Partai dinasti dan reaksioner
Sayang, dilihat dari konteks kini dimana zaman sudah jauh berubah ketimbang masa Orba dan Reformasi, kita melihat PDIP cenderung menjadi Partai Dinasti, dimana Megawati belum dapat menerima adanya perubahan internal dalam rangka menumbuhkembangkan rasa persatuan bahwa PDIP adalah milik semua anak bangsa. Sebagai contoh Sekjen PDIP di masa Kudatuli yaitu Alex Litaay tak pernah kedengaran namanya, Sabam Siagian selaku salah satu pendiri PDIP Megawati dicampakkan begitu saja, sehingga anak kandungnya yaitu Maruarar Sirait keluar dengan resmi dari PDIP jelang Pilpres 2024, juga pernah ada gerakan reformasi internal PDIP di bawah Laksamana Sukardi, tapi yang terjadi Laksamana dkk dipecat dari PDIP. Sebelum Maruarar atau Ara keluar dari PDIP, Budiman Sujatmiko salah satu kader terbaik PDIP malah keluar dan bergabung dengan Gerindra. Dan pukulan paling telak adalah ketika mantan Presiden Jokowi keluar tanpa bersuara apapun dari PDIP.
Praktis Megawati sekarang ditinggal sendirian oleh kader-kader terbaiknya. Boleh dikata sejak Jokowi hengkang dari PDIP, Megawati membawa PDIP menjadi Partai dinasti sekaligus reaksionner dengan menyisakan sedikit akal sehat dalam berpolitik.
Dilema besar yang dihadapi PDIP sebagai partai politik dominan yang telah lama dikelola dengan pola kepemimpinan yang sangat sentralistik. Di bawah Megawati Soekarnoputri, PDIP berhasil mempertahankan posisi sebagai kekuatan politik besar, tetapi dinamika internal dan respons terhadap perubahan zaman menjadi isu kritis.
Dominasi dinasti dalam struktur PDIP
Megawati mengkonsolidasikan PDIP sebagai partai dengan kepemimpinan yang sangat personalistik dan dinastik, mengutamakan loyalitas di atas kompetensi atau gagasan progresif. Keberadaan tokoh seperti Puan Maharani sebagai pewaris politik menunjukkan bagaimana PDIP dikelola lebih sebagai institusi keluarga ketimbang partai politik inklusif. Akibatnya, suara-suara alternatif sering diabaikan, dan hal ini menciptakan alienasi di antara kader-kader potensial.
Pembuangan kader progresif
Tokoh-tokoh seperti Alex Litaay, Laksamana Sukardi, Sabam Sirait, hingga Budiman Sudjatmiko dan Maruarar Sirait adalah nama besar yang berkontribusi pada perjalanan PDIP. Namun, pemecatan dan pengabaian mereka mencerminkan ketidakmampuan partai untuk mengelola perbedaan pendapat atau mengakomodasi reformasi internal. Keputusan-keputusan ini tidak hanya merugikan PDIP dalam hal regenerasi, tetapi juga mempersempit basis intelektual dan ideologis partai.
Jokowi keluar dalam senyap
Keluar tanpa pernyataan publik dari mantan Presiden Joko Widodo - yang selama dua periode membawa nama besar PDIP - adalah pukulan signifikan. Jokowi sebelumnya menjadi simbol bahwa PDIP mampu menarik pemimpin-pemimpin non-dinastik dan populer. Namun, perbedaan visi dan gaya kepemimpinan antara Jokowi dan Megawati, serta kekecewaan terhadap arah politik partai, inilah yang kemungkinan besar mendorong Jokowi menjauh secara diam-diam. Hal ini menciptakan citra PDIP lebih terjebak pada masa lalu ketimbang menyiapkan masa depan.
Transformasi menjadi Partai Reaksioner