Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Raja Jawa dan Pemberantasan Korupsi

22 Agustus 2024   17:27 Diperbarui: 22 Agustus 2024   17:27 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Clip art Petruk jadi Raja. (Sumber : Tropenmuseum via news.detik.com).

Pada akhirnya, apakah ini hanya sekadar lelucon politik atau peringatan serius, akan bergantung pada interpretasi para kader dan pengamat politik. Golkar sendiri perlu bersikap adaptif dan strategis dalam menghadapi realitas politik di masa mendatang.

Teringat Raja Jawa kita hanya merasakan Raja-Raja Jawa versi Kerajaan Mataram, sedangkan Jawa klasik yaitu Kerajaan Majapahit sangat jarang disinggung terkait dengan kekuasaan. Ong Hok Ham Sejarawan UI misalnya seringkali mengingatkan bahwa kebiasaan upeti dalam sistem kekuasaan Indonesia sekarang tak lepas dari pengaruh Mataram tempo doeloe. Dan itu masih terbawa-bawa hingga sekarang, sehingga kalau kita ingin membenahi masalah korupsi di negeri in, kita harus punya kiat untuk mengubah kebiasaan buruk kekuasaan tempo doeloe seperti itu.

Pengaruh sejarah kekuasaan Jawa, khususnya dari Kerajaan Mataram, terhadap praktik kekuasaan di Indonesia now adalah topik yang menarik untuk dibahas. Mataram, yang merupakan salah satu kerajaan besar di Jawa, dikenal dengan struktur hierarki kekuasaan yang kaku dan adanya budaya upeti sebagai bentuk loyalitas dan penghormatan kepada penguasa. Praktik ini, meski sudah lama berlalu, masih sering dihubungkan dengan berbagai kebiasaan dalam sistem pemerintahan modern Indonesia, termasuk korupsi.

Ong Hok Ham Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI), sering mengulas mengenai pengaruh budaya kekuasaan tradisional terhadap praktik modern. Dr Ong pernah menekankan tradisi upeti di masa lalu telah membentuk pola hubungan kekuasaan yang bersifat patron-klien. Dalam konteks modern, pola ini bisa terlihat dalam praktik korupsi, di mana pejabat atau pihak yang berkuasa menerima "upeti" dalam bentuk suap atau gratifikasi sebagai bentuk pengakuan dan dukungan.

Analisis ini menunjukkan budaya kekuasaan yang diwariskan dari masa lalu, khususnya dari Kerajaan Mataram, masih mempengaruhi cara orang memandang kekuasaan dan bagaimana mereka berinteraksi dengan otoritas. Hal ini juga mengindikasikan untuk memberantas korupsi di Indonesia, tidak hanya diperlukan penegakan hukum yang ketat, tetapi juga perubahan budaya dan pemahaman tentang kekuasaan itu sendiri.

Menghadapi tantangan ini perlu ada upaya untuk mengubah mindset masyarakat dan pejabat negara, serta memperkenalkan nilai-nilai baru yang lebih transparan dan akuntabel. Reformasi birokrasi, pendidikan antikorupsi, dan pemahaman sejarah yang kritis bisa menjadi beberapa langkah dalam mengatasi masalah ini. Mengakui akar sejarah budaya kekuasaan bisa membantu kita memahami tantangan yang dihadapi, dan bagaimana membangun sistem yang lebih bersih dan adil ke depannya.

Masalahnya kalau soal kebiasaan buruk yang harus diubah dalam zaman pemberantasan korupsi sekarang. Rasanya pas kalau kita sebut tentang Raja Jawa dimaksud. Tapi dalam konteks sekarang penyebutan Bahlil tentang Raja Jawa rasanya jauh panggang dari api

Penyebutan "Raja Jawa" dalam konteks modern, terutama dalam pembahasan tentang korupsi, memang bisa terasa kurang relevan atau bahkan mengaburkan isu yang lebih substansial. Istilah ini membawa konotasi historis dan kultural yang kuat, tetapi mungkin kurang tepat untuk menggambarkan realitas politik dan birokrasi Indonesia now, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi.

Ketika membahas masalah korupsi, fokus utama kita seharusnya lebih kepada sistem, struktur kekuasaan, dan budaya birokrasi yang memungkinkan praktik korupsi berkembang. Menggunakan istilah "Raja Jawa" bisa mengalihkan perhatian dari aspek-aspek penting seperti transparansi, akuntabilitas, dan reformasi kelembagaan, yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam upaya memberantas korupsi.

Meskipun secara metaforis, "Raja Jawa" dapat merujuk pada figur atau kekuatan politik yang dominan, penyebutan ini terlalu sempit atau bahkan kurang produktif jika tujuannya adalah untuk mendorong perubahan nyata dalam sistem pemerintahan. Pendekatan yang lebih relevan adalah mengidentifikasi kebiasaan buruk spesifik dalam pemerintahan dan membuat kebijakan serta perubahan budaya yang langsung menargetkan akar masalah, seperti penguatan sistem hukum, peningkatan transparansi, dan penegakan aturan anti-korupsi yang lebih ketat.

Dengan kata lain, daripada terjebak dalam retorika atau simbolisme yang kurang tepat, sebaiknya Bahlil lebih fokus pada langkah-langkah konkret yang dapat mengubah sistem dan perilaku yang mendukung korupsi. Ini termasuk mendorong budaya integritas di semua tingkatan pemerintahan dan masyarakat, serta mengurangi ketergantungan pada patronase atau hubungan kekuasaan tradisional yang dapat memicu praktik korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun