"Kami jelaskan tanda-tanda bagi yang terkena virus kepada mereka dengan cara-cara sederhana, yang bisa diterima oleh mereka. Tapi memang itu tadi, mereka tidak pernah mengalami situasi pandemi seperti ini. Ada anggapan bahwa ini penyakit iblis atau penyakit guna-guna lah gitu. Itu yang mereka anggap," kata Dhimas yang mulai bekerja di PT Royal Lestari Utama sejak Maret 2019.
Ia mengaku tak terlalu kesulitan menjelaskan. Persoalan yang timbul kemudian adalah pihaknya tidak bisa memastikan bahwa kebiasaan hidup sehat yang disampaikan kepada Orang Rimba itu bisa diikuti atau dipatuhi.
Kebiasaan itu mencakup misalnya rajin mencuci tangan, kemudian air harus dimasak. Kata Dimas, tidak semua orang di sana melakukan itu, karena situasi secara tradisional mereka kalau minum langsung dari air sungai. Mereka hanya akan memasak air, kalau mau menyeduh kopi atau teh.
"Jadi, kalau hanya minum air putih mereka langsung dari sungai karena daerah mereka ini area hulu-hulu sungai," kata bapak dari satu anak ini.
Orang Rimba juga punya kearifan lokal yang sudah dihidupi sejak zaman nenek moyang. Namanya becenenggo.
Menurut Dhimas, itu adalah situasi di mana ketika ada satu pihak terkena penyakit, maka Orang Rimba yang bersangkutan ini akan menjauh supaya tidak menularkan penyakit ini kepada orang lain.
Ia dan tim berharap ada tenaga kesehatan yang rutin atau paling tidak bisa didatangkan ketika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk mengungjungi Orang Rimba.
Selain itu, ia mengharap agar pemerintah juga membuka akses yang cukup luas bagi Orang Rimba, karena belum semua, ada beberapa dari mereka sudah mempunyai nomor induk kependudukan.
Hal ini dirasa cukup merepotkan saat, misalnya, para pihak ingin membantu fasilitasi tenaga kesehatan.
"Alangkah baiknya memang pemerintah juga lebih aktif turun ke kelompok-kelompok Orang Rimba yang memang secara akses jauh dan terpencil," kata Dhimas berharap.
Jarak Bukan Penghalang