Mohon tunggu...
pascalparera
pascalparera Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mentari Pengantinku

9 Mei 2019   19:56 Diperbarui: 9 Mei 2019   20:10 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Aku mampir ke pasar di sepanjang jalan dari kampus ke rumah. Sudah setengah jam aku mengitari pasar ini. Tapi belum juga menemukan kado yang sesuai untuk ibu. Saat aku berhenti sejenak untuk melepaskan lelahku, mataku tertuju pada sebuah kios di ujung sana. Terlihat banyak sekali kelinci yang lucu. Mungkin ibuku akan senang memiliki satu di antara mereka.

Aku mendekati kios itu. mengamati satu persatu kelinci yang dipajang. Dengan ramah sang pemilik kios menghampiriku. Menawarkan beberapa kelinci terbaiknya. Kuutarakan maksudku membeli kelinci. Kemudian pemilik kios itu menunjukkanku seekor kelinci yang lucu dengan bulu putih yang bersih. Aku langsung jatuh cinta padanya. Aku yakin ibuku juga akan sangat menyukainya.

Setibanya di rumah sore itu, aku sudah melihat mobil kakak-kakakku duduk manis di halaman depan. Ya, aku memiliki dua orang kakak. Mereka sudah menikah dan memutuskan tinggal terpisah dari ibuku di Solo. Kakakku yang pertama, Mbak Aya, seorang dokter yang menikah dengan seorang pengusaha sukses, memiliki dua orang putri, dan kini tinggal di Surabaya. Sedangkan kakakku yang kedua, Mas Faisal, menjadi seorang polisi dan ditugaskan di Bandung. Dia menetap di sana bersama isteri dan putranya di sana. Dan aku, aku kuliah di Yogyakarta. Ayahku sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ibuku kini sendiri di rumah dan hanya ditemani asisten rumah tangga kami yang setia serta satpam yang senantiasa menjaga ibu. Inilah yang melatar belakangiku memilih binatang lucu sebagai hadiah ulang tahun ibu.

Mbak Aya memberikan cincin berlian mewah yang terlihat sangat mahal, Mas Faisal memberikan tas branded yang tidak kalah mahalnya, dan aku hanya memberikan seekor kelinci dengan mata merah dan berbulu putih. Tetapi di antara ketiga hadiah dari anak-anaknya, ibuku paling tertarik dengan kelinci pemberianku. Ibu membelai lembut bulunya yang putih bercahaya. Dan ia memutuskan memberinya nama "mentari". Seketika ibuku terlihat akrab sekali dengan Mentari. Ibu langsung membawa Mentari bermain di halaman. Halaman kami sangat indah. Ibu sendiri yang mengatur dan merawat tanaman yang ada di sana. Menatanya agar mendapat cahaya yang pas, menyiramnya dan memberi pupuk, memangkasnya, dan mencintainya sepanjang hari.

Seperti yang aku pikirkan, ibuku sangat menyukai Mentari. Bahkan lebih dari itu, Ibu sangat menyayanginya. Setiap hari dia memandikannya, memberinya makan, membersihkan kandangnya sendiri, mengajak bermain, bahkan rutin membawanya ke dokter hewan. Begitulah cerita Mbak Tum, asisten rumah tangga kami yang senantiasa menemani Ibu. Aku senang, setidaknya kesepian Ibu terobati dengan adanya Mentari.

Saat itu libur panjang. Aku dan kedua kakakku pulang ke rumah. Begitulah kami, bisa berkumpul menjadi satu hanya kalau ada libur panjang dan ketika ada acara tertentu, mengingat kesibukan kami sendiri-sendiri yang menyebabkan terbatasnya waktu bersama. Namun kali ini ada yang berbeda, tidak seperti biasanya, Ibu yang biasanya menyambut kami dengan hangat dan penuh rindu, kini justru acuh begitu saja. Ibu lebih asik bermain dengan Mentari tanpa mempedulikan kedatangan kami.

"Eyang, aku bawakan bunga cantik untuk Eyang," teriak Anggara, putera Mas Faisal. Namun tidak didengar oleh Ibu.
"Sini, Sayang. Mungkin telinga Eyang sakit. Jadi tidak dengar suara Anggara," rayu Mas Faisal melihat wajah putranya yang murung karena pengabaian Ibu.

Aku melihat kekecewaan tersirat di wajah lugu dari keponakanku. Aku pun menyesali sikap Ibu yang terlalu antusias dengan Mentari. Saat makan malam, Ibu pun melewatkan momen itu. momen ketika ketiga buah hatinya bisa bersamanya. Ya, Ibu masih saja sibuk dengan Mentarinya. Setelah makan malam, kita semua, kecuali Ibu, berkumpul di ruang keluarga. Ibu masih saja bermain-main dengan Mentari di gazzebo samping rumah. Mbak Aya memanggil Mbak Tum bergabung dengan kami.

"Mbak, apakah setiap hari Ibu seperti itu?" tanya Mbak Aya memulai percakapan.
"Uhm, iya, Mbak. Nyonya terlalu sayang dengan Mentari. Bahkan melebihi sayangnya kepada dirinya sendiri."
"Maksud, Mbak?" tanya Mas Faisal bingung.
"Seperti itu, Mas. Mas Faisal bisa lihat sendiri, bahkan Nyonya mengabaikan makannya karena terlanjur asik bermain dengan Mentari. Taman di halaman juga tidak lagi dirawat Ibu, Mas. Sekarang Mang Dadang yang mengurusnya. Padahal dulu Ibu sangat tidak membolehkan orang lain menyentuh tanaman-tanamannya."
Memang, terlihat sekali taman depan rumah sangat kacau. Tidak indah seperti biasanya.

"Mbak, kenapa tidak pernah bilang ke saya pas saya telepon?" kataku memelas.
"Maaf, Mbak Mila. Saya tidak mau membuat Mbak Mila, Mas Faisal, dan Mbak Aya kepikiran."
"Jelas sajalah, Mbak, kami memikirkan Ibu kami," ujar Mas Faisal dengan nada agak marah. "Sekarang bagaimana, kalau Ibu terus hanya memikirkan Mentari tanpa mengingat kesehatannya yang mulai renta, lalu Ibu jatuh sakit, siapa yang mau bertanggung jawab?" sambungnya.
"Mas, Mbak, saya minta maaf. Saya janji akan merawat Ibu lebih baik lagi."

Sejak kejadian sore itu, aku dan kedua kakakku semakin gencar memantau Ibu dari jauh. Meski tidak berdampak banyak dan Ibu tetap saja hanya fokus pada Mentari. Hingga suatu hari, Ibu meneleponku dengan menangis tersedu-sedu memintaku untuk segera pulang tanpa alasan yang jelas.
"Tapi, Bu, sore ini Mila ada pertemuan pengurus BEM yang tidak bisa ditinggal. Lagi pula malam ada seminar kerja praktik, Bu. Mila tidak bisa pulang. Maaf, Bu."
"Kamu pokoknya harus pulang, Mil. Harus!" Ibu mulai emosi. "Kamu pilih pulang, atau kamu tidak usah pulang selamanya?!" Gertaknya.
Astaga, masalah apa yang sedang melanda ibuku hingga demikian. Aku harus bagaimana? Aku benar-benar dalam situasi yang sulit.
"Sebenarnya ada apa, Bu? Tidakkah Mang Dadang dan Mbak Tum cukup untuk membantu menyelesaikannya? Apa masalahnya?" aku semakin bingung.
"Ibu tidak mau tahu, kamu harus pulang."

Aku berpikir sejenak setelah ibu memutus teleponnya. Kemudian ponselku berdering lagi. Ternyata Mbak Tum. Mbak Tum memintaku untuk pulang saja. Dia khawatir sakit jantung Ibu akan kumat. Aku pikir mungkin ini masalah benar-benar genting. Sehingga aku memutuskan untuk pulang saja.

Di perjalanan, Mbak Tum menelepon lagi. Dia memberiku alamat dokter dan menyuruhku untuk langsung ke tempat praktik itu. Hatiku terguncang. Apa yang terjadi? Ada apa dengan Ibu? Belum sempat aku menanyakannya, Mbak Tum sudah menutup telponnya. Hatiku semakin tidak karuan sepanjang jalan itu. Aku takut hal buruk terjadi pada Ibu.

Setibanya di sana, aku tercengang. Dokter hewan? Apa maksud semua ini?
"Mila, kamu datang juga. Ibu sangat panik sekali. Cuma kamu yang bisa datang. Tidak mungkin Ibu meminta kakakmu yang datang ke mari."
"Ini kenapa, Bu?" aku benar-benar heran.
"Mentari terluka, Mil. Kakinya terkena pecahan kaca. Darahnya berceceran. Dia meringik. Pasti rasanya amat sakit. Ibu tidak sanggup melihatnya."
Apa?! Hanya karena Mentari? Aku tidak habis pikir dengan Ibu.

Tidak berhenti di situ. Suatu malam Mbak Tum meneleponku, dia bilang jantung Ibu kumat. Tanpa berpikir panjang aku langsung pulang. Ternyata di sana sudah ada Mbak Aya dan Mas Faisal.
"Ini sebenarnya apa yang terjadi, Mbak Tum?" tanya Mas Faisal sangat penasaran.
Mbak Tum hanya diam.
"Jangan bilang ini karena Mentari?!" kataku memecah kesunyian.
"I.. Iya, Mbak, Mas," ujar Mbak Tum terbata-bata.
"Ya Tuhan!" teriak Mbak Aya heran. "kenapa si Mentari? Kakinya kena paku?" sambungnya.
"Bukan, Mbak. Mentari keracunan. Mulutnya berbusa dan sekarang dia sudah mati, Mbak"
Kita bertiga tercengang. Ibu sampai serangan jantung hanya karena kelinci mati. Apa Ibu sudah menganggap kelinci itu anaknya?

Semenjak Mentari mati, Ibu seolah kehilangan semangat hidupnya. Anak-anaknya tak berarti di matanya. Mungkin baginya Mentarilah anaknya.

"Mbak, Mas, aku mengaku salah. Semua ini karena pemberianku pada Ibu. Harusnya aku tidak memberinya kelinci itu," kataku penuh sesal.
"Bukan, Dik. Ini salah kita. Kita terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri sampai kurang memperhatikan Ibu. Aku tahu, Ibu pasti sangat kesepian. Dan Mentari memang seperti mentari yang menghangatkannya, menemani hari-harinya, membuatnya berwarna. Sehingga wajar saja Ibu sangat menyayangi Mentari. Kitalah yang salah."
Mas Faisal benar. Kita hampir melalaikan Ibu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sekarang Ibu shock berat ditinggal Mentari.
"Ibu benar-benar terpukul. Kita harus bisa membangkitkan semangatnya lagi," ujar Mbak Aya penuh semangat.

Kita bertiga mencoba berbicara baik-baik kepada Ibu. Tapi jelas itu tidak mudah. Kondisi psikisnya benar-benar telah terguncang. Sejak kejadian konyol itu, kami bertiga dengan perlahan berusaha keras mengambil lagi kasih sayang Ibu kepada kami yang sempat tertutup. Dan saling berjanji untuk lebih mengabdi pada Ibu yang tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun