Kacamata Talcott Parsons
Perkembangan terkini menjelang berakhirnya kekuasaan Jokowi, banyak elemen bangsa yang berusaha menarik Jokowi kesana-kemari terkait dengan masa depan politik Jokowi seperti ada yang menawarkan kursi besar Golkar, bahkan ada yang menghembuskan isu kursi besar PDIP dst.
Memakai kacamata Sosiolog besar Talcott Parsons, kita melihat struktur sosial di negeri ini masih mencerminkan sisa-sisa struktur feodal dan prismatik. Ini menjadi landasan bagi kita untuk memahami dinamika politik, termasuk gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan masa depan politik Jokowi. Struktur sosial yang beragam, baik dari segi etnis, budaya, maupun politik, menciptakan kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan koalisi politik.
Parsons menyoroti pentingnya fungsi-fungsi institusi dalam memelihara keseimbangan sosial. Dalam konteks politik Indonesia, institusi-institusi seperti partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, dan media massa memainkan peran penting dalam membentuk opini publik, mengoordinasikan kepentingan politik, dan memediasi konflik. Gerakan tarik kesana tarik kemari terkait dengan Jokowi mencerminkan dinamika antara institusi-institusi politik tsb dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.
Parsons mengakui pentingnya adaptasi sosial dalam menghadapi perubahan dan tantangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik terbaru seperti tarik kesana tarik kemari terkait dengan Jokowi dapat dilihat sebagai upaya para aktor politik untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan dalam dinamika politik, termasuk perubahan-perubahan dalam struktur kekuasaan dan opini publik.
Dengan demikian, pendekatan sosiologis Talcott Parsons memberikan kerangka analisis yang berguna untuk memahami perkembangan politik terbaru dalam konteks Indonesia, terutama terkait dengan dinamika antara struktur sosial, fungsi institusi, dan adaptasi sosial dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan sosial.
Interaksi kompleks dalam konteks menuju equilibrium baru dalam sistem politik Indonesia akan berakhir ketika terjadi konsolidasi atau stabilisasi dalam struktur politik, di mana kekuatan politik utama telah menemukan keseimbangan baru atau kesepakatan yang memadai untuk mengelola perbedaan dan konflik.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi berakhirnya interaksi kompleks tsb antara lain ketika kekuatan politik utama berhasil mengonsolidasikan dukungan dan memperoleh legitimasi yang kuat dari masyarakat, hal ini dapat mengarah pada terbentuknya keseimbangan kekuasaan yang baru. Ini bisa terjadi melalui proses pemilihan umum yang adil dan transparan, di mana pemenangnya memperoleh mandat yang kuat untuk memimpin; terjadinya kompromi dan konsensus antara berbagai kekuatan politik dalam menanggapi isu-isu krusial yang dihadapi oleh masyarakat dapat membantu menciptakan kondisi menuju equilibrium baru. Proses pembentukan koalisi yang stabil dan inklusif, serta penyelesaian konflik melalui dialog politik yang konstruktif, dapat membantu memperkuat stabilitas politik; perubahan dalam budaya politik masyarakat, seperti peningkatan kesadaran politik, partisipasi aktif dalam proses politik, dan penolakan terhadap praktik-praktik korupsi, dapat membantu memperkuat fondasi demokrasi dan menciptakan kondisi untuk menuju equilibrium baru dalam sistem politik; penguatan institusi-institusi demokrasi, seperti sistem peradilan yang independen, lembaga-lembaga pengawas yang efektif, dan mekanisme akuntabilitas yang transparan, juga dapat memainkan peran penting dalam menciptakan kondisi untuk stabilisasi politik.
Kapan tepatnya interaksi kompleks tsb berakhir dan sistem politik mencapai equilibrium baru akan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang berkembang di masa yad, serta respons dari aktor-aktor politik utama terhadap berbagai tantangan dan peluang yang muncul.
Proses menuju equilibrium baru dalam sistem politik Indonesia dapat memakan waktu dan memerlukan komitmen dari berbagai pihak untuk mencapainya.
Dengan demikian Anomali itu terjawab sudah. Kalangan Akademisi dimanapun boleh saja berunjuk rasa. Tapi seharusnya tetap pada rel akademik, karena sesungguhnya yang harus disoal itu adalah pihak yang mencoba memanfaatkan Jokowi Effect untuk kepentingan politiknya masing-masing. Dan bukannya menyalahkan Jokowi. Lalu yang anti Jokowi, soal-lah mereka, karena mereka hanya meratapi kekalahan dan keterpurukannya, dan tidak berefleksi siapa Jokowi itu sebenarnya bagi mereka, instrumen partaikah, dan tiba-tiba sekarang menyalahkan Jokowi. Ya ampun. Itu kan hanya meratapi bahwa mereka tidak bisa lagi meroket menuju orbit tanpa Jokowi.