Romawi mengubah nama wilayah ini menjadi "Syria Palestine" setelah menghancurkan pemberontakan Yahudi (132-136 M). Langkah ini bertujuan untuk memutuskan hubungan bangsa Yahudi dengan tanah tersebut, yang menjadi awal istilah "Palestine" dalam konteks geografis.
Konteks sejarah modern
Selama berabad-abad di bawah Ottoman, wilayah ini tidak dikenal sebagai negara Palestine tetapi bagian dari propinsi yang lebih luas. Penduduknya mayoritas Muslim Arab, dengan komunitas Yahudi kecil yang telah lama tinggal di sana.
Setelah Perang Dunia I, Inggeris dan Perancis melalui Perjanjian Sykes-Picot membagi wilayah ini, menciptakan mandat Inggeris di Palestine. Kebijakan kolonial ini membuka jalan bagi konflik modern antara Yahudi dan Arab, terutama setelah Deklarasi Balfour 1917, yang mendukung pembentukan tanah air Yahudi.
Pendudukan atau hak warisan
Penduduk Arab di wilayah ini memandang pendirian Israel pada 1948 sebagai "pendudukan" karena tanah yang mereka huni sejak zaman Ottoman kini menjadi negara baru melalui imigrasi Zionis besar-besaran, disertai pengungsian (Nakba) 700.000 Arab-Palestine.
Dari perspektif Israel dan banyak pendukungnya, tanah ini adalah warisan sejarah Yahudi yang telah dirampas selama berabad-abad. Gerakan Zionisme muncul untuk mengembalikan hak atas tanah yang mereka klaim sebagai tanah air nenek moyangnya.
Resolusi PBB tahun 1947 membagi wilayah ini untuk dua negara (Yahudi dan Arab), tetapi konflik 1948, 1967, dan seterusnya memperumit klaim ini. Wilayah seperti Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza dianggap "pendudukan" oleh sebagian besar dunia internasional setelah perang 1967.
Peran Inggeris, Perancis, dan ICC
Keduanya memiliki tanggungjawab besar dalam menciptakan ketidakstabilan modern melalui kebijakan pasca-Ottoman yang tidak konsisten. Dukungan awal terhadap Zionisme diikuti oleh pengabaian terhadap komunitas Arab yang sudah tinggal di wilayah tersebut.
Kritik terhadap Israel seringkali menyasar kebijakan modernnya, seperti permukiman ilegal dan blokade Gaza, yang dianggap melanggar hukum internasional. Namun, tuduhan ICC terhadap Netanyahu sangat diperdebatkan karena dianggap mengabaikan narasi historis dan konflik yang lebih kompleks.