Pada tahun 1965, setelah peristiwa G 30 S PKI, pemerintah Indonesia saat itu diduga melakukan tindakan pembunuhan massal dan penangkapan terhadap mereka yang dianggap terlibat atau simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Keputusan Mahkamah Internasional bertujuan untuk mengakui pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dengan harapan mendorong upaya penyelesaian dan rekonsiliasi.
Isu G 30 S PKI masih sangat sensitif di Indonesia. Berbagai kelompok memiliki pandangan berbeda mengenai peristiwa ini, dan ada kekhawatiran membuka kembali kasus ini dapat menimbulkan ketegangan sosial dan politik.
Ada resistensi dari beberapa elemen dalam pemerintah dan militer yang terlibat dalam peristiwa tersebut, yang khawatir akan implikasi hukum dan politik jika kasus ini dibuka kembali.
Kita lihat dalam konteks Indonesia Keputusan Mahkamah Internasional tetap saja bersifat simbolis dan tidak mengikat, sehingga implementasinya sangat bergantung pada kemauan politik dari pemerintah Indonesia sendiri.
Ada memang upaya untuk memprioritaskan rekonsiliasi dan stabilitas sosial dibandingkan dengan membuka kembali luka lama yang dapat mengancam harmoni sosial. Salah satu langkah yang diambil adalah membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang independen untuk mengkaji ulang peristiwa tersebut dan merekomendasikan langkah-langkah konkret untuk keadilan dan rekonsiliasi.
Untuk mencapai keadilan dan rekonsiliasi yang sejati, diperlukan kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. Langkah-langkah konkret seperti pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta edukasi publik, dapat menjadi jalan menuju penyelesaian yang lebih berkeadilan.
Menyoroti inisiatif-inisiatif seperti keputusan Mahkamah Internasional terhadap peristiwa G 30 S PKI di Indonesia atau "People Court" terhadap Xi Jinping, kita dihadapkan pada pertanyaan mengenai efektivitas dan tujuan sebenarnya dari tindakan-tindakan simbolis ini. Apakah semuanya hanya sandiwara keadilan, atau ada makna yang lebih dalam di baliknya?
Dengan mempublikasikan pelanggaran yang dilakukan oleh negara atau individu, inisiatif ini diharapkan dapat memberikan tekanan moral pada pelaku untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
Masalahnya tindakan simbolis ini tidak mengikat secara hukum dan tidak memiliki kekuatan eksekusi tanpa dukungan dari pemerintah dan lembaga hukum yang berwenang di negara terkait.
Banyak negara melihat tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional dan menolak untuk mematuhi keputusan yang dianggap mengancam urusan dalam negeri mereka.