Pengukuhan Larangan TikTok Jelang Pelantikan Trump 20 Januari 2025
Membaca BBC edisi terbaru belum lama ini dikatakan TikTok akan dilarang di AS pada 19 Januari - kecuali Mahkamah Agung menerima upaya hukum terakhir dari pemiliknya di China, ByteDance, karena tindakan tersebut akan melanggar konstitusi.
Tetapi bahkan jika otoritas peradilan tertinggi negara setuju dengan pengadilan yang lebih rendah - dan Kongres - bahwa platform tersebut merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, apakah itu benar-benar akan menghentikan warga AS menggunakannya?
Akankah ada cara untuk menghindari larangan tersebut - atau dapatkah presiden terpilih Donald Trump menemukan cara untuk menghentikan undang-undang yang ia tolak, bahkan jika pun pengadilan mendukungnya.
Dan apa pun yang terjadi pada TikTok, siapa yang akan diuntungkan dari ketidakpastian yang mengaburkan masa depannya itu.
Perkembangan terbaru mengenai potensi larangan TikTok di AS menjelang pelantikan Donald Trump sebagai presiden pada 20 Januari 2025 menghadirkan beberapa implikasi menarik dari berbagai aspek, antara lain politik, hukum, teknologi, ekonomi, dan budaya digital.
Aspek Politik dan Hukum
Larangan TikTok oleh pemerintah AS berakar pada kekhawatiran terhadap keamanan nasional, khususnya potensi pengumpulan data warga AS oleh ByteDance yang berbasis di China. Ketegangan geopolitik antara AS dan China menjadi latar belakang kebijakan ini.
Trump, meskipun dikenal sebagai salah satu pengkritik ByteDance selama masa jabatan sebelumnya, tampaknya kali ini memilih pendekatan moderat dengan meminta Mahkamah Agung menunda penerapan undang-undang larangan. Hal ini menunjukkan kepentingan politik dan ekonomi pada kenyataannya lebih kompleks daripada sekadar keamanan nasional.
Jika Mahkamah Agung mendukung larangan, otoritas hukum AS akan menetapkan preseden besar terkait bagaimana regulasi internet bisa digunakan untuk melarang platform tertentu. Namun, jika Mahkamah Agung menolak, ini akan menjadi kemenangan simbolis bagi TikTok dan kebebasan digital.