Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Anomali dan Ratapan Tak Bisa Lagi Mengorbit Tanpa Jokowi

15 Maret 2024   16:45 Diperbarui: 15 Maret 2024   16:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi. Foto : pngtree.com

Anomali dan Ratapan Tak Bisa Lagi Mengorbit Tanpa Jokowi

Noise kalangan elit, akademisi dan para aktivis di penghujung kekuasaan Presiden Jokowi seakan meresahkan. Apa memang ini buntut dari exercise of power di negeri ini.

Ya sudahlah. Sudah terlalu lama bangsa ini menderita. Bayangkan sejak kemerdekaan 1945 bangsa ini sudah melalui lika-liku perjalanan sulit. Itu semua ibarat Sungai yang mengalir berlika-liku dari hulu ke hilir, dimana ia membentuk semua tepian yang dilaluinya, ada yang terjal, ada yang tinggal diciduk airnya, ada yang cocok untuk mandi dan berenang dsb.

Berefleksi dari umpasa itu, kita pun tersedak sedih karena di tengah kebebasan demokrasi yang luarbiasa sekarang, kita justeru jadi Anomali. Gagal berefleksi tentang siapakah daku now, katakanlah begitu.

Coba, Jokowi sekarang jadi bulan-bulanan tarik-menarik antar berbagai kubu. Jokowi menghilang dari PDIP. Muncul kata "pengkhianat"; seakan rapat dengan Prabowo, dan memang harus rapat karena Prabowo adalah pembantunya dalam pemerintahan, dikatakan meng-endorse; sehabis sidang MK mengenai batas usia-capres muncul kata "politik dinasti"; saat Gibran sang anak dicawapreskan jadi pasangan Prabowo, muncul hujatan ah itu maunya Ibu Iriana; begitu 02 menang telak dalam quick count, sedangkan No 01 dan 03 keok besar, muncul terkaman kecurangan terstruktur dan massif dengan tudingan efek Bansoslah, penyalahgunaan instrumen pemilulah dst.

Begitu Hak Angket mulai melaju di DPR, muncul tarikan lain bahwa Jokowi akan menduduki kursi besar Golkar dalam rangka membangun barisan nasional, bahkan lucunya ada yang mengatakan PDIP pun menyediakan kursi besar semacam itu.

Jokowi effect

Itu semua berangkat dari apa yang dinamakan "Jokowi Effect". Makhluk seperti apa itu. Jokowi Effect mengacu pada dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh kebijakan atau tindakan Presiden Jokowi. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada fenomena di mana keputusan atau langkah-langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi memiliki efek signifikan atau mempengaruhi berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di Indonesia.

Dalam konteks ekonomi, Jokowi Effect dapat merujuk pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diperkenalkan oleh pemerintah Jokowi yang mempengaruhi pasar, pertumbuhan ekonomi, investasi, dan sektor-sektor lainnya. Sementara dalam konteks politik, Jokowi Effect bisa mengacu pada pengaruhnya terhadap dinamika politik dalam negeri, termasuk dukungan publik, popularitas, dan hasil pemilihan umum.

Dalam soal cawe-cawe politik misalnya terbukti pengaruhnya memang kuat. Jokowi dikenal karena karismanya dan kemampuannya untuk berinteraksi dengan masyarakat secara langsung. Gaya kepemimpinannya yang dekat dengan rakyat dapat mempengaruhi persepsi dan opini publik terhadap berbagai isu politik.

Sejak awal masa jabatannya, Jokowi telah menunjukkan komitmen pada reformasi politik dan ekonomi. Langkah-langkah konkret seperti program pembangunan infrastruktur besar-besaran dan upaya untuk memerangi korupsi dapat menciptakan citra positif di mata publik.

Presiden Jokowi memiliki kemampuan komunikasi yang kuat dan sering menggunakan media sosial dan berbagai platform untuk berinteraksi dengan masyarakat. Kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan politik secara langsung kepada publik memperkuat pengaruhnya dalam opini dan perilaku politik.

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi, baik dalam bidang ekonomi, infrastruktur, maupun sosial, memiliki dampak yang nyata bagi kehidupan sehari-hari masyarakat. Keberhasilan dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tsb meningkatkan popularitas dan dukungan bagi Presiden Jokowi.

Faktor-faktor sosio-politik tertentu dalam masyarakat Indonesia, seperti tingkat urbanisasi yang tinggi dan perkembangan media sosial yang pesat, juga memainkan peran penting dalam memperkuat pengaruh Jokowi Effect. Masyarakat yang semakin terkoneksi dan berinformasi cenderung lebih mudah terpengaruh oleh narasi dan pesan yang disampaikan oleh pemimpin politik.

Dengan kombinasi faktor-faktor tsb, pengaruh Jokowi Effect dalam cawe-cawe politik menjadi sangat kuat dan mampu mempengaruhi dinamika politik serta opini publik di Indonesia.

Penjelasan sosio-antropologis

Dalam konteks sosio-antropologis, pengaruh Jokowi Effect dapat dijelaskan sebagai hasil dari dinamika budaya dan struktur sosial yang masih terjadi dalam masyarakat Indonesia, termasuk sisa-sisa dari struktur feodal yang masih ada.

Dalam masyarakat yang masih memiliki ciri-ciri feodal, seperti Indonesia, konsep otoritas dan hierarki sosial sangatlah kuat. Orang-orang cenderung menghormati dan mengikuti figur otoritatif, seperti tetua, pemimpin adat, atau tokoh-tokoh politik yang dianggap memiliki kebijaksanaan dan pengalaman yang layak dihormati. Dalam konteks ini, Presiden Jokowi, sebagai figur otoritatif tertinggi dalam struktur pemerintahan, sering dijadikan panutan dan dihormati pendapatnya, bahkan jika pun terjadi perbedaan pendapat atau penilaian.

Struktur sosial feodal seperti ini sering kali menciptakan hubungan-hubungan ketergantungan yang kuat antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Individu dan kelompok yang lebih kuat atau berada di posisi yang lebih tinggi dalam struktur sosial cenderung menjadi pusat pengaruh dan kekuatan. Dalam hal ini, pengaruh Jokowi Effect dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika relasi sosial yang ada di masyarakat, di mana keputusan dan tindakan Presiden Jokowi menjadi fokus perhatian dan pengaruh.

Media massa dan representasi simbolik memainkan peran penting dalam memperkuat atau melemahkan otoritas dan pengaruh figur publik, termasuk Presiden. Dalam masyarakat yang masih memiliki struktur sosial feodal, media dan simbol-simbol kekuasaan sering digunakan untuk memperkuat citra dan pengaruh pemimpin politik. Presiden Jokowi, dengan dukungan media dan narasi yang dibangun di sekitarnya, dapat memperkuat citra dan otoritasnya dalam masyarakat.

Dengan demikian, dari perspektif sosio-antropologis, pengaruh Jokowi Effect dapat dipahami sebagai bagian dari dinamika budaya dan struktur sosial yang masih ada di masyarakat Indonesia, termasuk sisa-sisa dari struktur feodal. Peran otoritas, relasi sosial, dan representasi simbolik menjadi kunci dalam menjelaskan mengapa pengaruh Jokowi begitu kuat dalam konteks budaya dan struktur sosial yang ada.

Fenomena tarik kesana tarik kemari terkait dengan isu-isu politik seperti kemungkinan Jokowi menjadi Ketua Umum Golkar atau memimpin barisan nasional setelah berakhirnya masa jabatannya dapat dijelaskan dengan beberapa faktor dari sudut pandang sosio-antropologis, terutama terkait dengan sisa-sisa struktur feodal dan dinamika politik di Indonesia:

Dalam budaya politik Indonesia yang masih memiliki ciri-ciri feodal, figur sentral seperti Presiden Jokowi sering kali menjadi pusat otoritas dan pengaruh yang kuat. Meskipun masa jabatannya akan berakhir, otoritas dan pengaruhnya masih dianggap signifikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, upaya untuk menarik Jokowi ke dalam berbagai posisi atau peran politik setelah masa jabatannya berakhir dapat dilihat sebagai usaha untuk mempertahankan pengaruh dan kehadiran figur sentral tersebut dalam politik Indonesia.

Struktur sosial yang masih mencerminkan ciri-ciri feodal sering kali menciptakan hubungan-hubungan ketergantungan yang kuat antara berbagai pihak di dalam politik. Figur seperti Presiden Jokowi, yang memiliki pengaruh besar dalam dinamika politik, sering menjadi fokus dari hubungan ketergantungan tsb. Oleh karena itu, upaya untuk menariknya ke dalam berbagai peran politik setelah masa jabatannya berakhir dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika relasi sosial dan politik yang masih ada di Indonesia.

Media massa dan representasi simbolik juga memainkan peran penting dalam memperkuat atau melemahkan otoritas dan pengaruh figur publik, termasuk Presiden Jokowi. Dalam hal ini, upaya untuk membentuk narasi dan citra yang menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang masih relevan dan penting dalam politik Indonesia dapat menjadi faktor yang mendorong gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan masa depan politiknya.

Dengan demikian, dari sudut pandang sosio-antropologis, gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan masa depan politik Jokowi dapat dijelaskan sebagai hasil dari dinamika budaya politik dan struktur sosial yang masih ada di Indonesia, termasuk sisa-sisa struktur feodal. Otoritas figur sentral, hubungan ketergantungan, dan peran media dalam memperkuat representasi simbolik menjadi faktor-faktor yang penting dalam menjelaskan fenomena ini.

Kacamata Riggs

Bangsa Indonesia juga belum banyak bergeser dari masyarakat prismatik sebagaimana digambarkan Professor Fred W. Riggs dalam bukunya "Prismatic Society".

Konsep "masyarakat prismatik" yang diperkenalkan oleh Profesor Fred W. Riggs mengacu pada model teoritis yang menggambarkan masyarakat yang terfragmentasi, terutama dalam konteks negara-negara berkembang. Masyarakat prismatik memiliki ciri-ciri seperti pluralisme, heterogenitas, dan fragmentasi yang kuat dalam struktur sosial, politik, dan administratifnya.

Dalam konteks Indonesia, meskipun ada beberapa perubahan dan modernisasi yang telah terjadi sejak zaman kolonial hingga saat ini, masih terdapat sisa-sisa struktur prismatik yang tercermin dalam berbagai aspek masyarakat.

Beberapa indikator yang menunjukkan bahwa Indonesia masih belum banyak bergeser dari masyarakat prismatik meliputi antara lain Keragaman Etnis dan Kultural. Indonesia adalah negara yang sangat beragam secara etnis dan budaya, dengan lebih dari 300 suku dan beragam bahasa daerah. Keragaman ini menciptakan tantangan dalam membangun identitas nasional yang kuat dan sering kali memunculkan ketegangan antar-etnis; Fragmentasi Politik. Politik Indonesia masih ditandai oleh pluralisme politik yang kuat, di mana terdapat banyak partai politik dengan basis dan agenda yang beragam. Hal ini dapat mengakibatkan fragmentasi politik dan kesulitan dalam mencapai konsensus dalam pengambilan Keputusan; Fragmentasi Administratif. Struktur administratif Indonesia masih memperlihatkan tingkat fragmentasi yang signifikan, terutama antara pusat dan daerah. Sistem desentralisasi yang diterapkan sejak reformasi belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah fragmentasi administratif ini; Ketimpangan Sosial dan Ekonomi. Meskipun terdapat kemajuan ekonomi dan pembangunan, ketimpangan sosial dan ekonomi masih merupakan masalah serius di Indonesia. Ketimpangan ini bisa memperkuat fragmentasi sosial antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Kendati demikian, Indonesia juga telah mengalami perkembangan dan modernisasi dalam beberapa aspek, termasuk pertumbuhan ekonomi, kemajuan dalam pendidikan, dan peningkatan infrastruktur. Namun, sisa-sisa dari struktur prismatik masih terlihat dalam banyak aspek masyarakat Indonesia, menunjukkan bahwa negara ini belum sepenuhnya bergeser dari konsep masyarakat prismatik sebagaimana yang didefinisikan oleh Fred W. Riggs.

Kacamata Talcott Parsons

Perkembangan terkini menjelang berakhirnya kekuasaan Jokowi, banyak elemen bangsa yang berusaha menarik Jokowi kesana-kemari terkait dengan masa depan politik Jokowi seperti ada yang menawarkan kursi besar Golkar, bahkan ada yang menghembuskan isu kursi besar PDIP dst.

Memakai kacamata Sosiolog besar Talcott Parsons, kita melihat struktur sosial di negeri ini masih mencerminkan sisa-sisa struktur feodal dan prismatik. Ini menjadi landasan bagi kita untuk memahami dinamika politik, termasuk gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan masa depan politik Jokowi. Struktur sosial yang beragam, baik dari segi etnis, budaya, maupun politik, menciptakan kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan koalisi politik.

Parsons menyoroti pentingnya fungsi-fungsi institusi dalam memelihara keseimbangan sosial. Dalam konteks politik Indonesia, institusi-institusi seperti partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, dan media massa memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, mengoordinasikan kepentingan politik, dan memediasi konflik. Gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan Jokowi mencerminkan dinamika antara institusi-institusi politik tsb dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.

Parsons mengakui pentingnya adaptasi sosial dalam menghadapi perubahan dan tantangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik terbaru seperti tarik kesana tarik kemari terkait dengan Jokowi dapat dilihat sebagai upaya para aktor politik untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam dinamika politik, termasuk perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan dan opini publik.

Dengan demikian, pendekatan sosiologis Talcott Parsons memberikan kerangka analisis yang berguna untuk memahami perkembangan politik terbaru dalam konteks Indonesia, terutama terkait dengan dinamika antara struktur sosial, fungsi institusi, dan adaptasi sosial dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan sosial.

Interaksi kompleks dalam konteks menuju equilibrium baru dalam sistem politik Indonesia akan berakhir ketika terjadi konsolidasi atau stabilisasi dalam struktur politik, di mana kekuatan politik utama telah menemukan keseimbangan baru atau kesepakatan yang memadai untuk mengelola perbedaan dan konflik.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berakhirnya interaksi kompleks tsb antara lain ketika kekuatan politik utama berhasil mengonsolidasikan dukungan dan memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat, hal ini dapat mengarah pada terbentuknya keseimbangan kekuasaan yang baru. Ini bisa terjadi melalui proses pemilihan umum yang adil dan transparan, di mana pemenangnya memperoleh mandat yang kuat untuk memimpin; terjadinya kompromi dan konsensus antara berbagai kekuatan politik dalam menanggapi isu-isu krusial yang dihadapi oleh masyarakat dapat membantu menciptakan kondisi menuju equilibrium baru. Proses pembentukan koalisi yang stabil dan inklusif, serta penyelesaian konflik melalui dialog politik yang konstruktif, dapat membantu memperkuat stabilitas politik; perubahan dalam budaya politik masyarakat, seperti peningkatan kesadaran politik, partisipasi aktif dalam proses politik, dan penolakan terhadap praktik-praktik korupsi, dapat membantu memperkuat fondasi demokrasi dan menciptakan kondisi untuk menuju equilibrium baru dalam sistem politik; penguatan institusi-institusi demokrasi, seperti sistem peradilan yang independen, lembaga-lembaga pengawas yang efektif, dan mekanisme akuntabilitas yang transparan, juga dapat memainkan peran penting dalam menciptakan kondisi untuk stabilisasi politik.

Kapan tepatnya interaksi kompleks tsb berakhir dan sistem politik mencapai equilibrium baru akan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang berkembang di masa yad, serta respons dari aktor-aktor politik utama terhadap berbagai tantangan dan peluang yang muncul.

Proses menuju equilibrium baru dalam sistem politik Indonesia dapat memakan waktu dan memerlukan komitmen dari berbagai pihak untuk mencapainya.

Dengan demikian Anomali itu terjawab sudah. Kalangan Akademisi dimanapun boleh saja berunjuk rasa. Tapi seharusnya tetap pada rel akademik, karena sesungguhnya yang harus disoal itu adalah pihak yang mencoba memanfaatkan Jokowi Effect untuk kepentingan politiknya masing-masing. Dan bukannya menyalahkan Jokowi. Lalu yang anti Jokowi, soal-lah mereka, karena mereka hanya meratapi kekalahan dan keterpurukannya, dan tidak berefleksi siapa Jokowi itu sebenarnya bagi mereka, instrumen partaikah, dan tiba-tiba sekarang menyalahkan Jokowi. Ya ampun. Itu kan hanya meratapi bahwa mereka tidak bisa lagi meroket menuju orbit tanpa Jokowi.

Joyogrand, Malang, Fri', March 15, 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun