People Court : Tangkap Xi Jinping-Jokowi-Putin-Netanyahu
Tangkap-menangkap dalam pengadilan nasional apalagi internasional menjadi semakin terasa sebagai dagelan yang tak lucu. Masalah hukum itu tentu ada dua pihak atau lebih yang bersengketa. Masing-masing punya sudut pandang keadilan baginya. Kecuali kalau orang membunuh, meski terpaksa membunuh atau dibunuh terlebih dahulu. Itu biasanya tak masuk hitungan. Pokoknya si pembunuh harus dijebloskan ke penjara.
Nah belum lama ini terbetik kabar, sebuah lembaga bernama "People Court" mengeluarkan surat penangkapan simbolis Presiden China Xi Jinping. Ini terkait tudingan seperti "kejahatan agresi" terhadap Taiwan, "kejahatan kemanusiaan" di Tibet dan tuduhan "genosida" ke warga Uighur di Xinjiang.
Surat penangkapan Xi pertama kali dikeluarkan 12 Juli lalu, sebagaimana dikutip dari Radio Free Asia (RFA), edisi Selasa 23 Juli 2024 ybl. People Court sendiri disebut sebagai sebuah pengadilan warga dunia yang didedikasikan untuk hak asasi manusia universal dan berbasis di Den Haag, Belanda.
Anggota peradilan itu antara lain mantan duta besar AS untuk masalah kejahatan perang, Stephen Rapp. Lalu pensiunan hakim yang bertugas di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan (Afsel), Zak Yacoob dan pengacara konstitusi serta aktivis hak asasi manusia di Sri Lanka, Bhavani Fonseka.
Sebelumnya pada 2023, People Court juga mengadili Presiden Rusia Vladimir Putin atas tuduhan "kejahatan agresi" atas invasinya ke Ukraina. Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, namun jaksa mengatakan mereka akan mengajukan bukti Putin melakukan kejahatan agresi yang memicu perang dahsyat yang menewaskan ribuan orang dan menyebabkan kota-kota hancur.
Kasus "People Court" yang mengeluarkan surat penangkapan simbolis terhadap Presiden China Xi Jinping adalah contoh inisiatif masyarakat sipil untuk menarik perhatian internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh negara-negara tertentu.
Indonesia pun akhir Juni lalu atas inisiatif para mahasiswa dan sejumlah aktivis mengadakan aksi pengadilan rakyat terhadap Presiden Jokowi bertempat di Wisma Makara kampus UI. Ada 9 dosa atau "Nawadosa" yang merupakan sembilan dosa rezim Jokowi, yaitu perampasan tanah, persekusi, korupsi, militerisme dan militerisasi, komersialisasi pendidikan, kejahatan terhadap kemanusiaan dan impunitas, sistem ketenagakerjaan yang buruk, dan pembajakan undang-undang.
Tindaklanjutnya sejauh ini, ya "nehi besar". Koordinator Staf Khusus Kepresidenan Ari Dwipayana malah menunjukkan hasil survey terbaru Kompas bahwa tingkat kepuasan rakyat terhadap Presiden Jokowi masih tetap tinggi, dari kl 73% tahun lalu, menjadi 75% pada tahun 2024 ini. Usai pengadilan dagelan itu, lagi-lagi para aktivis kehausan karena cuaca panas Depok dan suhu politik yang belum mendingin pasca Pilpres Pebruari lalu, dan apa boleh buat mereka terpaksa minum air jeruk dingin di kafetaria kampus.
Pengadilan rakyat adalah pengadilan alternatif dalam sistem demokrasi yang dirancang dan "mugo-mugo" dapat menyelesaikan masalah hukum. People Court lahir begitu saja dari kurangnya kepercayaan masyarakat sipil terhadap kebijakan negara dan penegakan hukum.
Hanya pengadilan dagelan semacam ini tidak memiliki kekuatan hukum yang resmi. Aksi semacam ini paling banter hanya bisa menjadi alat untuk meningkatkan kesadaran nasional atau global yang dimimpikan dapat menekan pemerintah terkait agar lebih memperhatikan isu-isu hak asasi manusia.
Xi Jinping boleh jadi tersenyum, karena yang pasti Chinalah yang tau persis masalah dalam negerinya.
Kalaupun keputusan semacam dikatakan dapat memberi tekanan moral pada pemerintah China untuk mempertimbangkan kembali kebijakan mereka. Tapi apa urusannya, sekalipun musuh-musuh China seperti AS dan dunia barat akan mengkritik China tak berkeputusan.
Tindakan simbolis ini bisa saja beresonansi, tapi itu terbatas bagi kalangan tertentu seperti kaum idealis dan kaum utopis lainnya.
Tak ada larangan bagi siapapun untuk menyanyikan people court dalam rangka mempromosikan keadilan global dan hak asasi manusia, bahkan ketika institusi resmi gagal bertindak.Tapi sadarlah, keputusan hukum imajiner yang dihasilkannya tidak mengikat secara hukum dan tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dari lembaga hukum negara terkait, dan lembaga hukum internasional seperti ICJ.
Kasus hukum atau HAM semacam ini hanya dapat menarik perhatian media global, memaksa para aktivis idealis berdiskusi lebih lanjut dan paling jauh sebagai masukan bagi lembaga-lembaga internasional agar ada kerjaan bagi anggotanya.
Kasus "People Court" di atas coba bandingkan dengan keputusan Mahkamah Internasional terkait kemungkinan penangkapan tokoh lain, seperti Putin dan Benjamin Netanyahu.
Netanyahu malah menertawakan ICJ yang ditudingnya sebagai antek-antek Iran dan Hamas yang sangat kuat aura antisemitismenya. Netanyahu dalam pidatonya di depan Kongres Amerika menegaskan sikapnya terhadap ICJ yang bias dalam memandang konflik Israel-Hamas. Tak heran, ICJ dan People Court dan lain sebangsanya hanya memiliki pengaruh simbolis ketimbang segi legal. Ini menunjukkan para lawyer dan aktivis akan selalu kehausan disana, dan terpaksa bermain dagelan yang tak lucu.
Apakah pengadilan dagelan semacam ini akan membawa perubahan besar? Itu tergantung pada bagaimana komunitas internasional merespons dan apakah ada kemauan politik untuk mengejar keadilan di tingkat global.
Lihat misalnya Keputusan Mahkamah Internasional beberapa waktu lalu terkait pembantaian anak manusia pada peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 di Indonesia. Sejauh ini belum ada follow-upnya tuh.
Keputusan Mahkamah Internasional mengenai peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 di Indonesia memang menjadi sorotan penting dalam konteks hak asasi manusia. Peristiwa tersebut adalah salah satu bagian gelap dalam sejarah Indonesia, di mana ribuan hingga jutaan orang diduga menjadi korban pembunuhan massal, adanya penahanan tanpa pengadilan, dan pelanggaran hak asasi lainnya.
Pada tahun 1965, setelah peristiwa G 30 S PKI, pemerintah Indonesia saat itu diduga melakukan tindakan pembunuhan massal dan penangkapan terhadap mereka yang dianggap terlibat atau simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Keputusan Mahkamah Internasional bertujuan untuk mengakui pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dengan harapan mendorong upaya penyelesaian dan rekonsiliasi.
Isu G 30 S PKI masih sangat sensitif di Indonesia. Berbagai kelompok memiliki pandangan berbeda mengenai peristiwa ini, dan ada kekhawatiran membuka kembali kasus ini dapat menimbulkan ketegangan sosial dan politik.
Ada resistensi dari beberapa elemen dalam pemerintah dan militer yang terlibat dalam peristiwa tersebut, yang khawatir akan implikasi hukum dan politik jika kasus ini dibuka kembali.
Kita lihat dalam konteks Indonesia Keputusan Mahkamah Internasional tetap saja bersifat simbolis dan tidak mengikat, sehingga implementasinya sangat bergantung pada kemauan politik dari pemerintah Indonesia sendiri.
Ada memang upaya untuk memprioritaskan rekonsiliasi dan stabilitas sosial dibandingkan dengan membuka kembali luka lama yang dapat mengancam harmoni sosial. Salah satu langkah yang diambil adalah membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang independen untuk mengkaji ulang peristiwa tersebut dan merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk keadilan dan rekonsiliasi.
Untuk mencapai keadilan dan rekonsiliasi yang sejati, diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. Langkah-langkah konkret seperti pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta edukasi publik, dapat menjadi jalan menuju penyelesaian yang lebih berkeadilan.
Menyoroti inisiatif-inisiatif seperti keputusan Mahkamah Internasional terhadap peristiwa G 30 S PKI di Indonesia atau "People Court" terhadap Xi Jinping, kita dihadapkan pada pertanyaan mengenai efektivitas dan tujuan sebenarnya dari tindakan-tindakan simbolis ini. Apakah semuanya hanya sandiwara keadilan, atau ada makna yang lebih dalam di baliknya?
Dengan mempublikasikan pelanggaran yang dilakukan oleh negara atau individu, inisiatif ini diharapkan dapat memberikan tekanan moral pada pelaku untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
Masalahnya tindakan simbolis ini tidak mengikat secara hukum dan tidak memiliki kekuatan eksekusi tanpa dukungan dari pemerintah dan lembaga hukum yang berwenang di negara terkait.
Banyak negara melihat tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional dan menolak untuk mematuhi keputusan yang dianggap mengancam urusan dalam negeri mereka.
Menilai apakah semua ini hanya sandiwara keadilan atau bukan sangat bergantung pada perspektif dan tujuan kita.
Tanpa tindakan konkret dan perubahan kebijakan, banyak yang melihat ini hanya sebagai upaya kosmetik yang tidak membawa perubahan nyata, atau dianggap sebagai pengalihan isu dari tantangan domestik atau internasional yang lebih mendesak
Keputusan dan tindakan simbolis seperti yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional dan People Court memiliki dua sisi. Di satu sisi, mereka dianggap tidak efektif karena kurangnya kekuatan hukum dan eksekusi. Namun, di sisi lain, mereka memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran global, memberikan tekanan moral, dan mendorong perubahan sistemik dalam jangka panjang.
Apakah ini sandiwara keadilan? Jawabannya tergantung pada seberapa besar kita percaya pada kekuatan simbolisme dan advokasi dalam mempengaruhi perubahan sosial dan politik. Meskipun tantangan besar tetap ada, langkah-langkah ini tetap penting sebagai bagian dari upaya kolektif untuk mencapai keadilan dan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Lihat :
https://www.tibetanreview.net/?p=24708
https://en.tempo.co/read/1884063/palace-comments-on-peoples-court-trying-jokowi
Joyogrand, Malang, Fri', July 26, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H