Mohon tunggu...
Parlin Simanjuntak
Parlin Simanjuntak Mohon Tunggu... Freelancer - Penerus Perjuangan NagaBonar

Penerus Perjuangan NagaBonar

Selanjutnya

Tutup

Financial

Rugi 11 Triliun, Pertamina Harus Belajar ke Dirut yang Dicopot Menteri Rini

26 Agustus 2020   10:57 Diperbarui: 26 Agustus 2020   10:58 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Laporan Pertamina

Setelah Pertamina mengumumkan kinerja semester pertama 2020, maka tidak hanya di media, di lini masa (medsos) dibanjiri komentar Netizen. Sayangnya komentar dan perbincangan netizen lebih didasari faktor emosional, yaitu keberadaan Ahok di Pertamina. Yang menghujat maupun membela, lebih didominasi faktor rivalitas sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 maupun PilPres 2019 yang lalu.

Tekad Ahok untuk meningkatkan kinerja Pertamina, dengan statemennya yang khas saat diangkat sebagai Komisaris Utama akhir tahun 2019 yang lalu,  ternyata di paruh waktu 2020, justru kinerja Pertamina anjlok dan mencatatkan kerugian sekitar Rp 11 triliun. Sorotan publik tidak fokus ke Pertamina sebagai korporasi, tetapi justru kepada sosok Ahok. 

Tentu hal ini kurang pas, karena Ahok adalah komisaris/pengawas dan bukan direksi. Memang Ahok tetap memiliki kontribusi terhadap penurunan kinerja Pertamina di 2020 ini, karena menunjukkan pengawasannya belum efektif. 

Masih ada waktu Pak Ahok untuk mencambuk kinerja Pertamina disisa tahun 2020 ini, dan jebloknya kinerja Pertamina ini tentu harus diikuti dengan pengawasan yang lebih efektif, mengurangi statemen di media dan lebih fokus pada pembenahan internal Pertamina. Karena tidak cukup dengan popularitas dan modal politik yang kuat untuk membenahi Pertamina, maka Pak Ahok harus lebih intens mengawasi manajemen.

Biang kerok kerugian Pertamina yang disebut-sebut adalah harga minyak yang anjok dari US$ 65 dan sampai Juli 2020 berada dikisaran US$ 40 dollar.

 Dalam laporan keuangan Pertamina yang dipublikasikan dan dikutip oleh media, salah satu penyebab kerugian Pertamina adalah pendapatan yang turun 20%, "tepatnya 19,81% secara tahunan atau year on year (yoy) dari US$ 24,54 miliar pada semester I tahun lalu menjadi US$ 20,48 miliar",. Di sisi lain perusahaan berhasil menurunkan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya sebesar 14,14% yoy menjadi US$ 18,87 miliar dibanding sebelumnya sebesar Rp 21,98 miliar. 

Sementara beban produksi hulu dan lifting naik tipis 2,29% yoy menjadi US$ 2,43 miliar dari US$ 2,38 miliar, serta beban dari aktivitas operasi lainnya naik 19,56% dari US$ 803,78 juta menjadi US$ 960,98 juta (dikutip dari katadata.co.id).

Tentu sedih melihat paparan keuangan Pertamina yang menunjukkan ketidakmampuan manajemen dalam mengantisipasi dan merencanakan serta mengeksekusi program sehingga Pertamina disemester 1 2020 rugi Rp 11 triliun.

Hal ini jelas, menunjukkan bahwa Pertamina sudah melupakan sejarah. Padahal seperti pesan Presiden Sukarno, "jangan sekali-sekali melupakan sejarah". 

Pertamina yang berdiri sejak tahun 1971 dan telah berganti belasan kali Dirut maupun Direktur, telah mencatatkan kinerja yang terpuruk maupun cemerlang dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya. 

Namun, sepertinya nahkoda yang sekarang tidak mau belajar ke Dirut-dirut yang dulu, akibatnya ketika dihantam persoalan yang sama, maka menjadi babak belur. Padahal yang terjadi saat ini pernah terjadi di waktu-waktu sebelumnya.

Pertamina Tidak Efisien

Harga minyak turun, yaa...di tahun 2014 malah harga minyak sempat menembus angka US$ 120 dollar perbarrel, lalu menukik tajam dan di tahun 2016 berada dikisaran US$ 40 dolar per barrel (silahkan Googling). Jadi bayangkan selama 2 tahun lebih harga minyak dunia anjlok begitu dalam dan jika dibandingkan dengan harga tertingginya turun lebih dari 65%.  

Dibandingkan tahun 2020 per semester 1 yang turun dari US$ 65 ke US$ 40 atau hanya sekitar 30%. Memang di bulan April-Mei sempat dibawah US$ 30 dollar per barrel. Tetap saja jika pakai angka yang paling rendahpun hanya turun sekitar 52%.

Konsumsi BBM turun, ini juga sama dengan saat krisis ekonomi 1998 yang konsumsi BBM turun. Padahal di 2020, saat harga minyak dunia turun dan negara tetangga ramai-ramai turunkan harga BBM, harga di Indonesia tetap (sudah pasti melanggar Permen ESDM yang mengatur harga didasarkan perubahan harga minyak Indonesia Crude Price(ICP)). Faktanya harga ICP selalu dibawah harga minyak Brent maupun harga minyak WTI.

Ketika korporasi hanya bisa menurunkan biaya operasional dibawah penurunan pendapatan, maka menunjukkan korporasi tersebut tidak efisien. Kadang kala, alasannya karena pos biaya SDM tetap tidak berkurang, padahal ada pos lainnya yang bisa diefisienkan. 

Jelas kalau di Pertamina, maka pengadaan minyak mentah maupun BBM impor adalah hal-hal yang bisa diefisienkan. Transportasi kapal, biasa asuransi, cost of money (LC) dll.

Belajarlah Sama Dirut Pertamina Yang Dicopot Menteri BUMN Rini

Berprestasi tapi dicopot, itulah fakta. Tidak berprestasi tapi tetap dipercaya, itulah fakta yang lain. Menjadi nahkoda (Dirut) Pertamina akan banyak faktor, termasuk kepercayaan Menteri BUMN. Konon, dijaman dahulu (fakta sebenarnya). Bisa di googling. Sempat menjadi polemik....sempat menjadi perbincangan.......

Saat itu, ketika Pertamina berada di puncak capaian kinerja, Dirut Pertamina periode 2014-2017 malah dicopot oleh Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno. 

Kongsi pecah ketika sang Dirut tetap konsisten menjalankan rencana-rencana membesarkan Pertamina. Atas dukungan Presiden Jokowi Dirut Pertamina saat itu membubarkan Petral, salah satu sarang Mafia Migas yang menggerogoti Pertamina.

Ketika pendapatan Pertamina terpuruk karena harga minyak dunia turun (naahhh...ini bedanya, Dirut periode 2014-2017) menurunkan harga BBM. Agar masyarakat tidak menyerbu Premium (BBM yang disubsidi Pemerintah yang dapat menyebabkan pembengkakan subsidi dan membebani negara).

Pertamina saat itu melakukan inovasi dengan meluncurkan produk Pertalite yang dalam waktu 8 bulan sudah menjadi penjualan produk terbesar setelah Premium. Langkah cerdas, sehingga volume konsumsi BBM masyarakat tetap terjaga, Pertamina tetap dapat untung dan negara tidak terbebani subsidi.

Kinerja dan inovasi Pertamina (saat itu), akhirnya mendapatkan kepercayaan dari Presiden Jokowi sehingga blok Mahakam yang habis kontraknya di 2018, maka di tahun 2015 sudah diserahkan ke Pertamina. Bayangkan coba, blok yang masih menyimpan minyak dan gas yang sangat besar diberikan "gratis" ke Pertamina, dengan harapan Pertamina terus mendukung program Pemerintah dibidang energi. 

Gayung bersambut, saat Presiden Jokowi mencanangkan BBM 1 harga yang dimulai di Papua di tahun 2015 dan direalisasikan di tahun 2016, Visi besar Presiden Jokowi didukung oleh Dirut Pertamina saat itu. Meski Pertamina menanggung kerugian (selisih biaya sampai Rp 800 miliar) untuk mendukung program BBM 1 harga di Papua, tetapi Sang Dirut yakin, keuntungan Pertamina dengan efisiensi, pengelolaan blok terminasi dan lainnya, maka keuntungan Pertamina akan meningkat berlipat-lipat.

2016, Keuntungan Pertamina terbesar sepanjang sejarah saat Pendapatan terpuruk

Di tahun 2016, benar-benar terjadi. Saat harga minyak masih sangat rendah dikisaran US$ 40 per barrel, serta adanya berbagai penugasan Pemerintah agar Pertamina menjaga pasokan BBM dan mendukung BBM 1 harga di Papua, tidak membuat Pertamina kolaps, justru Pertamina semakin membesar. Keuntungan 2016 tercatat sebesar US$ 3,15 miliar.

Itulah nasib Dirut Pertamina saat itu (Dwi Soetjipto) yang dicopot Menteri BUMN Rini Soemarno saat itu.

Forbes
Forbes
Tidak ada salahnya, manajemen Pertamina yang sekarang untuk mempelajari jurus-jurus yang diterapkan Dwi Soetjipto saat membahwa Pertamina mencatatkan keuntungan terbesar sepanjang sejarah dan pertama kalinya mengalahkan Petronas dari aspek keuntungan. 

Jangan mencari pembenaran, bahwa saat ini Petronas juga rugi, karena masih banyak perusahaan minyak dunia lainnya yang justru melejit keuntungannya seperti Exxon dan lainnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun