Di suatu tempat yang bisu kau harus bersuara
entah sekedar bersikap
seperti lampu-lampu kota sering kali sunyi
di luar sana ada seribu rimba harapan
Kalau kau sedang diam dan berhenti atau berfikir
merenung sesuatu yang tak pasti
dari badai kalimat yang terlalu sibuk dengan keliaran kata
Sungguh ucapan sudah mati hanya rindu tetap menyalaÂ
aku membangun sebuah mimpi sesekali berharapÂ
menghamba pada cita-cita terkadang naif
ku buang segala resah dan gelisah
kau cuma diam dan terpaku
mirip seperti patungÂ
kalau pengorbanan harus di kalkulasi. Itu bukanlah cintaÂ
Seribu ego yang pernah kau jumpai di dinding hati rakyatÂ
dalam peristiwa kebijakan serba compang-camping
terlalu rapuh dan congkak, entah terlalu rahasia sebagai sunyi
Dan Gus Dur terlalu menginspirasi
Umbu terlalu, "mengapa semuanya jadi puisi?"
Kadang waktu terlalu seriusÂ
dunia terlalu miskinÂ
berbicara tentang nikmat Tuhan hingga kami terlalu sering abaiÂ
Negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomiÂ
justru malah bingung di karenakan pemerintahanya korup
entah kapitalis, sosialisme atau liberalÂ
kami tak butuh pemikiran malingÂ
atas nama sistemÂ
selain akal sehat yang memiliki kejujuran nurani dalam bertindakÂ
Dalam rindu di simpannya segala tangis yang benar-benar nyata
dari di sudut waktu seorang cewek yang sedang kedinginanÂ
tak sempat lagi berfikir tentang suka dan duka sebabÂ
semuanya sudah melebur menjadi satu sulit
mengartikannya. Karena cintaÂ
dari sesuatu yang berbeda namun saling mengerti dan memahamiÂ
Joko Pekik, Nasirun seniman nyentrik hanya seribu satuÂ
Gus Dur terlalu abstrak bagi kalangan umumÂ
tau banyak tentang segala hal
penuh misteri
serba tafsirÂ
untukÂ
memahaminyaÂ
biarkanlah kenikmatan memahami Gus Dur makin asyikÂ
Bukan di salah artikanÂ
Gus Dur terlalu kreatif dan inovatifÂ
melakukan perubahan berfikir konvensionalÂ
seorang pembaharu awalnya memang sering di hujatÂ
tapi diam-diam buah pemikirannya di ikuti secara perlahanÂ
Wahai Umbu ku, inilah hari-hari mu sebagai puisi
yang kekal di dalam karya dari semesta kataÂ
kami pun merasa malu, karena Tuhan maha puisi
dari segala esensi, para penyair sibuk sensasiÂ
birokrasi alot berdiskusi mengatur strategiÂ
mensiasati pasal guna melakukan tindak korupsiÂ
Oposisi gencar di persekusi para buzzer berdeklamasiÂ
demokrasi tanpa opsi, selebrasiÂ
lalu kita sama-sama penasaran di ruang titik nol
ternyata kita di butakan pada isu remehÂ
waow itu terlalu mungkin namun kali ini tetaplah lain
kebablasan sungguh menjadi misteri dan bisu
kami tak dapat menafsirkan apa selain dari keangkuhanÂ
sajak-sajak bukanlah sebuah mimpi atau harapanÂ
ia adalah media perlawanan terhadap sistem kemunafikanÂ
Kelak ku bayangkan di akhir purna tugas ada sejumlahÂ
pekerjaan yang belum selesai dan mangkrakÂ
di tengah jalan dan hutang itu menumpuk sepertiÂ
gunungan sampah. Lalu tak menemukanÂ
cara berlindung selain berbohong
atau bekerja sama denganÂ
oligarki dan paraÂ
cukong
untuk menyuap para penegak hukum dan sejumlah media
Barangkali pekerjaan yang belum usai dan hutang-hutang itu
Sudah di bebankan melalui perundingan kalkulasi politikÂ
Dengan anggaran siluman asal dapat menutupiÂ
Kesalahan rezim di masa silam. Oke!
Di tanggung oleh pejabat baru sebagai warisan agenda kekuasaanÂ
. . .
tafsir ngawuriah
11:13 pm
19/11/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H