Prabowo dan Distribusi Dokter di Indonesia
Kebijakan peningkatan jumlah dokter yang dicanangkan Prabowo Soebianto, seperti membangun 300 fakultas kedokteran dan mengirim 10.000 mahasiswa ke luar negeri, memang bertujuan mengatasi kekurangan tenaga medis di Indonesia.Â
Namun, solusi tersebut perlu dilihat secara lebih komprehensif. Tantangan utama dalam masalah kesehatan di Indonesia bukan hanya jumlah dokter, tetapi juga distribusi yang tidak merata dan sistem kesehatan yang belum optimal.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk memahami situasi ini
1. Ketimpangan distribusi tenaga medis
Saat ini, dokter di Indonesia cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, sedangkan di daerah terpencil dan tertinggal kekurangan tenaga medis masih signifikan. Banyak dokter enggan bekerja di wilayah terpencil karena fasilitas kesehatan yang kurang memadai, insentif yang tidak menarik, dan minimnya dukungan infrastruktur.
Membangun fakultas kedokteran di berbagai wilayah memang dapat menambah jumlah lulusan dokter, namun tanpa kebijakan distribusi yang efektif, dokter baru tetap akan memilih bekerja di kota besar atau bahkan luar negeri.
2. Kualitas pendidikan kedokteran
Membuka 300 fakultas kedokteran baru memerlukan sumberdaya yang besar, termasuk tenaga pengajar berkualitas, fasilitas pendidikan, dan standar akreditasi yang tinggi. Tanpa memastikan kualitas, ada risiko lulusan tidak memiliki kompetensi yang memadai. Hal ini dapat menambah jumlah dokter, tetapi tidak menyelesaikan masalah kualitas layanan kesehatan.
Untuk itu, penguatan standar akreditasi dan pengawasan mutu fakultas kedokteran sangat penting. Pemerintah perlu memastikan fakultas kedokteran baru memiliki kapasitas yang memadai untuk meluluskan dokter dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.