Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tanpa Dialektika Tak Ada Kemajuan dan Tanpa Kemajuan Tak Ada Dialektika

6 Januari 2024   15:53 Diperbarui: 6 Januari 2024   15:59 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apa itu Dialektika. Foto : jpicofmindonesia.org

Tanpa Dialektika tak ada Kemajuan dan Tanpa Kemajuan tak ada Dialektika

The Phenomenology of Spirit (1807) adalah karya filosofis komprehensif besar pertama Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Awalnya dimaksudkan sebagai bagian pertama dari sistem sains komprehensifnya (Wissenschaft) atau filsafat, Hegel akhirnya menganggapnya sebagai pengantar sistemnya. Karya ini memberikan apa yang bisa disebut sebagai "biografi roh", yaitu penjelasan tentang perkembangan kesadaran dan kesadaran diri dalam konteks beberapa tema sentral epistemologis, antropologis, dan budaya dalam sejarah manusia.

Karya ini menawarkan suatu "biografi roh" atau "perjalanan kesadaran." Dalam konteks ini, "roh" mengacu pada kesadaran dan keberadaan manusia dalam sejarah, sementara "biografi" merujuk pada perkembangan atau evolusi kesadaran itu sendiri. Hegel menguraikan perjalanan ini melalui berbagai tahap atau fase, menjelaskan bagaimana kesadaran manusia berkembang dari bentuk yang lebih sederhana menuju pemahaman yang lebih kompleks dan menyeluruh.

Hegel mengeksplorasi konsep-konsep seperti kesadaran, pengetahuan, kebebasan, dan konflik, serta mengaitkannya dengan perkembangan sosial dan sejarah. Melalui proses dialektika, Hegel menunjukkan bagaimana kontradiksi dan konflik dalam pemikiran manusia akhirnya mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi atau sintesis.

Secara umum "The Phenomenology of Spirit" adalah upaya Hegel untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang sifat dan evolusi kesadaran manusia, serta bagaimana hal tsb terkait dengan perkembangan masyarakat dan sejarah secara keseluruhan. Karya ini memainkan peran penting dalam pengembangan pemikiran filosofis dan telah menjadi karya klasik yang banyak dipelajari dan diperdebatkan oleh para filsuf dan akademisi.

Hegel melihat dialektika sebagai suatu proses yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti. Dialektika, dalam konsep Hegelian, merupakan metode untuk mengatasi konflik pemikiran atau kontradiksi, dan hasilnya adalah pemahaman yang lebih tinggi atau sintesis. Oleh karena itu, dalam pandangan Hegel, tidak ada kepastian bahwa dialektika akan berhenti ketika mencapai suatu tatanan keyakinan tertentu, seperti kepercayaan pada Tuhan, kehidupan sesudah kematian, atau adanya neraka.

Hegel cenderung melihat perkembangan pemikiran sebagai suatu proses yang terus-menerus, di mana kontradiksi dan konflik muncul sebagai bagian alami dari perjalanan intelektual manusia. Meskipun seseorang mungkin mencapai keyakinan yang kuat dalam suatu tatanan, Hegel meyakini bahwa proses dialektika dapat terus berlanjut karena pemikiran manusia selalu berada dalam dinamika yang berkembang.

Dialektika memang sangat terkait dengan manusia dan peradaban tempat dia hidup. Hegel melihat perkembangan kesadaran sebagai proses yang terjadi dalam konteks sejarah dan budaya tertentu. Oleh karena itu, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya suatu masyarakat dapat mempengaruhi bagaimana proses dialektika berkembang.

Perbedaan dalam kondisi peradaban, seperti ketidaksetaraan ekonomi antara negara kaya dan negara miskin, dapat memainkan peran dalam membentuk kesadaran manusia di dalamnya. Kemampuan berpikir dan kesadaran individu dapat dipengaruhi oleh konteks sosial, pendidikan, dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, dalam suatu peradaban atau negara yang miskin, kesadaran masyarakat lebih terfokus pada masalah kelaparan dan kebutuhan dasar, sementara di negara yang lebih makmur, fokusnya bisa beralih ke isu-isu yang lebih kompleks.

Hegel melihat evolusi kesadaran sebagai suatu perjalanan yang terjadi melalui konflik dan resolusi kontradiksi, dan proses ini dapat berbeda-beda dalam berbagai konteks sosial. Pemikiran manusia di berbagai peradaban memiliki perbedaan signifikan dalam hal pemahaman, nilai, dan tujuan. Oleh karena itu, untuk mencapai perubahan signifikan, seperti mengatasi kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan kelaparan, perlu memahami konteks sosial dan budaya masing-masing peradaban.

Dalam konteks ketidaksetaraan global, pemikiran dan kesadaran manusia di berbagai negara sangatlah beragam. Upaya untuk mencapai perubahan sosial yang signifikan harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan ini dan memahami konteks spesifik di mana perubahan tsb diupayakan.

Pertikaian antar bangsa, misalnya Israel Versus Arab-Palestina. Sudah hampir 1 abad lamanya mereka bertikai dan belum juga selesai untuk mensolusikan permasalahan mereka yaitu soal tanah legacy. Israel sudah lama di daerah itu. Semua penggalian arkeologis telah membuktikannya. Sedangkan Arab-Palestina merevisinya dengan menarik garis historisitas keberadaan mereka setidaknya pada tahun 1920-an ketika Inggeris menguasai tanah itu setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I. Akhirnya kita hanya melihat bahwa dialektika itu tak ada, karena masalah revisionisme dari pihak Arab. Yang ada di tanah legacy itu hanyalah konflik dari masa ke masa, karena keyakinan yang dianut dalam memperjuangkan hak atas tanah telah menjadi dogma mati yang tak kenal kompromi bagi salah satu pihak.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keterbatasan aplikasi dialektika dalam kasus konflik Israel-Arab Palestina meliputi :

Kontroversi Historis

Sejarah wilayah tsb memiliki interpretasi yang berbeda-beda antara pihak Israel dan Arab-Palestina. Kontroversi seputar sejarah dan hak kepemilikan tanah menjadi salah satu sumber konflik, dan pandangan yang berbeda tentang masa lalu sulit diatasi melalui proses dialektika jika pihak-pihak tsb memiliki dogma mati yang menghalangi dialog.

Faktor Politik dan Identitas

Konflik ini juga terkait dengan faktor politik dan identitas yang kompleks. Ketegangan politik dan perasaan identitas nasional yang kuat dapat menghambat proses dialektika dan pembaharuan pemikiran.

Interferensi Eksternal

Peran aktor eksternal, baik negara-negara tetangga maupun pihak-pihak lain di dunia, dapat memperumit konflik dan menghambat kemungkinan penyelesaian yang dapat dicapai melalui dialog dan negosiasi.

Ketidakmampuan mencapai solusi yang memuaskan selama periode yang panjang mencerminkan betapa mengerikannya sesuatu yang dogmatis. Tak ada dialektika disini.

Kendati dialektika mungkin sulit diterapkan secara langsung dalam konteks ini, upaya untuk mengatasi konflik masih memerlukan dialog, pemahaman, dan kemauan politik dari kedua belah pihak, serta mungkin melibatkan mediator atau lembaga internasional untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Kalau memang tak lagi ada ruang dialektika disini, maka yang terjadi ke depan ini adalah Armageddon non.Apokaliptik.

Dalam konteks Indonesia, kita juga melihat betapa sulit berpikir dialektis itu ketika kita sampai pada hoaks besar tahun 1965 yaitu pemberontakan PKI. Ketika kita mengatakan peristiwa 1965 adalah hoaks besar, karena beberapa akhli telah menelitinya secara maksimal bahwa itu adalah hoaks besar, pemerintah terlihat berusaha keras menutupinya bahwa itu telah ending selama-lamanya, sementara keluarga korban masih tertinggal dan diperlakukan sebagai warganegara kelas paria. Ada ketidakadilan yang absurd disini.

Ketidaksetujuan dan konflik interpretasi sejarah ini menggarisbawahi kesulitan untuk menerapkan pendekatan dialektika dalam konteks tertentu.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kesulitan ini antara lain :

Kontroversi Historis

Sejarah peristiwa 1965 memiliki berbagai narasi dan interpretasi yang berbeda. Ketidakpastian dan kontroversi seputar fakta-fakta historis membuat sulit untuk mencapai kesepakatan dan sintesis di antara berbagai pandangan.

Politik Identitas

Peristiwa 1965 terkait erat dengan politik identitas dan kekuasaan politik. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu mungkin tidak bersedia untuk mengakui atau menerima pandangan yang berbeda karena hal ini dapat mempengaruhi narasi politik mereka.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengkonsolidasikan kekuasaan atau menjaga stabilitas politik cenderung menggunakan politik identitas untuk memobilisasi dukungan atau menekan oposisi. Hal ini dapat terlihat dalam cara politik identitas digunakan untuk membenarkan tindakan atau menjatuhkan lawan politik.

Peristiwa 1965 menciptakan narasi politik dan sejarah yang mencirikan identitas kelompok tertentu sebagai ancaman terhadap stabilitas dan ideologi nasional. Dengan demikian, politik identitas memainkan peran penting dalam konstruksi naratif dan memahami peristiwa tsb.

Meskipun peristiwa 1965 lebih berkaitan dengan perbedaan ideologi, namun ada juga dimensi etnis dan agama. Beberapa kelompok etnis dan agama memiliki kepentingan politik tertentu dan terlibat dalam konflik tsb sesuai dengan identitas mereka.

Pasca-peristiwa 1965, terdapat stigma dan stereotip terhadap individu dan kelompok yang dianggap terkait dengan PKI. Identitas politik mereka menjadi sumber ketidakpercayaan dan diskriminasi, terutama dalam beberapa dekade pertama pasca-peristiwa.

Ketidaksetaraan dalam pemahaman peristiwa 1965 antara pihak yang berkuasa dan keluarga korban menciptakan kesenjangan yang sulit diatasi. Pemikiran dialektis memerlukan dialog dan pemahaman bersama, tetapi ketidaksetaraan pemahaman bisa menjadi hambatan.

Peristiwa 1965 terkait dengan konflik ideologis antara PKI, yang merupakan partai komunis dengan ideologi sosialis-marxis, dan pihak-pihak anti-komunis yang terutama dipimpin oleh militer dan organisasi-organisasi Islam. Identitas politik dalam hal ideologi sangat mempengaruhi persepsi dan tindakan pihak-pihak yang terlibat.

Via pendekatan Hegel ini dan 2 contoh di muka, kita dapat melihat dialektika sosial-politik akan sulit di sebuah negara yang mayoritas meyakini dogma mati tertentu yang tak terkait dengan ajaran agama, tapi justeru terkait dengan keyakinan sekuler mereka yang tak relevan dengan zaman. Keyakinan sekuler itu adalah kehidupan sosial-politik mereka di masa lalu yang seharusnya ber-evolusi dalam sejarah pemikiran anak manusia.

Kita juga akan sulit membaca apapun dari debat capres-cawapres sekarang. Sekalipun isu-isu yang diperdebatkan aktual, tetapi kalau yang dicari hanya pemenangan calon tanpa dialektika yang seharusnya terjadi dalam sebuah perdebatan politik, maka kita hanya menggantang asap saja disini.

Tanpa dialektika tak ada kemajuan. Dan tanpa kemajuan tak ada dialektika. Dilematis memang.

Pernyataan itu mencerminkan ide bahwa hubungan antara dialektika (proses kontradiksi dan resolusi konflik) dan kemajuan (perkembangan atau perubahan positif) adalah saling terkait dan bersifat timbal balik.

Dialektika, dalam pemikiran Hegelian atau konsep-konsep serupa, melibatkan proses di mana kontradiksi atau konflik dialektis diatasi melalui sintesis, yang kemudian menghasilkan perkembangan atau pemahaman yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, dialektika dipandang sebagai dorongan atau mesin yang mendorong perubahan dan kemajuan dalam pemikiran dan masyarakat. Konflik dan perubahan pemikiran dianggap sebagai katalis untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Di sisi lain, kemajuan menyiratkan adanya perkembangan atau perubahan positif. Tanpa adanya kemajuan atau perubahan, tidak akan ada kontradiksi atau konflik yang mendorong proses dialektika. Dalam konteks ini, kemajuan dianggap sebagai hasil dari proses dialektika yang terus-menerus terjadi. Pemikiran yang statis atau keadaan yang tidak berubah tidak akan memberikan kesempatan bagi proses dialektika untuk terjadi.

Dengan demikian, pernyataan tersebut menciptakan suatu siklus di mana dialektika dan kemajuan saling mendukung. Proses dialektika memicu kemajuan, dan kemajuan menciptakan kondisi untuk terjadinya lebih banyak kontradiksi atau konflik, yang selanjutnya mendorong proses dialektika yang lebih lanjut.

Joyogrand, Malang, Sat'. Jan' 06, 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun