Mohon tunggu...
JQ Soenardi
JQ Soenardi Mohon Tunggu... Buruh - Rektor Universitas Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah berkerja di kesunyian Dalam hening dan senyap namun terasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Orkestrasi Negeri untuk Gus Dur

6 Maret 2024   01:06 Diperbarui: 6 Maret 2024   01:06 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar Ilustrasi Menyelami Isi Kepala Gus Dur Melalui Dark Jokes-nya (Mojok.co)

Di suatu tempat yang bisu kau harus bersuara

entah sekedar bersikap

seperti lampu-lampu kota sering kali sunyi

di luar sana ada seribu rimba harapan

Kalau kau sedang diam dan berhenti atau berfikir

merenung sesuatu yang tak pasti

dari badai kalimat yang terlalu sibuk dengan keliaran kata

Sungguh ucapan sudah mati hanya rindu tetap menyala 

aku membangun sebuah mimpi sesekali berharap 

menghamba pada cita-cita terkadang naif

ku buang segala resah dan gelisah

kau cuma diam dan terpaku

mirip seperti patung 

kalau pengorbanan harus di kalkulasi. Itu bukanlah cinta 

Seribu ego yang pernah kau jumpai di dinding hati rakyat 

dalam peristiwa kebijakan serba compang-camping

terlalu rapuh dan congkak, entah terlalu rahasia sebagai sunyi

Dan Gus Dur terlalu menginspirasi

Umbu terlalu, "mengapa semuanya jadi puisi?"

Kadang waktu terlalu serius 

dunia terlalu miskin 

berbicara tentang nikmat Tuhan hingga kami terlalu sering abai 

Negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi 

justru malah bingung di karenakan pemerintahanya korup

entah kapitalis, sosialisme atau liberal 

kami tak butuh pemikiran maling 

atas nama sistem 

selain akal sehat yang memiliki kejujuran nurani dalam bertindak 

Dalam rindu di simpannya segala tangis yang benar-benar nyata

dari di sudut waktu seorang cewek yang sedang kedinginan 

tak sempat lagi berfikir tentang suka dan duka sebab 

semuanya sudah melebur menjadi satu sulit

mengartikannya. Karena cinta 

dari sesuatu yang berbeda namun saling mengerti dan memahami 

Joko Pekik, Nasirun seniman nyentrik hanya seribu satu 

Gus Dur terlalu abstrak bagi kalangan umum 

tau banyak tentang segala hal

penuh misteri

serba tafsir 

untuk 

memahaminya 

biarkanlah kenikmatan memahami Gus Dur makin asyik 

Bukan di salah artikan 

Gus Dur terlalu kreatif dan inovatif 

melakukan perubahan berfikir konvensional 

seorang pembaharu awalnya memang sering di hujat 

tapi diam-diam buah pemikirannya di ikuti secara perlahan 

Wahai Umbu ku, inilah hari-hari mu sebagai puisi

yang kekal di dalam karya dari semesta kata 

kami pun merasa malu, karena Tuhan maha puisi

dari segala esensi, para penyair sibuk sensasi 

birokrasi alot berdiskusi mengatur strategi 

mensiasati pasal guna melakukan tindak korupsi 

Oposisi gencar di persekusi para buzzer berdeklamasi 

demokrasi tanpa opsi, selebrasi 

lalu kita sama-sama penasaran di ruang titik nol

ternyata kita di butakan pada isu remeh 

waow itu terlalu mungkin namun kali ini tetaplah lain

kebablasan sungguh menjadi misteri dan bisu

kami tak dapat menafsirkan apa selain dari keangkuhan 

sajak-sajak bukanlah sebuah mimpi atau harapan 

ia adalah media perlawanan terhadap sistem kemunafikan 

Kelak ku bayangkan di akhir purna tugas ada sejumlah 

pekerjaan yang belum selesai dan mangkrak 

di tengah jalan dan hutang itu menumpuk seperti 

gunungan sampah. Lalu tak menemukan 

cara berlindung selain berbohong

atau bekerja sama dengan 

oligarki dan para 

cukong

untuk menyuap para penegak hukum dan sejumlah media

Barangkali pekerjaan yang belum usai dan hutang-hutang itu

Sudah di bebankan melalui perundingan kalkulasi politik 

Dengan anggaran siluman asal dapat menutupi 

Kesalahan rezim di masa silam. Oke!

Di tanggung oleh pejabat baru sebagai warisan agenda kekuasaan 

. . .

tafsir ngawuriah

11:13 pm

19/11/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun