Mohon tunggu...
pascalparera
pascalparera Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mentari Pengantinku

9 Mei 2019   19:56 Diperbarui: 9 Mei 2019   20:10 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku berpikir sejenak setelah ibu memutus teleponnya. Kemudian ponselku berdering lagi. Ternyata Mbak Tum. Mbak Tum memintaku untuk pulang saja. Dia khawatir sakit jantung Ibu akan kumat. Aku pikir mungkin ini masalah benar-benar genting. Sehingga aku memutuskan untuk pulang saja.

Di perjalanan, Mbak Tum menelepon lagi. Dia memberiku alamat dokter dan menyuruhku untuk langsung ke tempat praktik itu. Hatiku terguncang. Apa yang terjadi? Ada apa dengan Ibu? Belum sempat aku menanyakannya, Mbak Tum sudah menutup telponnya. Hatiku semakin tidak karuan sepanjang jalan itu. Aku takut hal buruk terjadi pada Ibu.

Setibanya di sana, aku tercengang. Dokter hewan? Apa maksud semua ini?
"Mila, kamu datang juga. Ibu sangat panik sekali. Cuma kamu yang bisa datang. Tidak mungkin Ibu meminta kakakmu yang datang ke mari."
"Ini kenapa, Bu?" aku benar-benar heran.
"Mentari terluka, Mil. Kakinya terkena pecahan kaca. Darahnya berceceran. Dia meringik. Pasti rasanya amat sakit. Ibu tidak sanggup melihatnya."
Apa?! Hanya karena Mentari? Aku tidak habis pikir dengan Ibu.

Tidak berhenti di situ. Suatu malam Mbak Tum meneleponku, dia bilang jantung Ibu kumat. Tanpa berpikir panjang aku langsung pulang. Ternyata di sana sudah ada Mbak Aya dan Mas Faisal.
"Ini sebenarnya apa yang terjadi, Mbak Tum?" tanya Mas Faisal sangat penasaran.
Mbak Tum hanya diam.
"Jangan bilang ini karena Mentari?!" kataku memecah kesunyian.
"I.. Iya, Mbak, Mas," ujar Mbak Tum terbata-bata.
"Ya Tuhan!" teriak Mbak Aya heran. "kenapa si Mentari? Kakinya kena paku?" sambungnya.
"Bukan, Mbak. Mentari keracunan. Mulutnya berbusa dan sekarang dia sudah mati, Mbak"
Kita bertiga tercengang. Ibu sampai serangan jantung hanya karena kelinci mati. Apa Ibu sudah menganggap kelinci itu anaknya?

Semenjak Mentari mati, Ibu seolah kehilangan semangat hidupnya. Anak-anaknya tak berarti di matanya. Mungkin baginya Mentarilah anaknya.

"Mbak, Mas, aku mengaku salah. Semua ini karena pemberianku pada Ibu. Harusnya aku tidak memberinya kelinci itu," kataku penuh sesal.
"Bukan, Dik. Ini salah kita. Kita terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri sampai kurang memperhatikan Ibu. Aku tahu, Ibu pasti sangat kesepian. Dan Mentari memang seperti mentari yang menghangatkannya, menemani hari-harinya, membuatnya berwarna. Sehingga wajar saja Ibu sangat menyayangi Mentari. Kitalah yang salah."
Mas Faisal benar. Kita hampir melalaikan Ibu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sekarang Ibu shock berat ditinggal Mentari.
"Ibu benar-benar terpukul. Kita harus bisa membangkitkan semangatnya lagi," ujar Mbak Aya penuh semangat.

Kita bertiga mencoba berbicara baik-baik kepada Ibu. Tapi jelas itu tidak mudah. Kondisi psikisnya benar-benar telah terguncang. Sejak kejadian konyol itu, kami bertiga dengan perlahan berusaha keras mengambil lagi kasih sayang Ibu kepada kami yang sempat tertutup. Dan saling berjanji untuk lebih mengabdi pada Ibu yang tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun