Peran pemerintah. Diperlukan kebijakan proaktif untuk mempermudah akses pasar, mendukung sertifikasi produk (seperti organik atau fair trade), serta memangkas birokrasi yang menghambat. Subsidi untuk logistik atau akses pembiayaan murah juga akan sangat membantu petani kecil.
Kerjasama petani dan start-up. Platform digital seperti TaniHub atau Aruna bisa menjadi jembatan antara petani dan pasar internasional tanpa perlu melalui jalur birokrasi yang panjang. Ini juga membuka akses ke modal dan edukasi.
Pendidikan dan pendampingan. Petani milenial membutuhkan pelatihan bisnis, pemahaman ekspor, dan bimbingan legal untuk memastikan mereka dapat berkompetisi secara sah dan berkelanjutan.
5. Pandangan ke depan
Industri kopi Indonesia memiliki potensi besar, tetapi perlu pendekatan kolektif dari petani, pemerintah, dan pelaku bisnis. Jika petani milenial seperti dalam Gambaran di atas diberi peluang yang lebih baik, mereka tidak hanya dapat mengatasi tantangan, tetapi juga menjadi pemain kunci di pasar global. Dengan meningkatnya permintaan kopi specialty di pasar dunia, masa depan kopi di negeri ini bisa sangat cerah, asal ekosistem mendukung mereka untuk sukses secara legal dan berkelanjutan.
Ee tak lama setelah omon-omon di Poenokawan Coffee and Roastery, ada omon-omon lain dengan Kiki seorang Barista di Amstirdam Coffee Joyoagung raya. Bagaimana pendapatmu Kiki, mengapa kedai-kedai kopi di kota Malang ini meski sudah lumayan banyak yang bagus, tapi banyak juga di antaranya yang masih planga-plongo soal kopi. Kalau kita tanya kedai kopi ala warungan tapi sudah didandani bagus itu, kopi apa yang ada disini sekarang. Kopi ireng atau kopi hitam saja Pak, sahutnya cespleng. Ketika kita bilang hanya ada dua jenis kopi dimanapun yaitu Robusta dan Arabika, Barista yang siap dengan kopi Ireng itu, hanya menyahut emboh Pak, tapi ketok e Kopi Dampit, sahutnya tak yakin. Jawaban ini mengesalkan Ki. Bukannya kita ingin agar ia setrampil kalian di Amstirdam Coffe ini. Bukan. Tapi bagaimanapun itu kan pengetahuan dasar, bahkan pertanyaan sederhana dari seorang pengunjung caf. Kalau kita orang awak mungkin bisa memakluminya, tapi yang tak bisa dimaklumi bukankah kota Malang adalah kota untuk stop over tourism. Kan caf-caf seperti ini tidak hanya melayani mahasiswa saja, tapi juga melayani para pelancong luar negeri maupun dalam negeri.
Lha yang penting bagi mereka adalah bisnis bagi pengusaha caf, sedangkan bagi pengunjung yang penting bisa nongkrong meski hanya minum kopi ireng tanpa tahu asal-usulnya. Itulah respon kilat Kiki Barista Amstirdam Coffee.
Dari dialog singkat itu ada dua aspek penting, yaitu kualitas sumberdaya manusia (Barista) di industri kopi lokal dan pengaruhnya terhadap pengalaman wisatawan di Kota Malang sebagai destinasi stop-over tourism. Ini really masih berkaitan erat dengan obrolan sebelumnya tentang petani kopi dan tantangan dalam rantai pasok industri kopi di Indonesia.
Beberapa poin penting
1. Kualitas Barista dan edukasi kopi
Respon Kiki tentang Barista yang hanya bisa menjawab "kopi ireng atau kopi hitam" mencerminkan gap pengetahuan yang masih terjadi dalam industri kopi lokal. Hal ini menjadi masalah ketika pelanggan menginginkan pengalaman lebih daripada sekadar minum kopi. Pengetahuan dasar tentang asal-usul kopi, jenisnya (Robusta atau Arabika), metode penyeduhan, atau cerita di balik kopi yang disajikan dapat menciptakan daya tarik tersendiri, terutama untuk wisatawan mancanegara.