Mohon tunggu...
Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh
Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh Mohon Tunggu... Freelancer - Law Student

Pembelajar. Fiat Justitia Pereat Mundus

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Perkara Jerinx: Pasal yang Tidak Tepat dan Freedom of Speech

20 Agustus 2020   01:38 Diperbarui: 20 Agustus 2020   01:48 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah pandemi Covid-19, praktik penegakan hukum di Indonesia kembali menuai kontroversi yakni, dengan ditahannya I Gede Ari Astina alias Jerinx SID sebagai tersangka dengan dugaan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. 

Terlepas dari aktivitas tersangka yang selama ini menyuarakan teori atau anggapan terhadap pandemi Covid-19, proses penegakan hukum terhadap dirinya harus ditegakkan baik dari aspek muatan hukum maupun aspek keadilan.

Beberapa problematika hukum dapat kita temui dalam perkara ini, seperti penerapan pasal yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan sehingga terkesan perkara ini dipaksakan serta persoalan kebebasan berpendapat (Freedom Of Speech) yang dijamin oleh konstitusi.

Penerapan Pasal yang Tidak Tepat

Sebagaimana dikutip Detik.com Pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45A Ayat (2) dan/atau Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (3) UU Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan laporan polisi bernomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, Tanggal 16 Juni 2020.

Sumber perkara ini bermula ketika Jerinx membuat postingan di media sosial yang menyebut IDI dan RS sebagai "kacung WHO". Jika dikaitkan dengan pasal yang dikenakan sangatlah tidak tepat yakni Pertama, Pasal 28 Ayat (2) yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".

Pasal tentang ujaran kebencian (hate speech) ini harus memenuhi unsur kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) lain halnya dengan postingan Jerinx yang objek serangannya adalah IDI yang merupakan Organisasi Profesi yang tidak berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebab, menurut penafsiran sejarah (historical interpretation) Pasal 28 Ayat (2) UU ITE merupakan pasal yang mengacu pada Pasal 156 KUHP yang muatannya adalah ujaran kebencian atau permusuhan terhadap suatu golongan karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Oleh karena itu dapat dilihat, baik berdasarkan UU ITE maupun KUHP secara terminologi IDI tidak termasuk dalam jenis golongan yang dikategorikan. Berdasarkan tinjauan yuridis di atas dapat simpulkan bahwa perbuatan Jerinx tidak memenuhi unsur dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang ITE. Dan seharusnya Ekspresi kritik terhadap suatu kebijakan tidak boleh dikriminalisasi sebagai ujaran kebencian.

Yang kedua, tidak tepatnya Pasal yang diterapkan adalah Pasal 27 Ayat (3) yang mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik, yang berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." 

Pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu. Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum. Tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan merupakan jenis delik aduan (klacht delict) sehingga membuat ketentuan ini bernuansa kerugian individu atau seseorang.

Tinjauan di atas dapat didasarkan pada pertimbangan Putusan MK 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.

Pasal-pasal pidana dalam UU ITE sebenarnya adalah pidana konvensional (KUHP) yang disiberkan karena tuntutan zaman, sehingga muatan unsur dalam UU ITE tetap mengacu pada ketentuan dalam KUHP.

Freedom Of Speech

Kehidupan demokratis di Indonesia yang adalah buah perjuangan para Reformis di Tahun 1998 kembali dikebiri, dengan adanya perkara Jerinx. 

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" menjadi dasar kebebasan berpendapat dan merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang fundamental dalam Negara Republik Indonesia.

Selain itu pada Pasal 22 ayat (3) UU Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekpresi tersebut yang secara internasional juga dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12 tahun 2005.

Sejalan dengan jalan pikiran Pakar Hukum Pidana UII Prof. Mudzakkir yang menyatakan kritik seharusnya tidak dipidana sebab, dalam bahasa hukumnya orang menyampaikan kritik tidak bisa dipidana karena kritik adalah hak konstitusional warga negara, Maka dia tidak dapat dipidana.

Tindakan Jerinx merupakan kritikan terhadap kebijakan penanganan Covid-19 saat ini, sehingga seharusnya kritikan harus dibalas dengan argumentasi atau pembenahan kebijakan, bukan dibalas dengan kriminalisasi. 

Kritik merupakan nadi dari suatu kehidupan demokratis, konstitusi telah membentuk Indonesia sebagai Negara demokrasi oleh sebab itu kritikan merupakan konsekuensi logis yang harus diterima dalam suatu Negara demokrasi.

Landasan teleologis (tujuan) pembentukan Undang-Undang ITE adalah untuk melindungi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik di tengah meluasnya penggunaan internet dalam perekonomian nasional saat itu (Tahun 2008). Tetapi saat ini implementasinya lebih banyak mengancam kebebasan berpendapat.

Data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty Internasional telah menunjukkan kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE naik dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019), atau naik lebih dari tiga kali lipat.

Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan, banyaknya pasal karet membuat UU ITE menjadi senjata penguasa untuk membungkam kebebasan berpendapat yang dijamin dalam suatu Negara demokrasi.

Penulis: Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh, S.H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun