Permasalahan terurai di atas mencakup isu hak asasi manusia, tanggungjawab pemerintah, dan hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste.
Selama masa integrasi (1976-1999), banyak warga Indonesia yang memiliki aset, baik berupa tanah, bangunan, maupun usaha, yang ditinggalkan pasca referendum. Pengabaian terhadap aset-aset ini mencerminkan kurangnya perlindungan hukum yang memadai pada masa itu.
Setelah referendum yang didukung PBB, banyak aset menjadi sengketa karena perubahan status hukum wilayah. Ini menciptakan celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengklaim aset tersebut, termasuk eks Fretilin.
Tidak ada Memorandum of Understanding (MoU) khusus antara Indonesia dan Timor Leste terkait aset warga Indonesia di Timor Leste. Hal ini membuat penyelesaian sengketa lebih bergantung pada negosiasi bilateral tanpa kepastian hukum yang kuat.
Tanggungjawab pemerintah Indonesia
Meski Timor Leste kini menjadi negara berdaulat, Indonesia memiliki kewajiban moral dan politik untuk memastikan keadilan bagi warga eks-Timor Timur, termasuk akses ke aset yang mereka tinggalkan. Hal ini dapat ditempuh melalui mekanisme internasional atau bilateral.
Uang santunan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, meski patut diapresiasi, tidak menggantikan kerugian nyata yang dialami warga. Sebagai contoh, aset bernilai tinggi seperti tanah dan properti tidak mungkin diganti dengan uang dalam jumlah kecil.
Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan dukungan tokoh seperti Sjafrie Sjamsoeddin dan H.B.L. Mantiri, dapat meningkatkan upaya diplomatik untuk menyelesaikan isu ini secara menyeluruh.
Hubungan bilateral Indonesia-Timor Leste
Ketegangan antara eks-warga Indonesia dan kelompok Fretilin di Timor Leste memperumit penyelesaian sengketa aset. Ketegangan ini diperparah oleh sikap keras sebagian warga Timor Leste yang menganggap tanah dan aset tersebut sebagai milik mereka karena perubahan politik.
Pemerintah Timor Leste mengalami kesulitan mengendalikan kelompok-kelompok eks-Fretilin yang menduduki aset tersebut, baik karena keterbatasan sumberdaya maupun sensitivitas politik domestik.