Indonesia telah membangun hubungan penting dengan China dalam mengembangkan infrastruktur kereta api, dimulai dengan kereta api cepat (HSR) Whoosh dari Jakarta ke Bandung, yang mulai beroperasi pada Oktober 2023 setelah bertahun-tahun mengalami penundaan pembangunan.
Anak perusahaan operator kereta api milik negara PT Kereta Api Indonesia (KAI) menandatangani perjanjian pada bulan Pebruari dengan CRRC Sifang Co Ltd. untuk membeli tiga kereta seharga Rp 783 miliar, yang akan digunakan untuk menggantikan armada tua Kereta Commuter Line Jabodetabek.
Sebelumnya, Indonesia mengandalkan kereta Jepang untuk layanan kereta komuternya. Demikian pula, negara itu pernah memilih Jepang untuk menggarap proyek HSR sebelum beralih ke China.
Beberapa implikasi penting
Pengembalian kereta otonom ART (Autonomous Rail Transit) buatan China yang gagal memenuhi ekspektasi di Nusantara memiliki beberapa implikasi penting yang mencakup aspek teknologi, reputasi internasional, dan hubungan bilateral antara Indonesia dan China.
1. Pukulan untuk reputasi China
China telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam teknologi infrastruktur transportasi, termasuk sistem kereta api. Namun, kegagalan ART dalam memenuhi standar teknis dan operasional, seperti ketidakmampuan sistem otonom untuk menghindari rintangan; kebutuhan intervensi manual oleh pengemudi; tidak adanya kontrol rute yang dapat diprogram; kegagalan sistem pengereman otomatis. Ini jelas mengungkapkan teknologi tersebut belum matang atau dioptimalkan untuk implementasi di lingkungan yang kompleks seperti Nusantara.
Kasus ini berpotensi merusak reputasi China sebagai pemasok teknologi transportasi canggih, terutama karena banyak negara mengamati hasil proyek-proyek besar seperti ini sebelum membuat keputusan investasi serupa.
2. Risiko Citra dalam diplomasi infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI)
Proyek ART merupakan bagian dari upaya China untuk mempromosikan teknologi dan produk transportasi dalam kerangka BRI. Pengembalian ART dapat menjadi bukti bagi negara lain bahwa produk China, meskipun murah dan inovatif, tidak selalu andal atau sesuai dengan kebutuhan lokal. Ini bisa memperlemah daya tarik BRI dan mendorong negara-negara untuk mempertimbangkan kembali ketergantungan mereka pada teknologi China.
3. Pengaruh pada hubungan bilateral Indonesia-China