Mohon tunggu...
Pascalis Elan Sanjaya
Pascalis Elan Sanjaya Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Seorang pelajar biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ekskursi 2024, Menemukan Kebhinnekaan yang Telah Hilang

21 November 2024   22:47 Diperbarui: 22 November 2024   01:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan." -Gus Dur

Perbedaan adalah identitas bangsa Indonesia. Indonesia merupakan bangsa yang beragam yang disatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Berbeda-Beda Tetapi Tetap Satu. Semboyan tersebut merupakan kesepakatan bapak-bapak bangsa kita saat pendirian negara kita. Semboyan itu ada sebagai pengingat meskipun bangsa Indonesia sangat kaya akan keberagaman, kita  adalah satu, bangsa Indonesia.

Sayangnya, bangsa Indonesia seakan lupa akan semboyan tersebut. Semboyan yang mengingatkan pentingnya menghargai perbedaan-perbedaan yang ada diantara kita. Hari-hari ini seringkali kita menemukan kasus-kasus intoleransi yang terjadi di sekitar kita. Salah satu contohnya adalah pada bulan Mei kemarin, di mana mahasiswa Katolik dari Universitas Pamulang yang sedang mengadakan ibadah Rosario digeruduk oleh warga. Mereka dipukuli lalu dibubarkan oleh warga setempat dengan membawa sajam. 

Ada banyak kasus-kasus intoleransi lain yang telah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini terus mengikis kebhinekaan bangsa kita. Karena kasus-kasus ini membuat kita semakin berprasangka buruk antara satu sama lain. 

Hal itu juga terjadi pada saya. Saya memiliki prasangka negatif tersebut dengan mereka yang berbeda kepercayaan dengan saya. Saya sering memandang mereka dengan pandangan yang tidak begitu baik. Karena saya berpikir mereka akan menjauhi saya dan tidak menerima saya dengan kepercayaan yang saya anut. 

Satu bulan yang lalu, saya memiliki kesempatan untuk mengikuti Ekskursi. Yaitu kegiatan tinggal bersama dengan para santri di pondok pesantren. Kesempatan ini merupakan kesempatan pertama saya untuk benar-benar merasakan hidup bersama dengan teman-teman beragama Muslim yang memiliki kepercayaan lain dengan diri saya. 

Prasangka tersebut tetap ada di diri saya, prasangka bahwa saya tidak diterima dengan baik. Apa pendapat mereka terhadap saya? Bagaimana pandangan mereka terhadap saya, terutama kepercayaan saya? Apakah saya akan diterima dengan baik? Pikiran tersebut terngiang dalam lamunan saya selama berada di bis dalam perjalanan menuju pondok pesantren. 

Lamunan tersebut buyar ketika rombongan saya sampai di Ponpes Darul Falah. Saya harus menghadapi realita bahwa saya harus mengikuti seluruh dinamika kegiatan ini sepenuhnya. Saya siap menerima apapun yang akan terjadi di sana. 

Ketika kami masuk ke dalam Pondok Pesantren Darul Falah, kami disambut dengan meriah oleh semua santri dengan meriah. Kami melihat bahwa para santri menerima kami dengan hangat dengan senyuman yang terlihat jelas. Kami kemudian mengikuti acara sambutan. 

Setelah acara sambutan, kami diarahkan menuju kobong, tempat kami akan tidur selama tinggal di pondok pesantren. Kami diberikan waktu selama dua jam yang dapat digunakan secara bebas. Setelah saya merapikan barang-barang bawaan saya, saya bersama seorang teman memutuskan untuk menghabiskan waktu tersebut untuk berkeliling pondok pesantren. Kala itu, kegiatan pembelajaran di ponpes sudah selesai sehingga area pondok pesantren begitu ramai.

Saat kami sedang berkeliling, seorang ibu guru di pondok pesantren tersebut menyapa kami. Ia menanyakan bagaimana kondisi kami, bagaimana perasaan kami sampai di pondok pesantren. Saya tidak menyangka bahwa kami akan disapa terlebih dahulu. Akhirnya kami dan guru tersebut berbincang-bincang cukup lama mengenai kabar kami dan berbagai mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di pesantren. 

Perjumpaan dengan guru tersebut perlahan mulai mengikis prasangka saya sedikit demi sedikit. Setelah perjumpaan tersebut, sudah waktunya kami semua untuk ikut berdinamika dengan para santri yaitu mengikuti pengajian. Dalam pengajian tersebut, kami bergabung dengan anak-anak kelas 10. 

Mereka menyambut kami dengan hangat serta ingin tahu mengenai keseharian kami. Kakak atau aa (sebuah panggilan lelaki yang lebih tua dalam bahasa Sunda) yang memberikan materi pengajian pada hari tersebut memberikan waktu untuk kami semua untuk mengenal satu sama lain. Masing-masing dari kami saling bertanya mengenai keseharian satu sama lain. 

Saya belajar mengenai kehidupan ponpes yang begitu religius. Mereka sangat tekun mengimani agama Islam. Mereka menjalankan sholat lima waktu tanpa putus. Mereka melakukan pengajian setiap hari. Waktu-waktu luang mereka banyak mereka gunakan untuk merawat Masjid yang mereka gunakan sehari-hari sehingga Masjid tersebut selalu bersih dan rapi. 

Dari sesi sharing tersebut, prasangka saya akhirnya bisa runtuh. Terutama saat ada seorang santri yang ingin sharing dengan saya secara lebih dalam. Di saat itu, saya merasa bahwa saya tidak dibeda-bedakan. Saya merasa bahwa saya diterima. Kami akhirnya lebih asik berbincang sendiri hingga akhir sesi sharing tersebut. 

Hari kedua, kami dibagi berdua-dua untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di sebelas ruang kelas mereka. Saya dan teman saya kebagian ruang kelas 12-A5. Ketika kami sampai di kelas, para santri menyapa kami. Mereka menyapa kami dan mengajak saling berkenalan dengan kami. Kami diajak ngobrol bersama mereka. Kami semua saling berbagi cerita satu sama lain mengenai latar belakang kehidupan kami. Kami saling menghargai latar belakang kami yang berbeda. Perbedaan tersebut bukan sebuah halangan bagi kami untuk berteman, melainkan hal itulah yang memperkaya pertemanan kami. 

Salah satu kegiatan yang saya lupakan dari pembelajaran tersebut adalah kelas memasak. Dimana kami berdua diajak untuk turut ikut dalam kegiatan tersebut. Kami saling tertawa dan berbicara saat kelas memasak tersebut. Kami berdua juga dapat mencicipi masakan-masakan yang begitu lezat dengan kisah-kisah yang unik dibalik masakan tersebut. 

Namun bagi saya, salah satu memori yang tidak akan bisa saya lupakan dari kegiatan ekskursi tersebut adalah ketika saya bersama dengan dua teman saya diajak untuk main ke kobong mereka. Sejak hari pertama, kami belum pernah mendatangi kobong para santri manapun. Kami hanya sekedar lewat, tidak pernah singgah lebih lama. Namun pada malam tersebut, saya singgah di kobong mereka hingga lewat tengah malam. 

Disanalah saya merasa benar-benar diterima oleh mereka karena disana kami semua saling terbuka satu sama lain. Para santri di kobong tersebut sangat asik. Mereka mau berbagi kisah satu sama lain secara leluasa. Disanalah saya merasakan betapa indahnya keberagaman yang dimiliki oleh bangsa kita. Memang kita memiliki kepercayaan dan latar belakang yang berbeda, namun kami tetap dapat berbincang layaknya seorang sahabat. Perbedaan yang masing-masing dari kami miliki bukanlah penghalang namun sebuah bumbu pelengkap dari perbedaan itu.

Pengalaman ekskursi di Pondok Pesantren Darul Falah telah membuka mata saya akan indahnya keberagaman yang sejati. Prasangka dan ketakutan yang semula ada perlahan luruh, digantikan oleh kehangatan persahabatan dan penerimaan yang tulus. Melalui interaksi langsung dengan para santri, saya menemukan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan yang memperkaya hubungan antarmanusia.

Kegiatan ini mengingatkan kembali akan esensi dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang seolah telah terlupakan di tengah maraknya kasus intoleransi. Saya menyaksikan sendiri bagaimana perbedaan agama, latar belakang, dan budaya justru menjadi bumbu yang memperkaya pertemanan dan membuat pengalaman hidup menjadi lebih bermakna

Ekskursi yang saya ikuti telah memberikan sebuah pelajaran bermakna yang tidak akan saya lupakan. Kebhinekaan bukan sekadar semboyan negara, melainkan pengalaman nyata yang harus dirasakan dan dijalani. Keberagaman yang selama ini hanya saya pahami sebagai konsep abstrak, berubah menjadi sesuatu yang hidup dan nyata melalui interaksi dengan para santri di Pondok Pesantren Darul Falah. Prasangka yang awalnya memenuhi pikiran saya perlahan runtuh oleh sambutan hangat, keterbukaan, dan sikap saling menghormati dari teman-teman baru saya di sana. 

Intoleransi yang terjadi di tengah-tengah kita seringkali terjadi karena kita tidak memberi cukup ruang untuk saling menghargai perbedaan yang ada di antara kita. Perbedaan yang memperkaya masing-masing dari kita. Dan ketika memberi waktu untuk mengenal satu sama lain dan menerima perbedaan-perbedaan kita, pada saat itulah perbedaan itu tidak menghalangi melainkan sebuah garam yang menjadi bumbu dalam hubungan kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun