Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

MRLB dan Kritik Tajam Ekstrim yang Menggejala Sekarang

27 Juni 2024   19:16 Diperbarui: 27 Juni 2024   19:24 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MRLB dan Kritik Tajam Ekstrim Yang Menggejala Sekarang

Persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa (MRLB) yang diadakan untuk mengadili sembilan dosa Presiden Joko Widodo merupakan bentuk kritik yang diajukan oleh segelintir warga masyarakat terhadap pemerintahannya. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, menanggapi acara ini dengan menyatakan pemerintah terbuka terhadap kritik dan dukungan. Ari menekankan kritik adalah hal yang lazim dalam negara demokrasi dan dapat berfungsi sebagai masukan konstruktif untuk memperbaiki berbagai bidang pemerintahan.

Ari juga menyoroti di samping kritik, pemerintah menerima apresiasi, dukungan, dan kepercayaan positif dari masyarakat. Sebagai contoh, ia mengutip hasil survei Litbang Kompas yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mencapai 75,6 persen. Menurut Ari, perbedaan pandangan dan penilaian terhadap kinerja pemerintah adalah hal yang wajar dalam demokrasi yang sehat, dan penting bagi semua pihak untuk saling menghormati perbedaan tersebut.

Mahkamah Rakyat Luar Biasa sendiri diadakan di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, dan dipimpin oleh beberapa tokoh seperti Nur Khasanah, Sasmito, Romo Kristo, Anita Wahid, Asfinawati, Nurhayati, Ambrosius S Klagilit, Lini Zurlia, dan Nining Elitos. Persidangan ini menjadikan Presiden Joko Widodo sebagai pihak tergugat.

Acara seperti MRLB menunjukkan adanya dinamika deviatif, di mana anggota masyarakat kita sekarang dapat secara terbuka selebar-lebarnya mengemukakan kritik terhadap pemimpin negara. Benar itu cermin demokrasi di Indonesia memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi segila mungkin dan hak untuk menyuarakan pendapatnya apapun itu. Namun harus dipastikan kritik yang disampaikan didasarkan pada fakta dan dilakukan dengan cara yang konstruktif, demi kemajuan dan perbaikan bersama.

Yang disayangkan fenomena kritik tajam ekstrim ini berkaitan erat dengan masalah kekalahan Pilpres 2024 yang baru lalu, dimana Prabowo mengalahkan Ganjar dan Anies. Bukti forensiknya apalagi kalau PDIP yang merasa dikalahkan dan merasa malu karena tidak lagi bersama kader terbaiknya Jokowi. Jejak digital semua itu dapat kita lihat dalam sosok  merah PDIP dalam segala bentuk kemarahannya.

Its Ok dalam konteks politik kontemporer Indonesia. Setelah Prabowo Subianto mengalahkan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, situasi politik terkesan menjadi lebih tegang, terutama bagi partai-partai dan kelompok-kelompok yang merasa dirugikan atau kalah.

Rasa malu, kecdewa dan frustrasi PDIP karena kekalahan Ganjar dan tidak lagi bersama Jokowi, ini menjadi landasan pijak untuk memicu berbagai reaksi, termasuk kritik ekstrim terhadap pemerintah yang mungkin dianggap sebagai cara melampiaskan ketidakpuasan itu.

Asumsi ini masih spekulasi besar memang. Tapi kalau dilihat dari fenomena seorang Hasto selama ini, sehingga fenomena Anies dan Ganjar yang memburu keadilan di Persidangan Pilpres 2024 di MK, ini tentu masih memerlukan uji korelasi, karena politik di negeri ini seringkali melibatkan banyak faktor dan dinamika yang kompleks. Muhtadi, Qodari dan Adi Prayitno bahkan Bambang Pacul dari PDIP sudah bekoar tentang itu. Jangan lawan orang baik, sebab anda akan kalah, kata Pacul.

Kritik terhadap pemerintahan Jokowi bisa saja muncul dari berbagai kalangan dan tidak selalu terkait dengan hasil Pilpres. Kritik bisa bersifat substantif, terkait dengan kebijakan dan kinerja pemerintah, bukan hanya karena faktor politk atau emosi.

Dalam situasi pasca-pemilu, partai-partai yang kalah dengan  merasa perlu untuk menyuarakan ketidakpuasan atau mengkonsolidasikan dukungan. Apakah ini kemarahan atau bukan. Kita harus menelisiknya lebih jauh. Kita lihat cara Panda Nababan ngomong soal Jokowi, kita lihat gaya Mega yang menggebu-gebu ingin ini itu, sonder evaluasi mendalam mengapa begitu, dan ini diikuti oleh koor ketidakpuasan dari barisan banteng moncong putih di belakangnya serta suara koor serupa dari kelompok lain yang menyertainya.

Benar, kritik dan perbedaan pandangan adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Sayangnya MRLB pada kenyataannya adalah ekspresi demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kebablasan. Syukur-syukur kalau tokoh Malari Hariman hadir dalam kesempatan itu misalnya. Tapi dalam MRLB yang baru saja berlalu ketokohan kampus seperti dulu tak ada lagi. Boleh jadi ini adalah deviasi fenomena Gen Z sekarang.

Media dan opini publik juga memainkan peran besar dalam membentuk narasi politik. Interpretasi MRLB adalah pelampiasan kemarahan PDIP bisa jadi lebih merupakan hasil dari bagaimana media dan pengamat politik menggambarkan situasi tersebut.

Kekalahan dalam Pilpres bisa menjadi salah satu faktor yang memicu ketegangan politik, tapi koq harus Jokowi.

Jangan-jangan suara-suara sumbang itu cermin dari perilaku politik kontemporer Indonesia yang tak lagi mengenal etika timur dan sudah super liberal dibandingkan negara-negara liberal lainnya di muka bumi ini. Atau suara-suara sumbang dan kritik tajam ekstrim dalam politik Indonesia sekarang bisa saja bagian dari dinamika politik kontemporer yang berubah dan berkembang nggak keruan.

Sejak reformasi, Indonesia telah mengalami transformasi politik besar, dari rezim otoriter menuju demokrasi yang lebih terbuka. Ini memungkinkan lebih banyak kebebasan berpendapat dan kritik terhadap pemerintah.

Platform media sosial turut mempercepat dan memperluas penyebaran opini, kritik, dan informasi. Hal ini membuat kritik menjadi lebih terbuka dan langsung j'leb.

Meskipun ada perubahan, masih ada aspek dari etika dan nilai-nilai timur dalam masyarakat Indonesia, termasuk penghormatan terhadap otoritas dan senioritas. Hanya, dalam soal politik ada semacam keganjilan yang sementara ini belum terbaca lebih jauh.

Globalisasi membawa pengaruh budaya luar yang bisa mengubah cara pandang dan perilaku politik, seringkali itulah yang dominan sekarang dalam perpolitikan, karena katanya lebih langsung dan kritis.

Demokrasi liberal di berbagai negara juga menunjukkan pola kritik terbuka dan ketegangan politik. Indonesia mungkin tampak lebih liberal dalam konteks regional, tetapi tidak berarti lebih liberal dibandingkan negara-negara Barat seperti AS atau Eropa Barat.

Setiap negara memiliki norma politik yang berbeda. Di beberapa negara, kritik tajam dan debat politik sengit adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat.

Perubahan sosial dan ekonomi di Indonesia menciptakan dinamika baru. Kesenjangan sosial dan ketidakpuasan bisa mendorong kritik yang lebih vokal.

Generasi muda yang lebih terhubung dengan dunia global mungkin lebih kritis dan vokal dalam mengekspresikan pandangan mereka.

Dalam demokrasi, ketegangan dan kritik adalah bagian dari proses. Tantangan yang kita hadapi disini adalah menjaga agar kritik tetap konstruktif dan menghormati norma-norma yang ada.

Secara keseluruhan, suara-suara sumbang dalam politik Indonesia sekarang bisa dilihat sebagai cerminan dari perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks. Ini bukan semata-mata tanda bahwa etika timur telah hilang atau bahwa Indonesia menjadi super liberal, melainkan bagian dari evolusi politik yang sedang berlangsung.

Dalam menghadapi vulgaritas politik yang menggejala sekarang ini, negara harus mengambil pendekatan yang seimbang untuk memastikan kebebasan berpendapat tetap dihormati sambil menjaga tata krama dan etika dalam diskursus publik.

Negara harus memastikan hukum yang mengatur kebebasan berbicara dan berekspresi jelas dan adil. Ini termasuk hukum mengenai pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan fitnah; menegakkan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu, sehingga tidak ada persepsi hukum digunakan untuk mengiyakan kritik apa saja; meningkatkan pendidikan politik dan literasi media di kalangan masyarakat untuk memahami pentingnya etika dalam berpolitik dan cara-cara menyampaikan kritik yang konstruktif; mengadakan kampanye kesadaran publik tentang pentingnya diskusi politik yang sehat dan sopan; menciptakan forum-forum dialog antara pemerintah dan masyarakat, serta antar berbagai kelompok politik, untuk mendiskusikan isu-isu secara terbuka namun terarah; menggunakan mekanisme mediasi untuk meredakan ketegangan politik dan mencari solusi damai terhadap perselisihan; memastikan media massa dan jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik, menghindari sensasionalisme, dan menyajikan informasi secara objektif; mengawasi dan mengatur platform media sosial untuk mengurangi penyebaran informasi yang salah dan ujaran kebencian, sambil tetap menghormati kebebasan berbicara.

Pemimpin negara dan tokoh politik harus memberikan teladan dalam berkomunikasi dengan cara yang sopan dan menghormati perbedaan pendapat; harus responsif terhadap kritik yang valid dan transparan dalam proses pengambilan keputusan, sehingga dapat mengurangi ketidakpuasan publik.

Negara harus konsekuen menggalakkan konten yang bertanggungjawab di media sosial dan menindak akun-akun yang menyebarkan ujaran kebencian atau informasi yang tidak benar, lalu menjalin kerjasama dengan platform media sosial untuk menangani konten yang melanggar aturan tanpa mengorbankan kebebasan berpendapat.

Negara juga harus memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan untuk mengurangi alasan bagi kritik yang vulgar atau destruktif; mendorong partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan sehingga masyarakat merasa didengar dan diwakili.

Dengan langkah-langkah ini, negara dapat menciptakan lingkungan di mana kebebasan berpendapat dihormati tetapi tetap dalam batas-batas etika dan kesopanan, menjaga kualitas diskursus politik dan kesehatan demokrasi.

Joyogrand, Malang, Thu', June 27, 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun