Latar Belakang Penulisan
Seorang mufassir ketika menulis tafsirnya pasti mempunyai motivasi atau tujuan tertentu. Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang dalam menulis tafsir. Hal tersebut biasanya tidak terlepas dari latar belakang ruang lingkup sosial keagamaan dan pengaruh yang melingkupi mufassir pada saat itu. Begitu juga dengan Miba dalam menulis tafsirnya, setidaknya dari keterangan dan juga pemaparan ahli warisnya, terdapat dua hal utama yang melatar belakangi panulisan kitab Tafsir al-Iklil f man al-Tanzl.
Latar belakang yang pertama, Kiai Miba menulis kitabnya dengan tujuan sebagai sarana dakwah dalam Islam. Awalnya memang Miba ini cara berdakwahnya dengan metode ceramah. Karena memang ia juga terkenal sebagai mubaligh di masyarakat pada saat itu. Akan tetapi ia mempunyai padangan bahwa dakwah dengan metode ceramah tidak cukup. Menurutnya dakwah dengan tulisan lebih efektif dari pada dengan ceramah. Metode ceramah hanya bisa diingat dengan sesaat, dan akan mudah dilupakan, sedangkan dengan tulisan, bisa dibaca kapanpun, dimanapun ketika seseorang menginginkannya. Melihat banyak masyarakat pada saat itu yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang ada disekelilingnya, dengan tidak menyeimbangkan hidup antara kehidupan dunia dan kehidupan ahirat, dengan menyaksikan hal seperti itu, mendorong Miba untuk menulis kitab tafsir al-Qur'an. Tujuannya yaitu dengan harapan agar umat Islam mampu memahami al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk, sehingga dapat menggunakan al-Qur'an dan sunnah dalam menghadapi segala macam permasalahan dan kesenangan batin di dunia maupun di akhirat.
Latar belakang yang kedua, menurut penuturan Hj. Alvin Nadhirah (istri dari Gus Badi' (alm)), Miba menulis kitab ini adalah dengan maksud untuk kasb al-Ma'isyah (mencari rizki untuk menafkahi keluarganya) selain itu juga untuk membantu membangun pondoknya. Karena memang pada saat itu lapangan pekerjaan masih sangat minim. Miba dengan kegemarannya setiap hari menulis, menghasilkan banyak tulisan-tulisan dan karangan kitab-kitab. Pada awalnya Miba hanya sekedar menulis, kemudian seiring dengan berjalannya waktu dan semkian hari semakin banyak tulisan yang dihasilkan, ia berinisiatif untuk menyalin tulisan-tulisan tersebut untuk dijual ke percetakan. Dengan demikian, ini bisa mendapatkan uang dan hasil tersebut dapat digunakan untuk menafkahi keluarganya dan membangun pondoknya.
Metode Penafsiran
Metode penafsiran merupakan seperangkat cara yang ditempuh oleh para mufasir dalam menafsirkan al-Quran. Di Nusantara mayoritas metode yang digunakan ada tiga yaitu Ijmali, Tahlili dan Maudui. Sedangkan Mibah Mutafa dalam hal ini menggunakan Tahlili. Karena jika diteliti dan diruntut ia menafsirkan al-Quran mulai dari al-Fatihah hingga an-Nas. Kemudian Mibah menjelaskan dalam tafsirannya dengan cukup rinci dan mencakup keseluruhan aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an. Mibah memulai penafsirannya dengan mengemukakan kosakata yang ditulis miring dibawah ayat dalam bahasa Jawa dan aksara pegon. Kemudian baru disambung dengan model tulisan yang sama namun isinya berupa penjelasan secara global atau terjemahan ayat-ayat yang sudah ditulis sebelumnya. Baru yang terakhir adalah tafsirannya sendiri. Setelah itu Kiai Mibah menguraikan makna ayat satu persatu dengan pengulasan yang cukup panjang lebar. Dalam hal ini, ia banyak menggunakan ijtihad (bil-ra'yi) dalam penafsirannya. Meskipun demikian ia tetap menggunakan ayat dan surat lain untuk menjelaskan kata-kata atau istilah-istilah yang kurang jelas (munasabah antar ayat/surat). Selain itu, Kiai Mibah biasa mengutip dan merujuk keterangan dari beberapa ulama tafsir, sahabat nabi dan hadis-hadis nabi sesuai dengan kemampuannya. Hadis-hadis yang dikutip tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu yang pertama sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan. Kedua, hadis yang masuk kategori asbabu al-nuzul. Dan yang ketiga adalah hadis-hadis yang bersifat untuk menunjukkan keutamaan ayat atau surat tertentu di dalam al-Quran.Ketika menafsirkan suatu ayat, selain mendasarkannya pada al-Qur'an itu sendiri dan al-Hadis, Mibah juga sering menggunakan pendapat para ulama serta mufassir ternama dengan penyebutan sumbernya sebagai alat untuk mejelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan topik pembahasan. Dan yang terakhir ia mendiskusikan pendapat para ulama tersebut dengan argumentasinya masing-masing, kemudian ditarjih dan diambillah pendapat yang menurutnya paling benar.
Corak Penafsiran
Pada umumnya, dalam sebuah karya tafsir tidak hanya teridentifikasi satu jenis pendekatan saja melainkan lebih. Seperti pada tafsir al-Iklil yang ditulis oleh KH.Mibah Mutafa ini bercorak sufi dan adab ijtimai. Corak adab ijtimai yaitu corak penafsiram yang orientasinya pada sastra dan budaya kemasyarakatan. Corak yang menitikberatkan penjelasan pada segi ketelitian redaksinya. Kemudian kandungan ayat-ayatnya disusun secara indah, lalu merangkai pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam sedang berlaku di lingkungan masyarakat serta pembangunan dunia. Selain Mibah Mutafa, tokoh yang menganut corak ini adalah Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz Amma, Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, dan Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi. Sedangkan pengertian dari corak sufi dapat dibahas dari kata tasawuf yang memiliki beberapa versi makna. Salah satunya musthaq dari kata suf,karena para sufi memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya (yang memakai pakian mewah). Para sufi memakai memakai kain suf (tenunan dari bulu domba atau disebut dengan wool), sebagai wujud atau praktek hidup yang sederhana dan zuhud.
Sistematika Penulisan Tafsir
K.H. Mibah Mutafa mulai menulis tafsir al-Iklil pada tahun 1977 hingga seklesai ditulis tahun 1985.17 Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa, yaitu aksara Arab pegon dan makna. Al-Iklil ini terdiri dari 30 Juz dan 30 jilid.Setiap jilid berisi 1 Juz, semisal jili1 merupakan tafsir dari juz 1, dan seterusnya. Setiap juz dicetak dengan warna sampul yang berbeda, seperti contoh Juz 1 berwarna ungu tua, juz 6 berwarna ungu muda, juz 13 berwarna biru laut, juz 30 berwarna merah bata , dan lain sebagainya. Juz 1 (137 halaman), Juz 2 (142 halaman), juz 3 (184 halaman), juz 4 (245 halaman), juz 5 (145 halaman) Juz 6 (157 halaman), juz 7 (145 halaman), Juz 8 (190 halaman), juz 9 (210 halaman), Juz 10 (294 halaman) juz 11 (249 halaman) Juz 12 ( 180 halaman) juz 13 (178 halaman), Juz 14 ( 185 halaman), juz 16 (108 halaman), Juz 17 ( 123 halaman), Juz 18( 185 halaman), juz 19 (108 halaman), Juz 20 ( 136 halaman), Juz 21 (141 halaman), juz 22 (129 halaman), Juz 23 ( 127 halaman), Juz 24 (97 halaman), juz 25 (117 halaman), Juz 26 (88 halaman), Juz 27 (80 halaman), juz 28 (94 halaman), Juz 29 (117halaman), juz 30 (192 halaman). Terlihat dari masing-masing juz tersebut yang paling tebal adalah juz 10 sebanyak 294 halaman, sedangakan yang paling tipis adalah juz 27 yaitu 80 halaman. Mulai juz 1 hingga juz 29 halaman ditulis secara berkelajutan dan berakhir pada halaman 4482. Sedangkan juz 30 ditulis dengan format halaman yang berbeda yaitu mulai nomor 1 hingga 192. Disampulnya tertera tulisan Juz Amma fi Maani al-Tanzil yang berbeda sendiri dibanding dengan 29 juz lainnya yang bertuliskan al-Iklil.Â
Dalam penyajian tafsirnya , K.H.Mibah Mutafa menganut tartib mushafi. Yaitu penafsirannya mulai surat al-Fatihah hingga al-Naas. Pada Juz 1 setelah dua halaman cover, K.Mibah membuka penafsirannya dengan kata pengantar terlebih dahulu sebanyak 3 halaman.Kemudian masuk pada halaman berikutnya , di paling atas sebelah kanan terdapat tulisan nama surat yang akan ditafsirkan. Semisal "al-Fatihah" Kemudian masih di paling atas Ta'lif wa al'Khatha. Namun, sebelum kitab Tafsirnya yang kedua ini selesai ditulis, pada tahun 1994 K.H.Mibah Mutafa telah menghembuskan nafas terakhir dengan meninggalkan empat jilid kitab Tafsir tersebut.Lihat pada Ahmad Baidowi, Dalam penulisan kitab tafsir dikenal tiga sistematika penulisan, a) yaitu nushafi, penafsiran yang penulisannya dimulai Surat al-Fatihah hingga Al-Naas.b) Nuzulu, yaitu penafsiran yang didasarkan pada kronologi turunnya surat-surat al-Quran. Mufasir yyang menganut penulisan ini salah satunya adalah Muhammad Izzah Darwazah dengan tafsirnya yang berjudul al-Tafsir Hadits . Kemudian c) Maudhui, yaitu menafsirkan al-Quram erdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat berhubungan dengan topik tertentu lalu ditafsirkan. Lihat pada Supriyanto, "Kajian al-Quran", hal.288. Lihat juga Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal.68. namun agak ke tengah menujnukkan juz ke berapa, pada surat yang tertera tersebut, misalnya "al-Juz awwal/juz satu". Kemudian di sebelah kirinya terdapat angka yang menujukkan halaman keberapa yang sedang kita baca saat itu. Ketiga hal tersebut, berlaku apabila halaman yang dibaca berada di sebelah kiri. Dan berlaku kebalikannya jika halaman yang dibaca berada di sebelah kanan. Dibawah ketiga tulisan tersebut (nama surat, Juz, dan halaman) kemudian dituliskan nama surat , tempat diturunkannya surat (makiyah atau madaniyah), dan jumlah ayatnya dengan bentuk yang lebih besar dari pada bentuk yang diatasnya. Kemudian di kolom berikutnya baru dituliskan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan nama surat yang telah tertera sebelumnya. Dalam penafsirannya K.Mibah memulai engan memberikan makna tiap kosakata (ditulis miring dibawah ayat-ayat) dengan bahasa Jawa pegon seperti pada kitab-kitab pada umumnya. Tidak jumlah keseluruhan dari suatu ayat yang ditulis, tetapi hanya sebagian saja.
Penulis: Desriana Alva Fauziyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H