Mereka beribadah kepada Allah jika mendapatkan apa yang diinginkannya. Sebaliknya, bila keinginannya tidak tercapai, ia pun menuding Islam sebagai penyebab dari kegagalannya. Hal itu tercantum dalam al-Qur'an surat al Hajj ayat 11:
''Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan), jika ia memperoleh kebajikan tetaplah ia dalam keadaan itu (keimanan) dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana berbaliklah ia ke belakang (menjadi kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.'' (QS Al-Hajj [22]:11).
Asbabun Nuzul dari ayat di atas, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada orang yang datang ke Madinah lalu masuk Islam. Kemudian kalau istrinya melahirkan bayi laki-laki dan kudanya beranak, ia mengatakan, " ini agama yang baik." Tapi kalau istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tidak beranak, ia berkata,"ini agama yang buruk." Maka Allah menurunkan ayat ini.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Athiyyah dari Ibnu Mas'ud bahwa seorang laki-laki Yahudi masuk Islam, lalu matanya menjadi buta, harta bendanya habis dan anaknya mati. Sehingga dia menimpakan kesalahan kepada Islam. Ia berkata, "aku tidak mendapat apa-apa yang baik dari agamaku ini. Mataku menjadi buta, hartaku habis dan anakku mati.' Maka turunlah ayat ini.
Hadirin Jamaah Shalat Jum'at yang dirahmati Allah
Al-Qurtubi dan Ibn Al-Katsir menyampaikan bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah orang-orang munafik. Merekalah orang-orang yang sangat merugi di dunia dan di akhirat.
Hadirin Jamaah Shalat Jum'at yang dirahmati Allah
Kerugian yang dimaksud orang yang beriman di pinggiran pada surat al Hajj ayat 11 adalah kerugian bagi orang-orang yang jika dia ditimpa oleh suatu bencana," berupa peristiwa yang tidak baik, atau lenyapnya sesuatu yang dicintai. Mereka "berbaliklah dia ke belakang," maksudnya dia murtad (keluar) dari agamanya.
Jika murtad maka "Rugilah ia di dunia dan akhirat." Tentang kerugian di dunia, maka usahanya gagal. Tidak ada yang berhasil ia rengkuh melainkan bagian yang telah ditetapkan baginya. Adapun mengenai kerugian akhirat, maka sangat jelas. Ia terhalangi dari surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Dan dia dipastikan masuk neraka. Maka itulah kerugian yang nyata dan jelas.
Hadirin Jamaah Shalat Jum'at yang dirahmati Allah
Mengambil pelajaran dari ayat di atas bahwa dalam beriman tidak bisa hanya sekedarnya, setengah-setengah, asal-asalan atau ikut-ikutan. Posisi orang seperti itu ibarat di pinggiran atau tepian.
Artinya imannya belum teguh karena kurang yakin atau masih ada keraguan dalam beriman, pancaran imannya belum masuk di relung hati yang paling dalam. Mudah terombang-ambing dan bimbang saat menghadapi godaan dan tantangan dalam perjalanan imannya.
Di sinilah pentingnya dalam beriman diawali ilmu dan dijaga dengan terus belajar atau memperdalam ilmu. Pertama, melalui membaca buku-buku, mengikuti majelis-majelis taklim, aktif di forum-forum diskusi yang membahas keimanan dan keislaman.
Perintah Allah yang pertama dalam al-Qur'an adalah "bacalah" sebagai pondasi dalam keimanan. Kunci dari memahami Islam dan beriman dengan baik adalah membaca atau terus belajar, upgrade pengetahuan.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan" (Q.S. Al'alaq [96]: 1).
Kedua, memiliki guru, murabbi atau musyrif yang membimbing keimanannya. Selama ini belum ada yang membina, mengurus, memantau, mengevaluasi dengan penuh tanggung jawab untuk pertumbuhan keimanan kita. Maka penting adanya seorang guru atau murabbi yang memproses dan menempa iman secara intens.
Lingkungan saat ini cukup sistematis yang menjadikan iman tidak tumbuh dengan baik. Sebab sistem kehidupan, sistem pendidikan, sistem ekonomi dan budaya kurang mendukung pertumbuhan iman.
Ketiga, berteman dengan lingkungan pergaulan yang baik.
Selama ini, banyak orang terjebak dalam pergaulan yang menggerus keimanannya. Terkadang teman-teman komunitasnya membuat lalai dari ibadah.
Istilah anak-anak sekarang memilih circel yang mendukung untuk menguatkan keimanan. Rasulullah dalam hadist telah memberikan nasehat terkait pertemanan dalam keimanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Allah memberikan gambaran yang sangat jelas tentang pertemanan sangat berpengaruh hingga kehidupan di akherat. Allah berfirman :
" Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : "Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur'an sesudah Al Qur'an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia" (Al Furqan:27-29)
Di ayat ini, Â Allah menggambarkan seseorang yang telah menjadikan orang-orang yang jelek sebagai teman-temannya di dunia sehingga di akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah tidak berguna lagi.
Hadirin Jamaah Shalat Jum'at yang dirahmati Allah
Iman adalah barang yang mahal, tidak mudah untuk menjaga dan menumbuhkannya karena jaminannya surga. Maka tidak bisa hanya beriman di pinggiran tapi harus serius, kaffah, sungguh-sungguh dalam beriman. Caranya dengan senantiasa memperdalam keilmuan, memiliki guru atau murabbi yang membimbing dan mencari lingkungan yang mendukung pertumbuhan iman kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI