Setelah acara sambutan, kami diarahkan menuju kobong, tempat kami akan tidur selama tinggal di pondok pesantren. Kami diberikan waktu selama dua jam yang dapat digunakan secara bebas. Setelah saya merapikan barang-barang bawaan saya, saya bersama seorang teman memutuskan untuk menghabiskan waktu tersebut untuk berkeliling pondok pesantren. Kala itu, kegiatan pembelajaran di ponpes sudah selesai sehingga area pondok pesantren begitu ramai.
Saat kami sedang berkeliling, seorang ibu guru di pondok pesantren tersebut menyapa kami. Ia menanyakan bagaimana kondisi kami, bagaimana perasaan kami sampai di pondok pesantren. Saya tidak menyangka bahwa kami akan disapa terlebih dahulu. Akhirnya kami dan guru tersebut berbincang-bincang cukup lama mengenai kabar kami dan berbagai mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di pesantren.Â
Perjumpaan dengan guru tersebut perlahan mulai mengikis prasangka saya sedikit demi sedikit. Setelah perjumpaan tersebut, sudah waktunya kami semua untuk ikut berdinamika dengan para santri yaitu mengikuti pengajian. Dalam pengajian tersebut, kami bergabung dengan anak-anak kelas 10.Â
Mereka menyambut kami dengan hangat serta ingin tahu mengenai keseharian kami. Kakak atau aa (sebuah panggilan lelaki yang lebih tua dalam bahasa Sunda) yang memberikan materi pengajian pada hari tersebut memberikan waktu untuk kami semua untuk mengenal satu sama lain. Masing-masing dari kami saling bertanya mengenai keseharian satu sama lain.Â
Saya belajar mengenai kehidupan ponpes yang begitu religius. Mereka sangat tekun mengimani agama Islam. Mereka menjalankan sholat lima waktu tanpa putus. Mereka melakukan pengajian setiap hari. Waktu-waktu luang mereka banyak mereka gunakan untuk merawat Masjid yang mereka gunakan sehari-hari sehingga Masjid tersebut selalu bersih dan rapi.Â
Dari sesi sharing tersebut, prasangka saya akhirnya bisa runtuh. Terutama saat ada seorang santri yang ingin sharing dengan saya secara lebih dalam. Di saat itu, saya merasa bahwa saya tidak dibeda-bedakan. Saya merasa bahwa saya diterima. Kami akhirnya lebih asik berbincang sendiri hingga akhir sesi sharing tersebut.Â
Hari kedua, kami dibagi berdua-dua untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di sebelas ruang kelas mereka. Saya dan teman saya kebagian ruang kelas 12-A5. Ketika kami sampai di kelas, para santri menyapa kami. Mereka menyapa kami dan mengajak saling berkenalan dengan kami. Kami diajak ngobrol bersama mereka. Kami semua saling berbagi cerita satu sama lain mengenai latar belakang kehidupan kami. Kami saling menghargai latar belakang kami yang berbeda. Perbedaan tersebut bukan sebuah halangan bagi kami untuk berteman, melainkan hal itulah yang memperkaya pertemanan kami.Â
Salah satu kegiatan yang saya lupakan dari pembelajaran tersebut adalah kelas memasak. Dimana kami berdua diajak untuk turut ikut dalam kegiatan tersebut. Kami saling tertawa dan berbicara saat kelas memasak tersebut. Kami berdua juga dapat mencicipi masakan-masakan yang begitu lezat dengan kisah-kisah yang unik dibalik masakan tersebut.Â
Namun bagi saya, salah satu memori yang tidak akan bisa saya lupakan dari kegiatan ekskursi tersebut adalah ketika saya bersama dengan dua teman saya diajak untuk main ke kobong mereka. Sejak hari pertama, kami belum pernah mendatangi kobong para santri manapun. Kami hanya sekedar lewat, tidak pernah singgah lebih lama. Namun pada malam tersebut, saya singgah di kobong mereka hingga lewat tengah malam.Â
Disanalah saya merasa benar-benar diterima oleh mereka karena disana kami semua saling terbuka satu sama lain. Para santri di kobong tersebut sangat asik. Mereka mau berbagi kisah satu sama lain secara leluasa. Disanalah saya merasakan betapa indahnya keberagaman yang dimiliki oleh bangsa kita. Memang kita memiliki kepercayaan dan latar belakang yang berbeda, namun kami tetap dapat berbincang layaknya seorang sahabat. Perbedaan yang masing-masing dari kami miliki bukanlah penghalang namun sebuah bumbu pelengkap dari perbedaan itu.
Pengalaman ekskursi di Pondok Pesantren Darul Falah telah membuka mata saya akan indahnya keberagaman yang sejati. Prasangka dan ketakutan yang semula ada perlahan luruh, digantikan oleh kehangatan persahabatan dan penerimaan yang tulus. Melalui interaksi langsung dengan para santri, saya menemukan bahwa perbedaan bukanlah penghalang, melainkan jembatan yang memperkaya hubungan antarmanusia.