Proses perdamaian yang ideal memang melibatkan negosiasi yang adil dan berkelanjutan antara pihak-pihak yang terlibat. Tantangan muncul ketika posisi yang keras atau tidak fleksibel diambil oleh salah satu pihak. Itulah yang menghambat kemajuan menuju solusi damai.
Upaya untuk mencapai perdamaian memerlukan dialog dan diplomasi yang intensif serta keterlibatan aktif masyarakat internasional. Membangun kepercayaan, meredakan ketegangan, dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak menjadi kunci untuk kemajuan.
Kemana proses "perdamaian" itu? Sepertinya ada lebih dari satu definisi. Menurut orang-orang Arab-Palestina dan orang-orang Israel yang basher, proses "perdamaian" terdiri dari Israel yang setuju untuk memberikan setiap inci tanah di luar garis gencatan senjata '67. Ini termasuk bagian timur Yerusalem dimana Kota Tua Kudus itu berada. Sekitar 400.000 orang Yahudi yang tinggal di tepi barat atau Yudea / Samaria harus dipindahkan.
Pada tahun 2005 ketika kira-kira 8.000 orang Yahudi dipindahkan dari Jalur Gaza setelah 38 tahun berada di sana, perang saudara hampir pecah di Israel.
Ingat, ini adalah keputusan sepihak yang dibuat oleh Israel bahwa tanah untuk perdamaian akan berhasil. Mengingat apa yang terjadi di Jalur Gaza sejak saat itu, sudah jelas konsep perdamaian untuk lahan tidak berjalan.
Jadi mengapa ada orang yang berpikir dan percaya begitu saja bahwa memberi lebih banyak lahan akan membawa kedamaian? Apalagi, ketika Abbas menolak menerima keberadaan negara Yahudi Israel tidak peduli apa perbatasannya?
Pada kenyataannya, tidak ada proses "perdamaian". Jadi Trump tidak melakukan apapun untuk merusaknya dengan menyebutkan fakta sederhana bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Kecuali orang-orang percaya setelah menelan ribuan, jutaan bahkan milyaran kebohongan. Itulah kebenaran bagi mereka. Dalam konteks ini Arafat, Abbas dan Hamas telah melakukan perlindungan terhadap nilai revisionisme dalam pertaruhannya atas tanah Israel sekarang.
Ada perbedaan signifikan dalam pandangan mengenai proses perdamaian. Sementara beberapa pihak, terutama di kalangan orang-orang Arab-Palestina, menginginkan pengembalian tanah-tanah yang diambil oleh Israel setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967 sebagai syarat perdamaian, pihak Israel dan pendukungnya memiliki pandangan berbeda mengenai batasan dan kondisi perdamaian.
Pengalaman pindah dari Jalur Gaza pada tahun 2005 memberikan gambaran bahwa tindakan sepihak untuk memberikan tanah tidak selalu diikuti oleh perdamaian atau stabilitas. Pengalaman tsb juga telah memicu diskusi dan debat dalam masyarakat Israel mengenai kebijakan pengosongan tanah untuk mencapai perdamaian.
Persoalan inti dalam konflik ini mencakup kesediaan dan kemampuan kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan. Pertanyaan muncul apakah pemimpin Palestina, termasuk Mahmoud Abbas, bersedia mengakui hak eksistensi negara Yahudi Israel.
Pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel oleh Presiden Trump menimbulkan kontroversi. Sementara di satu pihak dianggap sebagai pengakuan fakta sejarah, di pihak lain, terutama di dunia Arab, dianggap sebagai tindakan yang merusak prospek perdamaian.