Matahari menyingsing menertawa rasanya
Setelah sekian lama aku bertapaÂ
Tepatnya aku diam tak bersua
Aku terhanyut di kelam dunia
Diluluhlantahkan tak ber sisaÂ
Menengok sekeliling pandanganku masih tak menepi
Angin menampar mukaku yang kaku
Rupanya sekian purnama tak lagi ku rasaÂ
Pagi ini rupanya jawab itu laksana
Aku tertegun saja dibawahÂ
Ragu itu terus saja mendamping
Meski aku tak lagi peduli
Daun nyiur melambai
Tinggi semampaiÂ
Bongkahan batu terjal mencubitÂ
Darah segar, kakiku begitu halus rupanya
Hujan angkuh sore itu
Bersiul manja di atas pualam
Aku dan daun pisang bermesra
Melihat tetesan demi tetesanÂ
Dingin menyergap seketika
Tak ada asap menyengat
Panjang ku bernafas dalam
Kakiku bergetar linu kaku
Seketika suara memecah
Sebongkah ketela terhidang dimeja
Nira hangat menemaniku
Harum kerongkonganku serat
Habis tak tersisa
Senyum manis simpul menggoda
Apalagi yang harus ku kejar
Berkali dunia ini terbalik
Tangan indah itu selalu bersamaku
Menggengamku dan ku toleh sebersitÂ
Jangan di ganggu dia
Atau pecah kepala
Tanpa musik jedag jedug
Saat disisinya itulah rasanya
Melihatnya sajaÂ
Jangan berlebih katanyaÂ
Kataku biarkan saja
Karena kau dan
Jengkalan keindahanÂ
Tanpa jeda
Ini ku hadiahkanÂ
Jangan kau lirik dekap sajaÂ
Aku tak bisa melukiskanmu
Habis kataku di sapu air langit
Sore ini
Esok pagi kita akan menjemput
Menjemput cerita baru
Hentikan senyummu itu
Tuhan begitu indahÂ
Aku tau itu
Kamu dan waktu adalah hadiahku
Sayang hanya ada yang tertinggal
Aku lupa kamu telah bertambah dewasa
Jangan lipat bibirmu
Aku minta maaf
Semoga kamu bahagia bersamaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H