Mohon tunggu...
Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh
Pascal Wilmar Yehezkiel Toloh Mohon Tunggu... Freelancer - Law Student

Pembelajar. Fiat Justitia Pereat Mundus

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pidana Mati bagi Koruptor Bantuan Sosial Covid-19

16 Juni 2020   19:55 Diperbarui: 16 Juni 2020   19:58 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dan pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam aturan penjelasan Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan 'secara melawan hukum' di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil. Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata 'dapat' sebelum frasa 'merugikan keuangan atau perekonomian negara' menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Dalam kasus korupsi, para pelaku dapat dijatuhi hukuman seberat-beratnya karena pelaku harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam setiap perbuatan yang terkandung unsur kesalahan atau tindak pidana (mens rea), maka tindak pidana atau kesalahan itulah yang menyebabkan seseorang itu dihukum. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld atau no punishment without guilt) yang merupakan asas pokok dalam pertanggungjawaban pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Praktik rasuah dalam keadaan bencana tentunya adalah salah satu perbuatan yang tidak manusiawi, karna menyangkut keselamatan orang banyak artinya pemenuhan atas kesehatan dan kesejahteraan rakyat ditengah keadaan sulit tidak akan terlaksana ketika terjadi suatu perampokan anggaran atau korupsi.

Tetapi, jika kita melihat sejarah praktik di pengadilan banyak putusan pengadilan yang oleh hakim hanya menjatuhkan terdakwa kasus korupsi ditengah bencana dengan pidana rendah. Sedangkan ancaman hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menjadi diabaikan keberadaannya  Sampai saat ini belum pernah para koruptor yang didakwa dengan ancaman pidana mati yang kemudian menjadi pijakan bagi hakim untuk menjatuhkan vonis mati.

Tidak terdapatnya hukuman mati dalam vonis hakim meskipun perbuatan para koruptor telah terdapat kesalahan yang mesti harus dipertanggungjawabkan, telah menjadikan Indonesia sebagai tempat paling indah bagi para koruptor untuk melakukan kejahatan mengambil uang rakyat secara tidak sah.
Pembatasan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi

Dalam suatu Negara formal konstitusi merupakan hukum dasar atau hukum tertinggi (supreme law), artinya dalam suatu penyelengaraan Negara baik dalam pemerintahan, perekonomian, praktik hukum harus berdasarkan konstitusi yang adalah resultante.

Ketentuan mengenai HAM dalam UUD yang terdapat di Pasal 28A sampai 28J, pasal-pasal mengenai HAM dalam UUD tersebut telah dikunci oleh Pasal 28J. Maksudnya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I telah dibatasi oleh Pasal 28J.

Dalam Pasal 28J berbunyi:
"(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Sehingga pasal 28J merupakan acuan untuk melakukan judicial interpretation secara sistematis atau penafsiran yang didasarkan pada susunan pasal per pasal.

Jika merujuk pada pengalaman praktik berhukum diindonesia,  Putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai "hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun", termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun