Regime Mullah Iran dan Kecamuk Middle-East
Gilad Erdan adalah seorang politikus Israel yang memiliki peran penting dalam pemerintahan Israel. Dia lahir pada tahun 1970 di Israel. Erdan adalah anggota Partai Likud, yang merupakan partai politik kanan tengah di Israel. Dia telah menjabat dalam beberapa posisi pemerintahan yang berbeda sebelum ditunjuk untuk mewakili Israel di PBB.
Sebelum penunjukan tsb, Gilad Erdan menjabat sebagai anggota Knesset (parlemen Israel) sejak tahun 2003. Selama kariernya di Knesset, dia menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Komunikasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keamanan Publik.
Sebagai seorang politikus, Erdan dikenal karena pendekatannya yang kuat terhadap isu-isu keamanan dan pertahanan Israel. Dia vokal dalam mendukung kebijakan keras terhadap Hamas dan kelompok-kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman terhadap Israel.
Sebagai perwakilan Israel di PBB, Erdan bertanggungjawab mewakili Israel dalam forum internasional tsb dan memperjuangkan posisi Israel dalam berbagai isu global. Perannya di PBB sangat penting dalam konteks hubungan internasional, terutama dalam menghadapi tekanan dan kritik dari komunitas internasional terkait kebijakan-kebijakan Israel di wilayah Arab-Palestina dan isu-isu lainnya.
Merespon serangan Iran belum lama ini ke Israel, dalam rapat darurat Dewan Keamanan PBB Gilad menyebut Iran tak ubahnya Nazi. Gilad meminta DK PBB menjatuhkan sanksi dan mengambil tindakan tegas atas serangan Iran. Ambisi hegemonik Iran untuk mendominasi kawasan harus dihentikan sebelum hal ini mendorong dunia ke titik yang tidak bisa kembali lagi, dari perang regional menjadi perang dunia.
Tujuan Iran, lanjut Erdan, akan mendominasi dunia dengan mengekspor revolusi radikal Syiah ke seluruh dunia. Iran tak ubahnya Reich ketiga atau Nazi. Ayatollah Ali Khamenei tak ubahnya Adolf Hitler, demikian Gilad Erdan di PBB.
Usai Gilad, pimpinan sidang selanjutnya memberi kesempatan kepada Dubes  Iran untuk PBB Amir Saeed Iravani. Dubes Iran ini lebih tua dari Gilad Erdan. Gayanya lebih cool. Merespon serangan Israel, melalui Dubesnya Erdan yang lincah dan berbicara bahasa Inggeris dengan logat Israelnya, tak ubahnya penyanyi Reggae legendaris Bob Marley yang menyanyikan lagu berbahasa Inggeris dengan logat Jamaica, Dubes Iran yang cool itu menandaskan Iran hanya membela diri karena serangan Israel ke konsulatnya di Damaskus. Ia menepis semua tudingan Erdan sebelumnya.
Itulah rapat darurat DK PBB belum lama ini. Tapi seperti biasa telikung-mentelikung antar super power tetap mewarnai forum dunia itu. Sejauh ini belum ada resolusi yang pasti akan dikayuh kemana DK PBB dalam menuntaskan persoalan serangan Iran tsb.
Kembali ke laptop. Kita pun bertanya-tanya mengapa Iran memutuskan untuk menyerang Israel secara langsung pada akhir pekan dengan rentetan lebih dari 300 rudal dan drone, dan sebagian besar berhasil ditembak jatuh Israel dan sekutunya.
Benar, serangan tsb merupakan balasan atas serangan udara Israel awal bulan ini yang menewaskan seorang jenderal penting Korps Garda Revolusi Islam Iran di Damaskus.
Sayangnya Teheran salah perhitungan dan dipastikan akan menyesali keputusannya untuk beralih dari strategi lamanya yang menggunakan pasukan proksi di tempat-tempat seperti Suriah dan Irak menjadi melancarkan serangan langsung terhadap wilayah sipil di Israel, Ini hanya akan mengobarkan kembali simpati terhadap Israel. Bagaimana tidak. Iran menghujani drone dan rudal pada saat Israel semakin terisolasi dan bersikap defensif, baik secara internasional maupun dalam hubungannya dengan AS.
Serangan jarak jauh antar negara merupakan preseden yang kekanak-kanakan. Dalam konteks ini, tidak bisa dikatakan respon yang tepat bagi Israel adalah balas menyerang langsung ke wilayah Iran. Ada kemungkinan Israel hanya merespon dalam rupa menarget proksi Iran, atau elemen lembaga keamanan Iran di luar Iran
Jikapun Israel memutuskan untuk bertindak melawan Iran secara langsung, mereka sebaiknya menyasar pabrik tempat drone diproduksi atau fasilitas penyimpanan drone. Inipun tidak boleh sampai menjadi sesuatu yang membunuh banyak orang Iran.
Di sisi lain, program nuklir di Iran tersebar secara geografis dan sangat terlindungi, sehingga diperlukan respons presisi yang sangat kuat. Tapi inipun tetap tidak akan merusak sebagian besar program nuklir Iran, meski dapat memperlambat program tsb dalam beberapa bulan atau satu atau dua tahun. Risikonya adalah, selain pembalasan langsung dari Iran, serangan semacam ini akan memberikan pembenaran bagi Iran untuk menggunakan senjata nuklir dengan kecepatan dan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Menyerang program nuklir Iran tidak akan mencapai target optimal. Artinya instalasi yang sangat terlindungi itu tidak dapat dimusnahkan seluruhnya. Israel masih harus menyiapkan Bom Bunker canggih yang dapat menembus lapis-lapis pertahanan sebuah instalasi nuklir yang sangat terlindungi.
Serangan Iran sesungguhnya hampir seperti kompromi. Iran tidak mengerahkan semua yang mereka miliki untuk menghajar Israel. Terkesan kuat serangan itu seolah-olah dirancang untuk gagal. Terbukti Iran begitu cepat menyatakan misi mereka sudah selesai. Apa pun alasan domestiknya, Iran harus dilihat sebagai pihak yang memberikan respon, dan respon ini lebih bersifat politis ketimbang bersifat militer.
Boleh jadi ada perbedaan antara IRGC dan faksi lainnya. Sangat mungkin IRGC menuntut adanya respon super keras, tetapi ada pihak lain di Iran tidak ingin hal ini mengarah pada konflik habis-habisan.
Dalam politik, kompromi yang tidak masuk akal merupakan hasil dari faksi-faksi yang saling bersaing. Bagaimanapun, tidaklah masuk akal mengapa Iran tidak menerapkan strategi konvensional mereka, yi menargetkan sasaran Yahudi atau Israel di belahan dunia lain.
Yang dikhawatirkan sekarang ialah Iran menyalurkan lebih banyak senjata ke Tepi Barat. Hal ini merupakan prospek yang lebih horrific.
Di sisi AS selaku sekutu dekat Israel, Presiden Biden menanggung akibat politik karena dianggap terlalu pro-Israel, mengingat pandangan generasi muda AS - warga kulit berwarna dan sejumlah besar warga Muslim dan Arab Amerika -- bahwa politik domestik di Timur Tengah telah berubah. Kini middle-east menjadi dua sisi, bukan satu sisi, yang justeru mempersulit presiden.
Sebelum tanggal 7 Oktober, pemerintahan Biden sibuk mendiskusikan normalisasi dengan Arab Saudi tetapi tidak banyak perhatian yang tertuju pada Arab-Palestina. Biden tampaknya sejalan dengan pendekatan pemerintahan sebelumnya, yi Abraham Accord, yang pada dasarnya mengesampingkan Arab-Palestina. Kemudian setelah tanggal 7 Oktober, Biden dan timnya menemukan kembali solusi dua negara, namun mereka tampaknya tidak terlalu memaksakan hal tsb.
Adapun perselisihan Israel dan pemerintahan Biden fokus terutama pada dua isu. Pertama, aliran bantuan kemanusiaan. Dan kedua, penggunaan kekuatan militer oleh Israel dan kurangnya upaya yang memadai untuk menghindari korban sipil. Sementara isu pemukiman di Tepi Barat yang hilang - baik perampasan tanah atau aktivitas pemukiman - dan hal lainnya adalah isi politik dari proses perdamaian.
Persoalan sebenarnya bukanlah mengkonfrontasi Israel mengenai pemukiman dan mengartikulasikan secara rinci apa yang diyakini AS sebagai parameter proses politik. Saat ini, baik Israel maupun Arab-Palestina tidak siap untuk merundingkan sebuah negara. Dalam diplomasi, sebuah gagasan tidak mesti untuk bernegosiasi tetapi untuk merangsang proses yang akan mengarah pada perubahan politik yang memungkinkan terjadinya negosiasi.
Bukan hanya rakyat Arab-Palestina yang membutuhkan negara Arab-Palestina, tapi Israel juga. Persoalannya sekarang adalah mengenai konsekuensi dari penyimpangan ini, yi gagasan satu negara non-solusi. Yang dikhawatirkan disini, bukan saja generasi Arab-Palestina akan menjadi lebih radikal, namun hal ini akan menimbulkan tantangan nyata terhadap keYahudian Israel atau status demokrasi atau keduanya. Ini buruk bagi hubungan AS-Israel. Solusi dua negara adalah solusi yang paling buruk, kecuali ada solusi lainnya.
Dalam konteks Regime Mullah Iran, kalau kita kembali ke masa lalu kawasan yi Perang Irak. Penerima manfaat strategis utama dari perang Irak ternyata adalah Iran. Salah satu yang mengejutkan adalah serangan Iran terhadap Israel, dimana  rudal dan drone ditembakkan ke Israel. Serangan Itu tidak hanya dari Iran datangnya tetapi juga dari Yaman dan Irak. Inilah Timur Tengah yang baru, yi Iran Raya.
Hal ini adalah pengingat betapa perang Irak mempunyai kesalahan strategis dalam kaitannya dengan Iran. AS dan sekutunya akan terus menanggung akibatnya atas kesalahan strategis yang terjadi pada Perang Irak di zaman Saddam Hussein.
So Gilad Erdan benar jangan sampai perang kawasan berubah menjadi perang dunia, kalau bom-bom waktu terurai di atas tidak segera diamankan.
Joyogrand, Malang, Tue', Apr' 16, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H