Kendati ada ketakutan terhadap "Japanifikasi," beberapa elemen dari transformasi Jepang sebenarnya dapat menjadi contoh positif bagi China dalam hal stabilitas, fokus pada kualitas hidup, dan inovasi. Namun, tantangan utama bagi China adalah mengelola transisi ini tanpa terjebak dalam stagnasi ekonomi yang berkepanjangan dan ketidakpuasan sosial, seperti yang dikhawatirkan oleh para ekonom seperti Magnus dan Dalio. Pembangunan masa depan China, yang didorong oleh teknologi dan inovasi, bisa jadi memungkinkannya untuk menghindari jebakan "Japanifikasi," tetapi tetap saja, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dampak krisis demografi di China
Fenomena menurunnya angka kelahiran di China dan peningkatan populasi lansia telah menjadi isu krusial dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik negara tersebut. Dengan transisi cepat dari masyarakat pedesaan ke masyarakat perkotaan, dan kebanyakan keluarga kelas menengah yang memilih untuk memiliki lebih sedikit anak, China menghadapi tantangan demografis yang signifikan. Jika situasi ini berlanjut tanpa ada perubahan besar, China pada tahun 2035 bisa menjadi negara dengan mayoritas penduduk lansia yang mengutamakan stabilitas dan mempertahankan status quo.
Populasi China diproyeksikan turun dari 1,4 miliar menjadi sekitar 1,3 miliar pada tahun 2050. Tren ini akan menyebabkan peningkatan proporsi populasi lansia yang secara signifikan akan mengubah dinamika sosial dan ekonomi. Situasi ini sudah terlihat di beberapa kota besar seperti Shanghai, di mana jalanan lebih sepi dibandingkan kota-kota seperti New York. Banyak warga lanjut usia yang tetap tinggal di rumah mereka karena aturan properti yang kompleks, dan tidak banyak yang pindah ke tempat lain untuk menikmati masa pensiun.
Seiring dengan meningkatnya populasi lansia, akan ada peningkatan permintaan untuk layanan perawatan lansia. Ini termasuk munculnya kelompok perawat yang membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari seperti mandi, memasak, dan kegiatan lainnya. Kota-kota di China mungkin akan semakin tenang dan cenderung lebih mengutamakan kenyamanan dan stabilitas daripada perubahan atau perkembangan yang cepat.
Kota-kota yang didominasi oleh populasi lansia cenderung lebih konservatif dan kurang terbuka terhadap perubahan. Masyarakat yang menua cenderung lebih fokus pada pelestarian barang-barang lama, nilai-nilai tradisional, dan kenangan masa lalu. Situasi ini bisa menimbulkan frustrasi bagi kaum muda yang merasa bahwa struktur sosial dan politik tidak memberi ruang bagi ide-ide baru dan perubahan yang lebih progresif. Jepang saat ini merupakan contoh nyata di mana masyarakat yang menua sering kali dianggap konservatif dan kurang dinamis.
Dalam masyarakat di mana sebagian besar populasi adalah lansia, mereka cenderung memiliki pengaruh politik yang signifikan. Kaum muda di China, seperti di negara-negara lain dengan populasi lansia yang besar, mungkin mengeluhkan dominasi kekuasaan politik oleh generasi yang lebih tua. Hal ini dapat mengarah pada monopoli kebijakan yang lebih berfokus pada kebutuhan lansia daripada investasi di bidang-bidang seperti pendidikan, teknologi, atau infrastruktur yang lebih relevan bagi generasi muda.
Dengan perubahan demografi ini, kota-kota di China mungkin tidak akan lagi menjadi pusat aktivitas dinamis yang sama seperti yang kita lihat saat ini. Sebaliknya, mereka mungkin menjadi tempat di mana pensiunan menghabiskan hari-hari mereka dengan kegiatan yang lebih santai, seperti bermain mahjong, berjalan di taman, atau menonton TV. Ini mungkin membuat kota-kota tersebut menjadi lebih mirip dengan daerah perumahan yang tenang di negara-negara Barat yang juga mengalami penuaan populasi.
Implikasi bagi masa depan China
Fenomena menurunnya angka kelahiran dan penuaan populasi ini membawa implikasi besar bagi masa depan China. Jika China tidak mampu menyesuaikan kebijakannya untuk mengatasi masalah demografis ini - seperti meningkatkan angka kelahiran, menarik imigran muda, atau berinvestasi besar-besaran dalam teknologi dan produktivitas - negara ini mungkin akan menghadapi stagnasi ekonomi dan sosial yang berkepanjangan. Dalam hal ini, perbandingan dengan Jepang adalah signifikan. Jepang telah berhasil mempertahankan stabilitas sosial dan kualitas hidup meskipun ekonominya stagnan, dan ini bisa menjadi model bagi China untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup.
Namun, pada saat yang sama, tantangan untuk mempertahankan dinamika dan inovasi tetap nyata. Masyarakat yang menua, yang cenderung konservatif dan berorientasi pada stabilitas, mungkin tidak cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat, dan ini bisa menjadi hambatan bagi ambisi China untuk menjadi pemimpin global di berbagai bidang teknologi dan ekonomi.