Namanya Mas Cipto, perawakannya pendek sedikit gemuk. Beliau berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, tak jauh dari Jalan Parangtritis. Dulu beberapa kali saya diundang mampir ke rumahnya. Rumah yang cukup kecil dan sederhana. Mas Cip, panggilan akrabnya, beliau bukanlah berasal dari keluarga kaya, kedua orang tuanya hanyalah buruh tani. Yang hanya diperlukan tenaganya kadang-kadang. Tergantung musim. Mas Cip memiliki tiga orang adik, semuanya masih sekolah. Adik nomor kedua, sempat akan dikeluarkan dari sekolah gara-gara telat bayar SPP selama tiga bulan. Meski begitu, adik-adik Mas Cip adalah para juara di sekolahnya. Begitu cerita Mas Cip suatu hari.
Saya dengan Mas Cip beda dua angkatan, beliau dua tahun lebih dahulu masuk kampus ndeso kami. Beliau masuk di Fakultas Peternakan, sedangkan saya di Fakultas Teknik. Meski begitu, hampir tiap minggu saya ketemu dengannya. Baik di masjid maupun di ruang sekretariat sebuah lembaga kampus. Pertama kali mengenal beliau saat saya awal-awal mengikuti pengaosan malam rabu di sebuah masjid dekat kampus kami. Dari situlah saya mengenal Mas Cip sebagai sosok yang penuh teladan. Kebanyakan peserta di pengajian itu adalah para senior dan aktivis kampus, termasuk Mas Cip juga. Namun, di antara para senior itu saya menemukan sosok yang berbeda pada diri Mas Cip. Beliau lebih menganggap saya sebagai teman dibanding sebagai juniornya, selain itu di banyak kesempatan beliau juga tak segan membantu saya.
Setelah lama berinteraksi dengan Mas Cip, kemudian saya semakin mengetahui bahwa Mas Cip tidak sekedar mahasiswa biasa. Selain aktif di beberapa organisasi beliau juga seorang mahasiswa yang mandiri. Sambil menjalani kuliah beliau juga tak segan menjalankan beberapa bisnisnya. Mulai dari menitipkan donat di kos-kosan, membuka angkringan sampai membuat peternakan bebek kecil-kecilan di rumahnya. Memang, beberapa kali usahanya sempat gulung tikar dan satu-satu yang paling lama bertahan adalah berternak bebek. Yang saya kagumi, belum pernah sekalipun saya menjumpai Mas Cip dalam keadaan bersedih setelah salah satu usahanya bangkrut, mengingat banyaknya beban biaya sekolah adik-adiknya yang ia tanggung. Saya bertambah kagum, saat tahu Mas Cip harus rela nglaju rumah-kampus setiap hari dengan sepeda kebo kesayangannya demi mengurusi bebek-bebeknya. Mas Cip menjalani rutinitasnya itu tanpa beban. Sebuah pemandangan langka di saat para mahasiswa lainnya tengah berbangga dengan motor dan mobil mereka, Mas Cip calon sarjana dari universitas terbaik menjalani harinya dengan menggembala bebek.
***
Tiga tahun sejak pertemuan terakhir saya dan Mas Cip, hari ini kami ditakdirkan untuk bertemu kembali. Hari ini saya kembali ke kota yang pernah membesarkan saya. Hanya satu agenda hari ini; bertemu Mas Cip. Sebuah pertemuan yang sempat tertunda dua tahun lalu.
Sesaat menuruni kereta dan berjalan kearah pintu keluar stasiun, saya melihat sosok yang pernah saya kenal.
"Mas Cip...?" sapa saya hati-hati. "Eh iya... Subhanallah dik Ahmad ya?" tanyanya balik sambil merangkul erat. Bersyukur bagi kami akhirnya dipertemukan. Dulu saat masih kuliah, kami sempat berjanji untuk saling mengunjungi saat pernikahan kami masing-masing, tapi hingga waktu pernikahan Mas Cip datang saya tidak bisa memenuhinya. Dan hari ini adalah pelunasan janji saya sekaligus menengok kelahiran anak pertamanya.
"Kita naik apa mas?" "Motor, itu saya parkir di sana?" jawab mas Cip sambil menunjuk sebuah motor bebek keluaran lima tahunan yang lalu. "Udah ngga ngonthel lagi mas? bebeknya bertelur yang satu ini?" tanyaku bercanda. "Masih kok, tapi berhubung mobilitas semakin tinggi, aku paksa bebek-bebekku bertelur dan menetaslah ini hehe "
Tidak banyak yang berubah dengan Mas Cip. Tetap sederhana dan suka bercanda seperti dulu. Dua puluh menit kemudian, perjalanan kami sudah memasuki perkampungan rumah Mas Cip. Banyak yang berubah, batinku. Tak lama kemudian, sampailah kami di sebuah rumah besar berarsitektur Jawa dengan halaman yang luas dan asri oleh pepohonan.
"Ini rumah Mas Cip?" tanyaku keheranan. "Iya, ini rumahku yang dulu. Ayo masuk..."
Tak percaya dengan apa yang sedang saya saksikan sekarang. Sebuah pemandangan kontras dengan apa yang saya lihat dulu. Tak hanya rumah besar saja, di parkiran tak jauh dari situ terparkir dua mobil sedan dan satu mobil pickup serta di dekatnya terdapat bangunan lagi bertulis Kelompok Tani Ngudi Rukun. Hebat!
"Mas, sekarang sudah banyak yang berubah ya? rumah-rumah warga di kampung ini juga semakin baik" tanyaku, setelah beberapa saat kami tenggelam di perbincangan yang hangat.
"Berkah Allah dik, lewat bebek-bebek itu"
Mas Cip mulai bercerita, bagaimana ia serius menjadi peternak bebek setelah lulus kuliah dan bagaimana usahanya meyakinkan warga di sekitarnya untuk mau beternak. Kata Mas Cip, hari ini beliau sudah memiliki ratusan peternak dengan puluhan ribu bebeknya yang tergabung di kelompok tani yang ia dirikan. Tidak sekedar beternak biasa, kelompok tani yang ia rintis juga mengurusi semua urusan dari hulu ke hilir, dari masalah pakan sampai kepada pengolahan hasil ternak. Dengan omset yang mencapai angka milyaran rupiah tiap bulannya.
"Mas sendiri, masih ngangon?" "Hampir tiap hari malah, sepertinya profesi ini sudah sangat mendarah daging"
Mas Cipto sepertinya tanpa henti menunjukkan kepada saya, betapa beliau adalah sosok yang penuh teladan. Tak hanya berjuang untuk dirinya dan keluarganya, beliau sekarang adalah pemegang rahasia dari kebangkitan ekonomi para petani. Selain itu, di saat berlimpahnya harta dan banyaknya karyawan yang ia miliki, ia tetap tampil bersahaja menjalani profesinya seperti dahulu, menjadi sontoloyo. Menggembala bebek ke persawahan sambil menikmati hangat senja di sore hari.
Pada diri Mas Cipto, saya teringat sebuah pepatah, semakin berilmu semakin menunduk. Ilmu, predikat, harta dan jabatan semestinya tidak menjadikan kita sombong dan jumawa. Ilmu seharusnya membuat kita rendah hati, harta mestinya membawa kebaikan kepada orang lain. Setelah perjumpaan singkat itu, saya berdoa "Ya Allah, anugerahkan bangsa ini dengan sosok-sosok seperti Mas Cip dan berilah segala kebaikan kepada Mas Cip dan keluarganya". Terimakasih Mas Cip, saya telah belajar banyak hal.
Note: Sontoloyo adalah sebutan profesi bagi para penggembala bebek. Tapi entah bagaimana ceritanya, sontoloyo kini menjadi semacam kata umpatan yang memiliki makna kata 'sialan' atau sejenisnya. Sebuah pergeseran makna yang cukup jauh. Kampus Ndeso adalah sebutan bagi kampus kerakyatan di bilangan Bulaksumur Yogyakarta. Kita mengenalnya sebagai Universitas Gadjah Mada. Dulu di kampus ini orang ndeso, orang-orang marjinal dan miskin lainnya leluasa mengkuliahkan anak-anaknya di sini. Warna karung goni pada jaket almamaternya adalah salah satu buktinya. Sekarang? silahkan jawab sendiri.
Gambar ilustrasi dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H