Xanana Gusmao : Ladang Minyak Greater Sunrise Untuk Hari Depan Timorleste
Kay Rala Xanana Gusmo (77 tahun) kembali memimpin Timorleste sebagai PM pada 2023 lalu. Ia menjabat sebagai Presiden pertama Timorleste dari tahun 2002 hingga 2007. Setelah itu, ia menjadi PM dari 2007 hingga 2015. Gusmo kembali menjabat sebagai PM pada tahun 2023.
Gusmo dikenal sebagai pemimpin karismatik yang memainkan peran penting dalam perundingan dengan Indonesia dan dalam proses transisi menuju kemerdekaan Timorleste. Ia juga terlibat dalam rekonsiliasi nasional dan pembangunan negara pasca-kemerdekaan.
Sedangkan Presiden Timorleste sekarang adalah Jose Manuel Ramos Horta (74 tahun). Horta adalah diplomat dan politisi yang juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Timorleste. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di pemerintahan sementara Timorleste setelah referendum kemerdekaan tahun 1999. Ramos Horta menjabat sebagai PM pada tahun 2006-2007, dan kemudian sebagai Presiden dari tahun 2007 hingga 2012. Ia terpilih kembali sebagai Presiden pada tahun 2022.
Dalam usianya yang semakin sepuh sekarang Xanana Gusmo kembali menekankan pada pembangunan infrastruktur, penguatan institusi negara, dan pengembangan sumberdaya alam, khususnya ladang minyak dan gas di Tasi Mane atau Laut Timor.
Jos Manuel Ramos-Horta berperan dalam memperkuat hubungan diplomatik internasional dan memastikan stabilitas politik dalam negeri, serta mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup rakyat Timorleste.
Kedua pemimpin yang sudah sandya kala ini terus berkolaborasi untuk memajukan negara mereka di kancah internasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Timorleste. Inilah kesempatan terakhir buat mereka.
Fokus pada pengembangan Greater Sunrise
Gusmo telah terlibat aktif dalam negosiasi dengan Australia dan perusahaan-perusahaan energi internasional untuk memastikan Timorleste mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan ladang gas Greater Sunrise.
Pada 2018, Timorleste dan Australia mencapai kesepakatan mengenai perbatasan maritim yang memungkinkan pengembangan Greater Sunrise dengan pembagian pendapatan yang lebih menguntungkan bagi Timorleste.
Gusmo mendorong agar pengolahan gas dari Greater Sunrise dilakukan di Timorleste, bukan di Australia. Ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja lokal, transfer teknologi, dan pembangunan infrastruktur.
Ia berpendapat pembangunan fasilitas pengolahan gas di Timorleste akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara tsb dibandingkan jika pengolahan dilakukan di luar negeri.
Dengan cadangan gas dan minyak bumi yang semakin menipis di ladang Bayu Undan, Gusmo melihat Greater Sunrise sebagai sumber pendapatan utama berikutnya yang vital untuk perekonomian Timorleste.
Ia menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi dan penggunaan pendapatan dari sektor energi untuk investasi dalam sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan pertanian.
Tantangan dan Strategi
Gusmao berusaha memperkuat kerjasama internasional dan menarik investasi asing untuk mengembangkan ladang gas Greater Sunrise dengan menggarisbawahi stabilitas politik dan potensi ekonomi Timorleste.
Salah satu tantangan utama adalah membangun infrastruktur yang diperlukan di Timorleste untuk mengolah gas secara lokal. Ini memerlukan investasi besar dan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan teknologi tinggi di bidang energi.
Xanana Gusmo melihat pengembangan ladang gas Greater Sunrise sebagai peluang strategis untuk meningkatkan kemandirian ekonomi Timorleste, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang setelah era Bayu Undan. Pendekatan yang diambilnya sangat proaktif dan berorientasi pada kedaulatan ekonomi serta manfaat langsung bagi rakyat Timorleste.
Pesaingnya Marie Alkatiri dari kubu Fretilin bersikeras rencana ambisius Xanana Gusmo untuk membangun kilang minyak di lepas pantai dari Viqueque hingga Covalima memerlukan studi kelayakan terlebih dahulu karena sejumlah alasan.
Proyek besar ini akan mempengaruhi masyarakat setempat, baik dari segi pemindahan penduduk, perubahan mata pencaharian, maupun dampak sosial lainnya. Studi kelayakan akan mengevaluasi dampak sosial dan bagaimana mengelolanya.
Marie Alkatiri bersikeras perlunya studi kelayakan untuk memastikan proyek besar seperti pembangunan kilang minyak dilakukan dengan perencanaan yang matang, mengurangi risiko kegagalan, dan memaksimalkan manfaat bagi Timorleste.
I'll be back
Tapi dengan kembalinya Xanana Gusmo sebagai PM Timorleste, setelah sebelumnya berhasil menekan Australia untuk batas laut yang adil di Greater Sunrise. Ia menepis semua keraguan rekan seperjuangannya Marie Alkatiri dkk, lalu bergeser untuk bekerjasama dengan China, terutama dalam konteks kebijakan Belt and Road Initiative (BRI).
Dinamika ini tentu menarik dalam politik dan ekonomi regional. Terkesan kuat China lebih kompetitif dalam berinvestasi di Timorleste dibandingkan dengan Australia.
China, melalui BRI, menawarkan dana besar untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang. Timorleste membutuhkan investasi signifikan untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan fasilitas energi, yang dapat dipenuhi melalui skema pendanaan dari China.
Proyek-proyek yang didanai oleh China seringkali diselesaikan dengan cepat karena kemampuan mereka untuk mengerahkan sumberdaya besar dan proses persetujuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara Barat.
China cenderung menawarkan kesepakatan investasi yang lebih fleksibel dan seringkali tanpa persyaratan politik yang ketat, berbeda dengan bantuan atau investasi dari negara-negara Barat yang datang dengan syarat-syarat yang kadang menjengkelkan seperti pemerintahan yang bebas KKN, penegakan HAM, dan reformasi tertentu.
Mengingat perselisihan dengan Australia soal Timor Gap, Timorleste di bawah kepemimpinan Xanana Gusmo sekarang lebih memilih bekerjasama dengan China sebagai cara untuk mendiversifikasi kemitraan internasional mereka dan mengurangi ketergantungan pada satu negara.
Meski Australia telah menjadi mitra penting bagi Timorleste, terutama dalam konteks bantuan pembangunan dan kerjasama keamanan, dinamika hubungan ini berubah pasca sengketa batas laut terkait Timor Gap. Inilah yang mendorong Timorleste di bawah Xanana sekarang memilih alternatif China.
Kompetisi Regional
Pergeseran Timorleste ke China menggambarkan adanya persaingan geopolitik yang semakin meningkat antara China dan negara-negara Barat, termasuk Australia. Timorleste bisa memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan penawaran terbaik bagi kepentingan nasional mereka.
Keputusan Xanana Gusmo untuk mendekati China dan melihat potensi kerjasama di bawah Belt and Road Initiative didorong oleh kombinasi kebutuhan untuk investasi besar dalam pembangunan infrastruktur, keinginan untuk diversifikasi kemitraan internasional, dan konteks geopolitik yang lebih dinamis. Sementara Australia tetap penting bagi Timorleste, peralihan perhatian ke China menunjukkan upaya untuk memaksimalkan keuntungan dari berbagai sumber dan memastikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri.
Kunjungan Xanana Gusmo ke China belum lama ini dan penekanan pada kerjasama di bawah Belt and Road Initiative (BRI) memiliki implikasi penting bagi posisi Indonesia di kawasan tsb.
Indonesia memiliki hubungan historis dan geografis yang sangat dekat dengan Timorleste. Setelah kemerdekaan Timorleste pada tahun 2002, kedua negara telah berusaha memperkuat hubungan bilateral dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan, keamanan, dan pembangunan infrastruktur.
Indonesia adalah salah satu negara terbesar dan paling berpengaruh di Asia Tenggara. Dalam konteks ini, peran Indonesia sebagai pemimpin regional memberikan posisi yang strategis dalam menjalin hubungan dengan negara-negara tetangga, termasuk Timorleste.
Dengan Xanana Gusmo mengarahkan Timorleste lebih dekat ke China, Indonesia melihat peningkatan persaingan dalam hal investasi dan pengaruh ekonomi di Timorleste. China, dengan kemampuan investasinya yang besar, dapat menawarkan insentif yang signifikan yang sulit disaingi oleh Indonesia.
Namun, ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menjajaki kerjasama trilateral antara Indonesia, Timorleste, dan China. Dengan Indonesia sebagai bagian dari jaringan BRI, ada potensi untuk kolaborasi proyek infrastruktur yang dapat menguntungkan ketiga negara.
Karenanya Indonesia perlu meningkatkan upaya diplomasi ekonominya dengan menawarkan paket kerjasama yang kompetitif, termasuk bantuan teknis, pendidikan, dan pelatihan, yang telah menjadi ciri khas hubungan Indonesia dengan Timorleste.
Memperkuat hubungan bilateral dengan Timorleste akan menjadi prioritas. Ini bisa melibatkan peningkatan kerjasama di sektor-sektor seperti perdagangan, keamanan maritim, dan pembangunan infrastruktur lintas batas.
Indonesia dapat memanfaatkan posisinya di ASEAN dan organisasi regional lainnya untuk mempromosikan integrasi dan kerjasama yang lebih erat dengan Timorleste, termasuk dukungan bagi Timorleste untuk menjadi anggota penuh ASEAN.
Sebagai negara yang berbagi perbatasan dengan Timorleste, stabilitas di Timorleste merupakan kepentingan langsung bagi Indonesia. Peningkatan kerjasama China dengan Timorleste akan diawasi dengan cermat untuk memastikan tidak ada dampak negatif terhadap stabilitas regional.
Indonesia memiliki kepentingan besar dalam keamanan maritim di kawasan tsb. Kerjasama dengan China di Timorleste dapat mempengaruhi dinamika keamanan maritim, dan Indonesia perlu memastikan kepentingan strategisnya tetap terlindungi.
Kunjungan Xanana Gusmo ke China dan potensi peningkatan kerjasama Timorleste dengan China menempatkan Indonesia dalam posisi yang harus proaktif. Indonesia kemungkinan akan meningkatkan upaya diplomatik dan ekonominya untuk memastikan hubungannya dengan Timorleste tetap kuat dan saling menguntungkan. Pada saat yang sama, Indonesia akan terus memantau perkembangan ini untuk menjaga stabilitas regional dan kepentingan strategisnya.
Joyogrand, Malang, Wed', May 22, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H