Pemerintah dan DPR perlu menjalankan komunikasi publik yang baik untuk menjelaskan perubahan status ibu kota dan langkah-langkah yang diambil untuk menanggapi kekosongan hukum tersebut.
Meskipun Nusantara sudah berstatus ibu kota negara, perlu dilakukan pemantapan lebih lanjut terkait administrasi, infrastruktur, dan semua aspek yang terkait dengan peran sebagai ibu kota.
Dalam konteks ini, transparansi, partisipasi, dan pemahaman bersama di antara pemangku kepentingan akan menjadi kunci untuk mencapai solusi yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menjaga stabilitas hukum.
Presiden Jokowi bisa saja turun tangan bila DPR belum kunjung mengesahkan RUU DKJ. Jokowi dalam hal ini bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Ini harus dicegah jangan sampai terjadi, sebab ini bisa menjadi langkah yang kontroversial, karena penggunaan Perppu biasanya dianggap sebagai instrumen yang bersifat darurat dan seharusnya digunakan dalam keadaan mendesak.
Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Perppu sesuai dengan Pasal 22C UUD 1945. Namun, penggunaannya seharusnya terbatas pada keadaan mendesak.
Sebaiknya proses legislasi dilakukan secara demokratis melalui DPR, sebab bagaimanapun penggunaan Perppu dapat dianggap sebagai tindakan otoriter jika tidak ada urgensi yang jelas.
Langkah signifikan seperti perubahan ibu kota memerlukan dukungan dan partisipasi masyarakat. Penggunaan Perppu tanpa konsultasi dan keterlibatan masyarakat dapat menciptakan ketidakpuasan.
Sebaiknya keputusan tersebut didasarkan pada rekomendasi ahli dan kajian yang menyeluruh terkait dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari perubahan ibu kota.
Sebelum melangkah menggunakan Perppu, carilah solusi alternatif, seperti mendiskusikan lebih lanjut dengan DPR atau mengkaji ulang rencana perubahan ibu kota untuk memastikan keberlanjutan dan keselarasan dengan kepentingan publik.