Mohon tunggu...
Paryono Yono
Paryono Yono Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk berbagi

Blog pribadi https://dolentera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahkah Membawa Keluarga Menuju Samawa?

3 Juli 2019   06:24 Diperbarui: 3 Juli 2019   06:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Hati-hati lah di awal pernikahan"

Itu pesan dari orang tua menjelang pernikahan. Tentu ada sebab mengapa orang tua berpesan demikian. Insting atau pengalaman bisa jadi menjadi alasan munculnya wejangan tersebut.

Mendengar pesan tersebut saya pun mencoba mencari tau yang mungkin menjadi sebab musabab pesan tersebut.

Dari pengamatan memang setelah menikah banyak yang menanjak secara ekonomi. Namun tidak sedikit juga yang  terpuruk. Keluarga amburadul kondisi keuangan pun ikut mawut. Pernikahan yang harusnya menjadi berkah malah berbuah bencana.

Jika setelah menikah menjadi bahagia, sejahtera, rejekinya lancar tentu tidak masalah. Namun jika berujung celaka dan sengsara maka akan membebani pikiran orang tua. Nampaknya kekhawatiran akan munculnya persoalan anak berbuah pesan tersebut.

Pernikahan layaknya pertemuan dua aliran arus. Dua arus itu bertemu dan berbentur pada satu tempat. Masing-masing arus memiliki kekuatan untuk mendorong apa saja yang dilewati. Masing-masing arus pun membawa berbagai material di dalamnya. Kedua arus saling dorong hingga membentuk arus baru.

Perkawinan mempersatukan dua insan dalam satu ikatan. Dua manusia yang masing-masing memiliki latar belakang, pengetahuan, pengalaman, kebiasaan yang tidak sama. Keduanya juga berasal dari keluarga yang mempunyai pola asuh yang berbeda.

Untuk menyatukan langkah dalam satu tujuan tidak lah mudah. Panjangnya waktu bersama tidak menjamin kerukunan dalam keluarga. Tingginya pendidikan juga tidak menjadi ukuran keluarga akan langgeng. Banyaknya harta juga tidak menjadi jaminan untuk tidak saling bertikai.

Membangun Jembatan Hati

Pernikahan adalah penyatuan dua insan dalam satu ikatan perkawinan. Tentu tidak mudah menemukan titik temu dua pikiran, dua hati, dua kebiasaan dan dua kenginan menjadi satu.

Perjalanan menuju pernikahan kami tergolong singkat. Hanya butuh kurang lebih enam bulan dari pertemuan pertama sampai berlangsungnya akad pernikahan. Hanya beberapa kali kami bertemu, ngobrol sebelum menikah. Itu pun lebih fokus membicarakan persiapan nikah.

Enam bulan jelas waktu yang sangat minim untuk saling memahami apalagi saling mengerti. Meskipun jika diberi waktu yang lebih lama pun belum tentu tambah saling memafhumi.

Untuk itu saya pun berusaha berhati-hati. Pasti akan ada kebiasaan saya yang membuat tidak enak hati. Pasti ada tindakan atau ucapan yang dapat melukai hati.

Saya menyadari memiliki sekarung kekurangan dan kelemahan. Kebiasaan srogal-srogol jelas berpotensi membuat jengkel istri yang mungkin sudah terbiasa rapi dan hati-hati. Belum lagi ucapan saya yang biasa memancing emosi, jelas tidak bisa diterima begitu saja.

Membangun jembatan hati menjadi solusi. Namun itu jelas tidak mudah bagi saya yang biasa kurang perduli. Biasa mengerjakan apa-apa sendiri. Cenderung pendiam dengan komunikasi yang minim. Serta tidak pandai mengucap maaf dan terima kasih. Untuk memulai jelas tidak mudah karena itu sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging sejak lama

Kirim Al Fatehah

Silaturahmi menjadi pilihan permulaan. Meski secara fisik sudah berusaha menjalin komunikasi, namun bagi saya itu tidak cukup untuk menguatkan jalinan kasih. Hubungan  fisik yang baik tidak menjamin kuatnya ikatan batin. Ikatan batin dapat dieratkan dengan jalinan batin pula.

Saya pun menambah cara lain. Kirim al-fatehah menjadi pilihan. Cara yang sudah lazim dilakukan oleh orang yang berada di keluarga nahdliyin. Mengharap keberkahan dari bacaan al-fatehah selain untuk diri sendiri juga dimohonkan agar sampai kepada istri dan mertua.

Terlepas dari perdebatan mengenai setuju atau tidak menghadiahkan al-fatehah. Menurut keyakian saya, membaca al-fatehah adalah cara menebar kebaikan kepada keluarga. Al fatehah menjadi wasilah do'a. Sebagai jalan agar keluarga dinaungi kesejahteraan, ketentraman dan keberkahan dalam menjalani hidup.

Menebar Kebaikan

Saya bersyukur pernah mengaji dan mendengar hadits tentang shodaqoh sebagai penolak balak dan bencana.  Juga tentang amal kebaikan yang dapat menjadi jalan tertanamnya kasih sayang. Di al-Quran Surah Maryam ayat 96 menyebutkan bahwa bibit kasih sayang akan muncul dengan adanya perbuatan baik.

"Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka)."

Berbekal pesan tersebut saya pun berusaha menyisihkan beberapa rupiah untuk yang membutuhkan. Uang tersebut saya keluarkan dengan niat sebagai jalan kebaikan bagi istri.  

Selain itu, saya pun mendorong istri jika ada keinginan untuk membantu saudara yang kesusahan. Demikian juga jika ada harapan untuk memenuhi tuntuan dan harapan orang tua. Semakin banyak kebaikan yang diperbuat semakin baik, karena semakin banyak pula nilai-nilai kasih sayang yang tertanam.

Tentu ada harapan yang terselip. Jika ada perselisihan, perbedaan pendapat, dan ganjalan hati ketika beradu argumen tidak menimbulkan persoalan yang berlarut. Jika ada percikan api kemarahan pun tidak membakar bangunan rumah tangga.

Harapan lain tentunya semoga saya dan istri bisa sabar dalam menjalani hidup berumah tangga. Bisa seiring sejalan dalam mendayung biduk rumah tangga.

Waktu empat tahun bukan waktu yang sebentar. Harusnya ada raihan yang terlihat selama selang empat tahun tersebut. Harusnya ada capaian yang terlihat dalam kurun waktu tersebut.

Sampai saat ini, pendapatan kami memang tidak berlimpah. Namun tidak bisa juga disebut hidup dalam kekurangan. Yang penting penghasilan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Juga ada yang untuk berbagi.

Perihal menghadapi suatu persoalan memang tidak selalu sealur. Terkadang berbeda pendapat. Tak jarang ada silang pendapat. Namun semua bisa diatasi. Sampai saat ini bisa dikata tidak ada persoalan yang berarti.

Jalinan kasih dalam rumah tangga terajut dengan baik. Hubungan saya dengan mertua, ipar, ponakan terjalin cukup akrab. Demikian juga antara istri dengan ibu, kakak, ponakan serta keluarga dekat saya lainnya.

Istri pun juga menghormati. Meskipun kalah penghasilan tidak membuatnya menumpuk tuntutan. Persoalan rumah tangga dihadapi bersama. Dalam menutup tugas rumah tangga dilakukan dengan kerjasama.

Memang kami tidak setiap akhir pekan ada liburan keluarga. Tidak juga punya banyak foto tentang keharmonisan keluarga. Namun itu tidak berarti kami hidup menderita. 

Jalinan kasih yang saya rasakan dalam keluarga sudah cukup menjadi penanda bahwa keluarga saya cukup bahagia. Sebagai pemimpin keluarga, saya rasa sudah mengayuh sampan keluarga untuk berjalan pada jalur yang semestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun