PDIP Partai Reaksioner Now
Perjalanan PDIP sebagai partai politik mencerminkan dinamika besar dalam sejarah politik Indonesia, terutama karena keterkaitannya dengan trah Soekarno dan perjuangan melawan tekanan otoritarianisme Orde Baru.
Meskipun PDIP memiliki keterkaitan ideologis dan historis dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno, secara struktural PDIP adalah entitas yang lahir dari fusi partai-partai nasionalis dan progresif di bawah tekanan Orde Baru. Pada dasarnya, PDIP lebih merupakan evolusi politik dari fusi PDI (Partai Demokrasi Indonesia), yang dibentuk oleh rezim Orde Baru sebagai alat kontrol atas partai-partai kecil. Dengan demikian, PDIP adalah produk reformasi pasca-Orde Baru, bukan penerus langsung PNI.
Perjuangan Megawati melawan Soeharto
Megawati Soekarnoputri memainkan peran penting dalam mengubah PDI menjadi PDIP melalui perjuangan politik melawan tekanan rezim Soeharto. Ketika PDI digunakan sebagai alat politik oleh rezim, Megawati muncul sebagai simbol oposisi terhadap Orde Baru. Perebutan PDI dari tangan Suryadi - yang dianggap sebagai boneka Soeharto - adalah momen penting. Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), di mana kekuatan negara menyerang kantor PDI pro-Megawati, menunjukkan resistensi Megawati terhadap sistem politik yang represif.
Buku ini menandai deklarasi keyakinan dan perjuangan Megawati dalam membangun kembali partai berdasarkan semangat perjuangan Soekarno. Pesan buku ini relevan dalam menggugah basis massa nasionalis dan mengingatkan publik akan warisan perjuangan trah Soekarno. Namun, momentum itu juga menunjukkan kebangkitan PDIP bukan hanya soal warisan trah, tetapi juga respons terhadap aspirasi rakyat untuk demokrasi dan keadilan pasca-Orde Baru.
Transformasi PDIP pasca-Reformasi
PDIP berhasil menjadi salah satu partai besar setelah Reformasi, memanfaatkan kebangkitan sentimen anti-Orde Baru dan keinginan untuk kembali ke nilai-nilai Pancasila yang dianggap mulai terpinggirkan. Di sisi lain, perjalanan PDIP juga menunjukkan tantangan modernisasi partai, seperti mempertahankan relevansi ideologi, menghadapi isu politik dinasti, dan merespons kritik atas praktik kekuasaan selama era Megawati maupun Jokowi.
Awal mulanya PDIP memperlihatkan bagaimana partai ini bangkit dari krisis politik menjadi kekuatan besar di panggung nasional. Namun, kesinambungan ideologi dan upaya menjaga integritas politik tetap menjadi ujian besar bagi partai ini hingga kini.
Partai dinasti dan reaksioner
Sayang, dilihat dari konteks kini dimana zaman sudah jauh berubah ketimbang masa Orba dan Reformasi, kita melihat PDIP cenderung menjadi Partai Dinasti, dimana Megawati belum dapat menerima adanya perubahan internal dalam rangka menumbuhkembangkan rasa persatuan bahwa PDIP adalah milik semua anak bangsa. Sebagai contoh Sekjen PDIP di masa Kudatuli yaitu Alex Litaay tak pernah kedengaran namanya, Sabam Siagian selaku salah satu pendiri PDIP Megawati dicampakkan begitu saja, sehingga anak kandungnya yaitu Maruarar Sirait keluar dengan resmi dari PDIP jelang Pilpres 2024, juga pernah ada gerakan reformasi internal PDIP di bawah Laksamana Sukardi, tapi yang terjadi Laksamana dkk dipecat dari PDIP. Sebelum Maruarar atau Ara keluar dari PDIP, Budiman Sujatmiko salah satu kader terbaik PDIP malah keluar dan bergabung dengan Gerindra. Dan pukulan paling telak adalah ketika mantan Presiden Jokowi keluar tanpa bersuara apapun dari PDIP.
Praktis Megawati sekarang ditinggal sendirian oleh kader-kader terbaiknya. Boleh dikata sejak Jokowi hengkang dari PDIP, Megawati membawa PDIP menjadi Partai dinasti sekaligus reaksionner dengan menyisakan sedikit akal sehat dalam berpolitik.
Dilema besar yang dihadapi PDIP sebagai partai politik dominan yang telah lama dikelola dengan pola kepemimpinan yang sangat sentralistik. Di bawah Megawati Soekarnoputri, PDIP berhasil mempertahankan posisi sebagai kekuatan politik besar, tetapi dinamika internal dan respons terhadap perubahan zaman menjadi isu kritis.
Dominasi dinasti dalam struktur PDIP
Megawati mengkonsolidasikan PDIP sebagai partai dengan kepemimpinan yang sangat personalistik dan dinastik, mengutamakan loyalitas di atas kompetensi atau gagasan progresif. Keberadaan tokoh seperti Puan Maharani sebagai pewaris politik menunjukkan bagaimana PDIP dikelola lebih sebagai institusi keluarga ketimbang partai politik inklusif. Akibatnya, suara-suara alternatif sering diabaikan, dan hal ini menciptakan alienasi di antara kader-kader potensial.
Pembuangan kader progresif
Tokoh-tokoh seperti Alex Litaay, Laksamana Sukardi, Sabam Sirait, hingga Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait adalah nama besar yang berkontribusi pada perjalanan PDIP. Namun, pemecatan dan pengabaian mereka mencerminkan ketidakmampuan partai untuk mengelola perbedaan pendapat atau mengakomodasi reformasi internal. Keputusan-keputusan ini tidak hanya merugikan PDIP dalam hal regenerasi, tetapi juga mempersempit basis intelektual dan ideologis partai.
Jokowi keluar dalam senyap
Keluar tanpa pernyataan publik dari mantan Presiden Joko Widodo - yang selama dua periode membawa nama besar PDIP - adalah pukulan signifikan. Jokowi sebelumnya menjadi simbol bahwa PDIP mampu menarik pemimpin-pemimpin non-dinastik dan populer. Namun, perbedaan visi dan gaya kepemimpinan antara Jokowi dan Megawati, serta kekecewaan terhadap arah politik partai, inilah yang kemungkinan besar mendorong Jokowi menjauh secara diam-diam. Hal ini menciptakan citra PDIP lebih terjebak pada masa lalu ketimbang menyiapkan masa depan.
Transformasi menjadi Partai Reaksioner
PDIP telah menjadi partai reaksioner dengan "sedikit akal sehat dalam berpolitik" menunjukkan partai ini gagal beradaptasi dengan aspirasi politik generasi muda atau masyarakat yang semakin kritis. Di era politik dinamis dengan kebutuhan inovasi dan inklusivitas, PDIP terlihat lebih sibuk mempertahankan status quo kepemimpinan ketimbang merumuskan agenda progresif.
Implikasi bagi masa depan PDIP
Dengan ditinggalkannya Megawati oleh kader-kader terbaik, PDIP menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan di masa depan. Dominasi Megawati sebagai simbol partai mungkin menjadi keuntungan di masa lalu, tetapi di era politik yang semakin kompleks, pendekatan ini menjadi hambatan.
Untuk bertahan PDIP membutuhkan antara lain regenerasi kepemimpinan. Memberikan ruang bagi kader muda atau tokoh yang mampu membawa pembaruan; reformasi Internal. Mengakomodasi perbedaan pendapat dan memperluas basis ideologis partai; visi progresif: Merumuskan kebijakan yang relevan dengan tantangan zaman, seperti isu lingkungan, ekonomi digital, dan partisipasi politik generasi muda.
PDIP berada pada persimpangan penting. Jika gagal beradaptasi dengan perubahan, partai ini berisiko kehilangan relevansi seperti banyak partai politik besar di negara-negara lain yang terlalu bergantung pada figur tertentu atau struktur kekuasaan yang usang. Namun, jika mampu membuka ruang untuk reformasi, PDIP masih berpotensi menjadi kekuatan utama dalam politik Indonesia dengan basis ideologi nasionalisme yang kuat.
Kader-kader PDIP berguguran
Contoh terkini adalah Pilkada serentak yang baru saja berlalu, dimana banyak calon-calon kepala daerah yang diusung PDIP berguguran satu per satu, seperti di Jateng misalnya yang diunggulkan sebagai sarang Banteng, ternyata kini tidak lagi. Di Jatim Risma yang diusung PDIP juga gugur, dan di Jakarta Pramono Anung yang diusung PDIP, sampai-sampai harus Anies Baswedan yang harus mengendorse jagoan PDIP itu. Ternyata terbetik kabar Pramono tidak menang mutlak 50%+1. So Pilkada Jakarta harus dilakukan dua putaran untuk menentukan Ridwan Kamil atau Pramono yang menang.
Khusus di Pilkada DKI, kita tahu sendiri Anies adalah salah satu sosok yang distigma PDIP sebagai sosok yang kental dengan politik identitas. Dan dalam Pilkada Jakarta, PDIP awalnya malu-malu kucing menerima kunjungan Anies. Yang tadinya Anies akan dicalonkan PDIP jadi calon Gubernur Jakarta, kemudian berubah dengan diusungnya Pramono. Hal ini banyak disentil pengamat bahwa PDIP pada klimaksnya kebakaran jenggot. Bisanya hanya menyalahkan Jokowi dan Prabowo.
Hasil Pilkada serentak terbaru di muka mencerminkan tantangan besar bagi PDIP dalam mempertahankan dominasinya di berbagai wilayah strategis.
Kemunduran di Jateng dan Jatim
Jawa Tengah (Jateng), yang selama ini dianggap sebagai "kandang banteng", menunjukkan pergeseran preferensi pemilih. Hal ini bisa disebabkan oleh kejenuhan terhadap dominasi satu partai atau keberhasilan kandidat dari partai lain yang lebih mampu menangkap aspirasi masyarakat. Di Jawa Timur (Jatim), kekalahan Risma menunjukkan modal politik tokoh PDIP sekaliber Risma pun tidak cukup kuat tanpa dukungan strategi kampanye yang adaptif dan isu yang relevan. Kekalahan ini juga mencerminkan PDIP kemungkinan besar telah kehilangan kemampuan untuk menjawab kebutuhan lokal secara efektif.
Pilkada DKI Jakarta : dualisme dan inkonsistensi PDIP
PDIP menghadapi dilema besar dalam Pilkada DKI Jakarta. Awalnya, wacana mengusung Anies Baswedan sempat muncul, yang menunjukkan adanya upaya PDIP untuk merekonsiliasi persepsi publik bahwa mereka terlalu partisan. Namun, akhirnya PDIP mengusung Pramono Anung, yang tampak sebagai langkah defensif untuk mempertahankan pengaruh, tetapi juga menimbulkan kesan inkonsistensi dan kekhawatiran akan kekalahan. Keputusan ini semakin menguatkan narasi bahwa PDIP tidak memiliki calon internal yang benar-benar kompetitif.
Dukungan terbuka Anies kepada Pramono tampaknya dilakukan untuk menjaga hubungan lintas-partai. Namun, fakta bahwa Pramono gagal meraih suara mayoritas (50%+1) memperlihatkan dukungan tersebut belum mampu mengkonsolidasikan suara. Situasi ini semakin diperburuk oleh kebutuhan putaran kedua melawan Ridwan Kamil, yang dikenal sebagai kandidat populer dan lebih independen.
Stigma politik identitas dan hubungan PDIP-Anies
Selama ini, PDIP sering menggunakan stigma politik identitas untuk menyerang lawan-lawannya, terutama Anies. Namun, dalam Pilkada DKI, terlihat PDIP pragmatis ketika membutuhkan dukungan, meski harus bertemu dengan sosok yang sebelumnya distigmatisasi. Inkonsistensi ini menjadi bahan kritik pengamat, yang menilai PDIP tidak lagi memiliki pijakan ideologi yang konsisten, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek.
Krisis strategi dan kaderisasi PDIP
Kekalahan di berbagai wilayah strategis dan sulitnya memenangkan suara mutlak di Jakarta menunjukkan PDIP menghadapi krisis strategi dan kaderisasi. Sebagai partai yang terlalu bergantung pada figur tertentu, terutama Megawati, PDIP tampaknya kesulitan beradaptasi dengan dinamika politik lokal yang semakin kompleks. Ketergantungan pada simbol dan nama besar tidak lagi cukup untuk memenangkan hati pemilih yang kini lebih kritis dan terfragmentasi.
Tudingan terhadap Jokowi dan Prabowo
Respons PDIP yang cenderung menyalahkan Jokowi atau Prabowo atas kekalahan mereka menunjukkan kurangnya refleksi internal. Sebagai partai yang pernah menjadi pengusung utama Jokowi, PDIP sebenarnya memiliki tanggungjawab besar untuk menjaga hubungan yang sehat dan konstruktif, bukan sekadar mencari kambing hitam. Kritik terhadap Prabowo, yang kini berada di posisi presiden, juga menunjukkan PDIP masih terjebak pada retorika oposisi tanpa arah jelas.
Kegagalan PDIP dalam Pilkada serentak terbaru ini menjadi peringatan keras bahwa partai ini tidak lagi dapat mengandalkan strategi lama. Untuk mempertahankan relevansinya, PDIP perlu melakukan introspeksi mendalam terhadap strategi dan kaderisasi; menghilangkan kecenderungan "blame game" terhadap pihak luar; mengembangkan narasi politik yang lebih inklusif dan sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal; mendorong regenerasi internal untuk menghadirkan tokoh-tokoh baru yang dapat memimpin dengan visi segar.
Tanpa perubahan terurai di atas, PDIP berisiko semakin kehilangan daya tarik, bahkan di wilayah-wilayah yang selama ini dianggap basis mereka.
Joyogrand, Malang, Mon', Dec' 02, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H