Karenanya, pernyataan Hasto hanya perlu dilihat sebagai bagian dari strategi politik dan retorika yang seringkali muncul dalam konteks politik yang kompetitif.
Coba, merebut PDIP, tuding Hasto adalah semacam kendaraan politik Jokowi, untuk 21 tahun ke depan. Itu ditandaskannya dalam sebuah diskusi bedah buku di NU, yi "PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971" karya Ken Ward (1972).
Pernyataan Hasto Kristiyanto yang menyebut bahwa Jokowi berupaya 'merebut' partai politik Golkar dan PDIP adalah bagian dari rencana politik Presiden untuk 21 tahun ke depan, seperti yang disampaikan dalam diskusi bedah buku di NU, memang cukup menarik.
Dalam konteks yang lebih luas, pernyataan Hasto tsb ada dalam acuan kerangka teori konspirasi. Dalam teori konspirasi, individu atau kelompok cenderung melihat peristiwa politik yang kompleks sebagai bagian dari rencana rahasia yang disusun oleh pihak-pihak tertentu, dalam hal ini Presiden Jokowi. Ini bisa menjadi cara bagi sejumlah politisi untuk menjelaskan fenomena politik yang kompleks dan tidak dapat dipahami dengan cara yang lebih sederhana.
Referensi Hasto Kristiyanto terhadap buku "PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971" karya Ken Ward yang diterbitkan pada tahun 1972 menunjukkan bahwa dia mungkin menggunakan kerangka sejarah untuk menganalisis situasi politik saat ini. Dalam hal ini, mungkin ada pandangan bahwa Presiden Jokowi sedang berusaha memperkuat basis kekuasaannya dengan mengadopsi strategi politik yang telah terbukti efektif dalam sejarah politik Indonesia.
Pernyataan tsb juga dapat dilihat sebagai bagian dari retorika politik yang bertujuan untuk mempengaruhi pandangan publik. Dalam situasi politik yang kompetitif, politisi sering kali menggunakan retorika yang tajam untuk memperkuat posisi mereka dan meraih dukungan massa. Dengan menggambarkan Presiden Jokowi sebagai figur yang merencanakan dominasi politik jangka panjang, Hasto Kristiyanto berusaha untuk memobilisasi dukungan bagi partainya atau menarik simpati dari para pendukungnya.
Pandangan Hasto Kristiyanto tentang rencana politik Presiden Jokowi untuk 21 tahun ke depan boleh jadi hanyalah pengamatan dan analisis pribadinya terhadap berbagai faktor politik yang ada.
Untuk meredam narasi politik yang mungkin mengandung retorika yang tajam atau kontroversial seperti yang dilontarkan oleh Hasto Kristiyanto, ada beberapa langkah yang perlu diambil.
Pemerintah dan tokoh-tokoh politik seyogyanya dapat menyampaikan pesan yang jelas dan konsisten tentang pentingnya stabilitas politik, persatuan, dan kerjasama dalam pembangunan negara. Hal ini dapat dilakukan melalui pidato resmi, konferensi pers, dan media sosial.
Mendorong dialog terbuka dan diskusi yang konstruktif antara berbagai pihak politik, termasuk mereka yang mungkin memiliki pandangan yang berbeda. Diskusi yang dipimpin secara baik dapat membantu meredam ketegangan dan mempromosikan pemahaman bersama.
Mengedukasi masyarakat tentang proses politik, nilai-nilai demokrasi, dan pentingnya menghormati perbedaan pendapat, agar dapat membantu mencegah penyebaran narasi politik yang merusak. Pendidikan politik yang baik dapat membantu masyarakat memahami konteks dan konsekuensi dari pernyataan politik yang provokatif.