Mohon tunggu...
Pascasarjana IAT UIN SATU
Pascasarjana IAT UIN SATU Mohon Tunggu... Lainnya - Admin

Memuat berbagai tulisan, sarana memperkenalkan dan melestarikan karya ulama dan lainnya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakteristik Tafsir Iklil Karya KH. Mishbah Mushthafa

27 Mei 2024   20:07 Diperbarui: 27 Mei 2024   20:18 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara umum aktivitas mufassir dalam menafsirkan Al-Quran menghasilkan pendekatan dan gaya yang beragam. Beberapa tafsir menekankan aspek-aspek tertentu dari fiqh, itulah sebabnya penafsiran ini disebut al-tafsr al-fiqh. Ada penafsiran filosofis terhadap Al-Qur'an yang disebut dengan al-tafsir al-falsaf. Ada pendekatan tasawuf yang lebih bernuansa, yang kemudian disebut al-tafsr al-f. 

Ada pula mufassir yang cenderung menafsirkan Al-Quran dengan metode ilmiah yang kemudian disebut dengan al-tafsr al-'ilm, ada pula yang menjelaskan Al-Qur'an dengan menggunakan analisis sastra disebut al-tafsr al-adabi, dan seterusnya.Bukan hanya pendekatan, tren, model atau perspektif tertentu saja yang menunjukkan dinamisme penafsiran Al-Quran. 

Pertumbuhan Islam di berbagai belahan dunia juga "memaksa" terjemahan dan penafsiran Al-Quran ditulis dan disampaikan dalam berbagai bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran. Penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an kemudian berkembang seiring dengan penyebaran umat Islam ke berbagai negara. Oleh karena itu, terjemahan dan tafsir Al-Quran juga ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman, dan bahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia.

Di Indonesia, Al-Quran diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam berbagai bahasa, baik nasional maupun daerah. Terdapat tafsir al-Qur'an seperti Tarjumn al-Mustafid yang ditulis oleh Abdur Rauf Singkili dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab Jawi (pegon). Buku ini dikenal sebagai buku penjelasan komprehensif pertama tentang sejarah penafsiran Al-Quran di Indonesia. Karya KH Mishbah ibn Zayn al-Mushtafa (juga dikenal sebagai KH Mishbah Mushthafa) al-Ikll f Ma'n al-Tanzl adalah salah satu penafsiran al-Qur'an yang dibuat dan diterbitkan dalam Bahasa Jawa. 

Kitab tafsir ini, bersama dengan Tafsir al-Ibrz li Ma'rifah Tafsr al-Qur'n al-'Azz karya KH Bisri Musthafa, saudara dekat KH Mishbah Mushthofa, sangat terkenal di kalangan masyarakat muslim tradisional di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Penggunaan huruf pgon Arab dan bahasa digunakan dalam Jawa yang tafsir ini menjadikannya unik, yang memerlukan analisis lebih lanjut.

Dalam upayanya memahami Al-Quran dan menyampaikan pesannya kepada masyarakat, Tafsir al-Ikll f Ma'n al-Tanzl tentunya menggunakan unsur-unsur ciri khas yang dapat membantu masyarakat lebih mudah memahami apa yang disampaikan di dalamnya. Artikel ini berupaya mengungkap ciri-ciri Tafsir al-Ikll, dengan menjawab dua pertanyaan; Pertama, alasan tafsir al-Ikll f Ma'n al-Tanzl menggunakan pengetahuan lokal untuk menafsirkan Al-Qur'an; Kedua, berbagai unsur ciri yang terdapat dalam Tafsir al-Ikll f Ma'n al-Tanzl.


Biografi KH. Mishbah Mushthafa
KH. Mibah Muafa lahir pada tanggal 5 Mei 1919 M di Desa Sawahan Gang Pelem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Nama lengkapnya adalah Mibah bin Zainal Muafa. Dia merupakan keturunan elit Jawa.Ayahnya bernama Zainal Muafa, sedangkan Ibunya bernama Chadijah yang merupakan istri kedua dari Haji Zainal Muafa. Mibah merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yaitu, Mashadi (Bisri Musthafa), Salamah, Mibah dan Ma'shum.Sebelum haji Zainal menikah dengan Hj. Chadijah, ia menikah dengan Dakilah. 

Dari pernikahan pertamanya tersebut, lahir dua anak bernama Zuhdi dan Maskanah. Bagi Hj.Chadijah, H. Zainal juga merupakan suami yang kedua karena sebelum menikah dengan H.Zainal dia menikah dengan Dalimin. Dan dari pernikahan tersebut, mereka juga dikaruniai dua orang putra yang bernama Ahmad dan Tasmin. H. Zainal Muafa merupakan putera dari Podjojo atau H. Yahya. 

Sebelum berangkat haji namanya adalah Ratiban yang kemudian terkenal dengan sebutan Djojo Mustopo. Meskipun bukan berasal dari kalangan kiai, H. Zainal dikenal sebagai orang yang dermawan dan disegani diantara masyarakat. Ia adalah seorang pedagang kaya yang ketat mendidik anak-anaknya untuk mendalami ilmu agama. Sementara ibu K.H.Mibah Muafa merupakan putri dari pasangan Aminah dan E,Zajjadi yang mempunyai garis keturunan Makassar. 

Darah Makassar E,Zajjadi berasal dari ayahnya yang bernama E.Suamsuddin dan ibunya, Datuk Djijjah.Pada tahun 1923 M, Mibah beserta keluarganya menunaikan ibadah haji dengan menaiki kapal haji milik Chasan-Imazi Bombay dari pelabuhan Rembang. Ketika menjalankan ibadah haji, ayahnya terserang penyakit sehingga harus ditandu ketika melakukan wuquf dan Sai.

Pernyakitnya bertambah keras sehingga saat pelaksanaan haji telah selesai dan akan kembali ke Indonesia, di usianya yang ke 63 Sejak ditinggal oleh ayahnya, Mishbah saat itu umur 3,5 tahun, tanggung jawab asuh dipegang oleh kakak tirinya yang bernama H. Zuhdi. Oleh karena itu, meskipun ia berasal dari keluarga yang tergolong mampu, Misbah sudah mengalami hidup yang dapat dikatakan memprihatinkan sejak ayahnya wafat. 

Hal ini merupakan salah satu motivasinya untuk menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kuning, bahkan sejak ia berada di pondok pesantren. Hasil tulisan dan terjemahannya tersebut kemudian ia jual untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di pondok pesantren. Seakan-akan tidak ada waktu luang kecuali ia isi dengan menulis. 

Sehingga dari tangannya lahir berbagai macam karya baik terjemahan maupun kitab dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan tradisi menulis tersebut tidak pernah ia tinggalkan, kecuali setelah masa kekuatannya.

KH. MIshbah Mushthafa dimulai ketika mengikuti pendidikan sekolah dasar yang pada saat itu dikenal sebagai SR(Sekolah Rakyat) yang pada saat itu baru menginjak usia 6 tahun. Setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Rakyat, pada tahun 1928 Mishbah kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Khalil bin Harun. Orientasi pendidikan Mishbah terfokus untuk mempelajari ilmu gramatika dengan menggunakan Kitb al-Jurmiyah, al-Imri dan Alfiyah.

Pada usianya ang masih muda Mishbah berhasil mengkhatamkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa faham dan matang dalam ilmu Bahasa Arab, kemudian Mishbah mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadis, tafsir dan lain-lain. selain menimba ilmu pada KH. Khalil, beliau juga berguru kepada KH. Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Setelah mempelajari aneka ragam disipin ilmu-ilmu keagamaan melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning , beliau pun kembali mempelajari ilmu-ilmu agama melalui penelaahan langsung terhadap sumber primer, yaitu Al-Quran. 

Dengan memahami langsung ayat-ayat al-Quran Mishbah semakin yakin terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Mishbah kemudian sering berdakwah dari satu kampung ke kampung yang lain untuk memperluaskan ajaran islam. Mishbah Mushthafa adalah seorang mubaligh yang cukup popular pada saat itu, selain juga seorang qori, sebelum tambil untuk berdakwah dan berceramah seringkali Mishah tampil juga sebagai qori dalam pengajian.

Pada tahun 1948, saat berusia 31 tahun, Mishbah menikah dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus membantu mengajar di pondok pesantren yang dipimpin mertuanya, KH Ridhwan dan kemudian menggantikannya. Dari hasil pemikahannya itu KH Mishbah kemudian dikaruniai lima orang putra yaitu Syamsiyah, Hamnah, Abdullah, Muhammad Nafis dan Ahmad Rafiq. 

Sebelum memiliki kesibukan sebagai pengelola pesantren, Kiai Mishbah aktif menjadi tenaga pengajar, khususnya mengajar kitab-kitab kuning baik dalam bidang akidah, bahasa arab, tafsir, fikih dan yang lainnnya di pesantren tersebut.

Di sela-sela kesibukannya mengajar, KH Mishbah melakukan aktivitas menulis berbagai buku dan menerjemahkan kitab-kitab klasik ke dalam bahasa Jawa. Di samping itu, Kiai Mishbah juga aktif memberikan ceramah-ceramah keagamaan dalam pengajianpengajian di masyarakat. Dalam berdakwah Kiai Mishbah sering mengadakan diskusi bersama teman-temannya terutama terkait masalah-masalah aktual yang sedang berkembang di masyarakat.

Selain aktif terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, Kiai Mishbah juga aktif dalam kegiatan politik dengan berganti-ganti menjadi anggota partai politik, seperti Partai NU, Partai Masyumi, dan Partai Golkar. Masuknya Mishbah ke dalam beberapa partai bertujuan untuk berdakwah. Oleh karena itu, Mishbah sering berdiskusi dengan teman-teman dalam partainya terutama masalah aktual di masyarakat. Masuk-keluarnya Mishbah dari satu partai ke partai lain adalah karena ia merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh orang-orang yang duduk di masing-masing partai. Sebagai seorang yang kuat pendiriannya dalam menghadapi perbedaan pendapat, Mishbah memilih keluar dari partai dan memilih mempertahankan pendapatnya itu.

Setelah pensiun dan partai politik, Mishbah kemudian banyak menghabiskan waktunya untuk mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab ulama salaf karena, menunutnya, dakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apa pun adalah dengan cara menulis, mengarang, dan menerjemahkan kitab. Inilah yang terus Kiai Mishbah lakukan hingga memiliki lebih 200 karya tulis baik yang merupakan karya sendiri atau terjemahan ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Bidang yang ditulisnya meliputi kajian Quran, Hadis, Fiqh, Tasawuf, Kalam dan sebagainya.Nama al-Iklil f Ma'n al-Tanzl diberikan sendiri oleh KH.Miba. Al- Iklil berarti "mahkota" yang dalam bahasa Jawa dinamakan "Kuluk". 

Pada zaman dahulu setiap raja memiliki tutup kepala yang berlapiskan emas, berlian dan intan. Dengan demikian Tafsir ini diharapkan menjadi suatu yang berharga dan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan kehidupan. Selain itu, harapan dari Miba, supaya orang-orang muslimin menjadikan al-Quran sebagai mahkota atau pelindung bagi dirinya yang dapat membawa ketenteraman batin baik di dunia dan di akhirat. Miba juga memiliki keinginan untuk mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur'an.


Latar Belakang Penulisan
Seorang mufassir ketika menulis tafsirnya pasti mempunyai motivasi atau tujuan tertentu. Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang dalam menulis tafsir. Hal tersebut biasanya tidak terlepas dari latar belakang ruang lingkup sosial keagamaan dan pengaruh yang melingkupi mufassir pada saat itu. Begitu juga dengan Miba dalam menulis tafsirnya, setidaknya dari keterangan dan juga pemaparan ahli warisnya, terdapat dua hal utama yang melatar belakangi panulisan kitab Tafsir al-Iklil f man al-Tanzl.
Latar belakang yang pertama, Kiai Miba menulis kitabnya dengan tujuan sebagai sarana dakwah dalam Islam. Awalnya memang Miba ini cara berdakwahnya dengan metode ceramah. Karena memang ia juga terkenal sebagai mubaligh di masyarakat pada saat itu. Akan tetapi ia mempunyai padangan bahwa dakwah dengan metode ceramah tidak cukup. Menurutnya dakwah dengan tulisan lebih efektif dari pada dengan ceramah. Metode ceramah hanya bisa diingat dengan sesaat, dan akan mudah dilupakan, sedangkan dengan tulisan, bisa dibaca kapanpun, dimanapun ketika seseorang menginginkannya. Melihat banyak masyarakat pada saat itu yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang ada disekelilingnya, dengan tidak menyeimbangkan hidup antara kehidupan dunia dan kehidupan ahirat, dengan menyaksikan hal seperti itu, mendorong Miba untuk menulis kitab tafsir al-Qur'an. Tujuannya yaitu dengan harapan agar umat Islam mampu memahami al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk, sehingga dapat menggunakan al-Qur'an dan sunnah dalam menghadapi segala macam permasalahan dan kesenangan batin di dunia maupun di akhirat.
Latar belakang yang kedua, menurut penuturan Hj. Alvin Nadhirah (istri dari Gus Badi' (alm)), Miba menulis kitab ini adalah dengan maksud untuk kasb al-Ma'isyah (mencari rizki untuk menafkahi keluarganya) selain itu juga untuk membantu membangun pondoknya. Karena memang pada saat itu lapangan pekerjaan masih sangat minim. Miba dengan kegemarannya setiap hari menulis, menghasilkan banyak tulisan-tulisan dan karangan kitab-kitab. Pada awalnya Miba hanya sekedar menulis, kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan semkian hari semakin banyak tulisan yang dihasilkan, ia berinisiatif untuk menyalin tulisan-tulisan tersebut untuk dijual ke percetakan. Dengan demikian, ini bisa mendapatkan uang dan hasil tersebut dapat digunakan untuk menafkahi keluarganya dan membangun pondoknya.


Metode Penafsiran
Metode penafsiran merupakan seperangkat cara yang ditempuh oleh para mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Di Nusantara mayoritas metode yang digunakan ada tiga yaitu Ijmali, Tahlili dan Maudui. Sedangkan Mibah Mutafa dalam hal ini menggunakan Tahlili. Karena jika diteliti dan diruntut ia menafsirkan al-Quran mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas. Kemudian Mibah menjelaskan dalam tafsirannya dengan cukup rinci dan mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Mibah memulai penafsirannya dengan mengemukakan kosakata yang ditulis miring dibawah ayat dalam bahasa Jawa dan aksara pegon. Kemudian baru disambung dengan model tulisan yang sama namun isinya berupa penjelasan secara global atau terjemahan ayat-ayat yang sudah ditulis sebelumnya. Baru yang terakhir adalah tafsirannya sendiri. Setelah itu Kiai Mibah menguraikan makna ayat satu persatu dengan pengulasan yang cukup panjang lebar. Dalam hal ini, ia banyak menggunakan ijtihad (bil-ra'yi) dalam penafsirannya. Meskipun demikian ia tetap menggunakan ayat dan surat lain untuk menjelaskan kata-kata atau istilah-istilah yang kurang jelas (munasabah antar ayat/surat). Selain itu, Kiai Mibah biasa mengutip dan merujuk keterangan dari beberapa ulama tafsir, sahabat nabi dan hadis-hadis nabi sesuai dengan kemampuannya. Hadis-hadis yang dikutip tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu yang pertama sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan. Kedua, hadis yang masuk kategori asbabu al-nuzul. Dan yang ketiga adalah hadis-hadis yang bersifat untuk menunjukkan keutamaan ayat atau surat tertentu di dalam al-Quran.Ketika menafsirkan suatu ayat, selain mendasarkannya pada al-Qur'an itu sendiri dan al-Hadis, Mibah juga sering menggunakan pendapat para ulama serta mufassir ternama dengan penyebutan sumbernya sebagai alat untuk mejelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan topik pembahasan. Dan yang terakhir ia mendiskusikan pendapat para ulama tersebut dengan argumentasinya masing-masing, kemudian ditarjih dan diambillah pendapat yang menurutnya paling benar.


Corak Penafsiran
Pada umumnya, dalam sebuah karya tafsir tidak hanya teridentifikasi satu jenis pendekatan saja melainkan lebih. Seperti pada tafsir al-Iklil yang ditulis oleh KH.Mibah Mutafa ini bercorak sufi dan adab ijtimai. Corak adab ijtimai yaitu corak penafsiram yang orientasinya pada sastra dan budaya kemasyarakatan. Corak yang menitikberatkan penjelasan pada segi ketelitian redaksinya. Kemudian kandungan ayat-ayatnya disusun secara indah, lalu merangkai pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam sedang berlaku di lingkungan masyarakat serta pembangunan dunia. Selain Mibah Mutafa, tokoh yang menganut corak ini adalah Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz Amma, Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, dan Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi. Sedangkan pengertian dari corak sufi dapat dibahas dari kata tasawuf yang memiliki beberapa versi makna. Salah satunya musthaq dari kata suf,karena para sufi memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya (yang memakai pakian mewah). Para sufi memakai memakai kain suf (tenunan dari bulu domba atau disebut dengan wool), sebagai wujud atau praktek hidup yang sederhana dan zuhud.


Sistematika Penulisan Tafsir
K.H. Mibah Mutafa mulai menulis tafsir al-Iklil pada tahun 1977 hingga seklesai ditulis tahun 1985.17 Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa, yaitu aksara Arab pegon dan makna. Al-Iklil ini terdiri dari 30 Juz dan 30 jilid.Setiap jilid berisi 1 Juz, semisal jili1 merupakan tafsir dari juz 1, dan seterusnya. Setiap juz dicetak dengan warna sampul yang berbeda, seperti contoh Juz 1 berwarna ungu tua, juz 6 berwarna ungu muda, juz 13 berwarna biru laut, juz 30 berwarna merah bata , dan lain sebagainya. Juz 1 (137 halaman), Juz 2 (142 halaman), juz 3 (184 halaman), juz 4 (245 halaman), juz 5 (145 halaman) Juz 6 (157 halaman), juz 7 (145 halaman), Juz 8 (190 halaman), juz 9 (210 halaman), Juz 10 (294 halaman) juz 11 (249 halaman) Juz 12 ( 180 halaman) juz 13 (178 halaman), Juz 14 ( 185 halaman), juz 16 (108 halaman), Juz 17 ( 123 halaman), Juz 18( 185 halaman), juz 19 (108 halaman), Juz 20 ( 136 halaman), Juz 21 (141 halaman), juz 22 (129 halaman), Juz 23 ( 127 halaman), Juz 24 (97 halaman), juz 25 (117 halaman), Juz 26 (88 halaman), Juz 27 (80 halaman), juz 28 (94 halaman), Juz 29 (117halaman), juz 30 (192 halaman). Terlihat dari masing-masing juz tersebut yang paling tebal adalah juz 10 sebanyak 294 halaman, sedangakan yang paling tipis adalah juz 27 yaitu 80 halaman. Mulai juz 1 hingga juz 29 halaman ditulis secara berkelajutan dan berakhir pada halaman 4482. Sedangkan juz 30 ditulis dengan format halaman yang berbeda yaitu mulai nomor 1 hingga 192. Disampulnya tertera tulisan Juz Amma fi Maani al-Tanzil yang berbeda sendiri dibanding dengan 29 juz lainnya yang bertuliskan al-Iklil. 

Dalam penyajian tafsirnya , K.H.Mibah Mutafa menganut tartib mushafi. Yaitu penafsirannya mulai surat al-Fatihah hingga al-Naas. Pada Juz 1 setelah dua halaman cover, K.Mibah membuka penafsirannya dengan kata pengantar terlebih dahulu sebanyak 3 halaman.Kemudian masuk pada halaman berikutnya , di paling atas sebelah kanan terdapat tulisan nama surat yang akan ditafsirkan. Semisal "al-Fatihah" Kemudian masih di paling atas Ta'lif wa al'Khatha. Namun, sebelum kitab Tafsirnya yang kedua ini selesai ditulis, pada tahun 1994 K.H.Mibah Mutafa telah menghembuskan nafas terakhir dengan meninggalkan empat jilid kitab Tafsir tersebut.Lihat pada Ahmad Baidowi, Dalam penulisan kitab tafsir dikenal tiga sistematika penulisan, a) yaitu nushafi, penafsiran yang penulisannya dimulai Surat al-Fatihah hingga Al-Naas.b) Nuzulu, yaitu penafsiran yang didasarkan pada kronologi turunnya surat-surat al-Quran. Mufasir yyang menganut penulisan ini salah satunya adalah Muhammad Izzah Darwazah dengan tafsirnya yang berjudul al-Tafsir Hadits . Kemudian c) Maudhui, yaitu menafsirkan al-Quram erdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat berhubungan dengan topik tertentu lalu ditafsirkan. Lihat pada Supriyanto, "Kajian al-Quran", hal.288. Lihat juga Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal.68. namun agak ke tengah menujnukkan juz ke berapa, pada surat yang tertera tersebut, misalnya "al-Juz awwal/juz satu". Kemudian di sebelah kirinya terdapat angka yang menujukkan halaman keberapa yang sedang kita baca saat itu. Ketiga hal tersebut, berlaku apabila halaman yang dibaca berada di sebelah kiri. Dan berlaku kebalikannya jika halaman yang dibaca berada di sebelah kanan. Dibawah ketiga tulisan tersebut (nama surat, Juz, dan halaman) kemudian dituliskan nama surat , tempat diturunkannya surat (makiyah atau madaniyah), dan jumlah ayatnya dengan bentuk yang lebih besar dari pada bentuk yang diatasnya. Kemudian di kolom berikutnya baru dituliskan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan nama surat yang telah tertera sebelumnya. Dalam penafsirannya K.Mibah memulai engan memberikan makna tiap kosakata (ditulis miring dibawah ayat-ayat) dengan bahasa Jawa pegon seperti pada kitab-kitab pada umumnya. Tidak jumlah keseluruhan dari suatu ayat yang ditulis, tetapi hanya sebagian saja.

Penulis: Desriana Alva Fauziyah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun