dalam hati... aku bergumam, hebat benar... dia tahu apa yang ada di hati ini, walau aku tidak mengungkapkannya.
Sejujurnya saya bangga dengan perempuan di jaman sekarang, mereka sudah lebih maju. Cukup banyak perempuan yang sukses menjadi pemimpin besar. Kesetaraan kaum laki-laki dan perempuan sudah hampir seimbang. Satu hal bahwa perempuan mendapat persamaan hak dalam pendidikan.
Namun juga saya harus mengatakan bahwa sesungguhnya saya sangat sedih. Sedih dengan kelakuan beberapa sosok perempuan hebat yang telah terjerumus dan menjerumuskan diri dalam kesesatan. Kesedihan saya bertambah karena mereka itu adalah perempuan terpilih, terpelajar, terpandang!
Seharusnya mereka menjadi teladan sebagai seorang ibu, sebagai pemimpin bagi kaum perempuan yang masih terbelenggu dengan berbagai keterbatasan.
Aku tidak berani menyela pembicaraan beliau. Ku perhatikan, tetesan air mata kesedihan mengalir di pipinya.
Setiap ucapannya kusimak dengan seksama, tiada sedetikpun aku berkedip menikmati tatapan dan gerakan bibirnya yang lembut. Telingaku tak sabar mendengar suaranya yang sarat daya magis.
Sesekali otakku mencium aroma yang khas, semakin lama semakin jelas aroma yang terdeteksi.
Ya... aroma gosong aluminium yang terbakar.
Ya ampun... mati aku, lupa kalau tadi merebus air tuk sajian kopi sore ini.
Dan celakanya... belum belajar bagaimana mendaratkan pesawat ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H