Hal ini merupakan salah satu motivasinya untuk menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kuning, bahkan sejak ia berada di pondok pesantren. Hasil tulisan dan terjemahannya tersebut kemudian ia jual untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di pondok pesantren. Seakan-akan tidak ada waktu luang kecuali ia isi dengan menulis.Â
Sehingga dari tangannya lahir berbagai macam karya baik terjemahan maupun kitab dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan tradisi menulis tersebut tidak pernah ia tinggalkan, kecuali setelah masa kekuatannya.
KH. MIshbah Mushthafa dimulai ketika mengikuti pendidikan sekolah dasar yang pada saat itu dikenal sebagai SR(Sekolah Rakyat) yang pada saat itu baru menginjak usia 6 tahun. Setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Rakyat, pada tahun 1928 Mishbah kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Kasingan Rembang di bawah asuhan KH. Khalil bin Harun. Orientasi pendidikan Mishbah terfokus untuk mempelajari ilmu gramatika dengan menggunakan Kitb al-Jurmiyah, al-Imri dan Alfiyah.
Pada usianya ang masih muda Mishbah berhasil mengkhatamkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Setelah merasa faham dan matang dalam ilmu Bahasa Arab, kemudian Mishbah mendalami berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadis, tafsir dan lain-lain. selain menimba ilmu pada KH. Khalil, beliau juga berguru kepada KH. Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Setelah mempelajari aneka ragam disipin ilmu-ilmu keagamaan melalui sumber-sumber yang terdapat dalam kitab kuning , beliau pun kembali mempelajari ilmu-ilmu agama melalui penelaahan langsung terhadap sumber primer, yaitu Al-Quran.Â
Dengan memahami langsung ayat-ayat al-Quran Mishbah semakin yakin terhadap pengetahuan yang dimilikinya. Mishbah kemudian sering berdakwah dari satu kampung ke kampung yang lain untuk memperluaskan ajaran islam. Mishbah Mushthafa adalah seorang mubaligh yang cukup popular pada saat itu, selain juga seorang qori, sebelum tambil untuk berdakwah dan berceramah seringkali Mishah tampil juga sebagai qori dalam pengajian.
Pada tahun 1948, saat berusia 31 tahun, Mishbah menikah dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus membantu mengajar di pondok pesantren yang dipimpin mertuanya, KH Ridhwan dan kemudian menggantikannya. Dari hasil pemikahannya itu KH Mishbah kemudian dikaruniai lima orang putra yaitu Syamsiyah, Hamnah, Abdullah, Muhammad Nafis dan Ahmad Rafiq.Â
Sebelum memiliki kesibukan sebagai pengelola pesantren, Kiai Mishbah aktif menjadi tenaga pengajar, khususnya mengajar kitab-kitab kuning baik dalam bidang akidah, bahasa arab, tafsir, fikih dan yang lainnnya di pesantren tersebut.
Di sela-sela kesibukannya mengajar, KH Mishbah melakukan aktivitas menulis berbagai buku dan menerjemahkan kitab-kitab klasik ke dalam bahasa Jawa. Di samping itu, Kiai Mishbah juga aktif memberikan ceramah-ceramah keagamaan dalam pengajianpengajian di masyarakat. Dalam berdakwah Kiai Mishbah sering mengadakan diskusi bersama teman-temannya terutama terkait masalah-masalah aktual yang sedang berkembang di masyarakat.
Selain aktif terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan, Kiai Mishbah juga aktif dalam kegiatan politik dengan berganti-ganti menjadi anggota partai politik, seperti Partai NU, Partai Masyumi, dan Partai Golkar. Masuknya Mishbah ke dalam beberapa partai bertujuan untuk berdakwah. Oleh karena itu, Mishbah sering berdiskusi dengan teman-teman dalam partainya terutama masalah aktual di masyarakat. Masuk-keluarnya Mishbah dari satu partai ke partai lain adalah karena ia merasa bahwa pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh orang-orang yang duduk di masing-masing partai. Sebagai seorang yang kuat pendiriannya dalam menghadapi perbedaan pendapat, Mishbah memilih keluar dari partai dan memilih mempertahankan pendapatnya itu.
Setelah pensiun dan partai politik, Mishbah kemudian banyak menghabiskan waktunya untuk mengarang dan menerjemahkan kitab-kitab ulama salaf karena, menunutnya, dakwah yang paling efektif dan bersih dari pamrih dan kepentingan apa pun adalah dengan cara menulis, mengarang, dan menerjemahkan kitab. Inilah yang terus Kiai Mishbah lakukan hingga memiliki lebih 200 karya tulis baik yang merupakan karya sendiri atau terjemahan ke dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Bidang yang ditulisnya meliputi kajian Quran, Hadis, Fiqh, Tasawuf, Kalam dan sebagainya.Nama al-Iklil f Ma'n al-Tanzl diberikan sendiri oleh KH.Miba. Al- Iklil berarti "mahkota" yang dalam bahasa Jawa dinamakan "Kuluk".Â
Pada zaman dahulu setiap raja memiliki tutup kepala yang berlapiskan emas, berlian dan intan. Dengan demikian Tafsir ini diharapkan menjadi suatu yang berharga dan dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan kehidupan. Selain itu, harapan dari Miba, supaya orang-orang muslimin menjadikan al-Quran sebagai mahkota atau pelindung bagi dirinya yang dapat membawa ketenteraman batin baik di dunia dan di akhirat. Miba juga memiliki keinginan untuk mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur'an.