Dalam tradisi lisan, ketika seseorang menyusun silsilah keluarga atau menceritakan asal-usul keluarganya, mereka menggunakan istilah seperti "Ompu Jolma" untuk merujuk kepada nenek moyang pertama atau leluhur tertua dalam garis keturunan mereka.
Sebelum adanya tulisan formal seperti buku tarombo, banyak tradisi dan sejarah lisan diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan munculnya tulisan formal, terutama setelah tahun 1926, istilah-istilah dan konsep-konsep ini menjadi lebih terdokumentasi dan diatur secara tertulis dalam buku-buku sejarah dan silsilah.
Kontroversi seputar penggunaan istilah "Batak" dapat memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebuah komunitas mengidentifikasi dirinya sendiri dan bagaimana identitas tsb dipengaruhi oleh konteks sejarah dan kolonialisme. Faktor seperti pemberian label oleh orang asing, aktivitas misionaris, dan administrasi kolonial Belanda kemungkinan besar telah memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman orang Batak terhadap diri mereka sendiri.
Pemahaman tentang istilah "Si Raja Batak" dan pergeseran dalam penggunaannya tampaknya melibatkan sejumlah faktor sejarah, budaya, dan administratif yang kompleks. Istilah ini baru menjadi lebih umum setelah munculnya buku "Poestaha taringot toe tarombo ni Bangso Batak" pada tahun 1926 oleh Waldemar M. Hoetagaloeng.
Poin yang ditekankan oleh P. Voorhoeve mengenai hubungan antara istilah "Si Raja Batak" dengan pembagian posisi administratif oleh Belanda berdasarkan keturunan raja cukup menarik. Praktik administratif semacam ini kemungkinan besar telah mendorong masyarakat Batak untuk menyusun tarombo sebagai bukti keturunan raja, dan istilah "Si Raja Batak" mungkin menjadi lebih menonjol dalam literatur setelahnya.
Tentang pertanyaan apakah hal ini berarti bahwa orang Batak secara tradisi tidak memiliki nenek moyang pertama.
Cara orang merinci silsilah keluarga dapat berubah seiring waktu dan dalam konteks tertentu. Penggunaan istilah seperti "Ompu Jolma" untuk menyebut nenek moyang tertua sebelum tahun 1926 menunjukkan bahwa tradisi penggambaran silsilah mungkin telah berubah sejalan dengan perkembangan sosial, budaya, dan administratif.
Tarombo Batak menjadi lebih ramai setelah tahun 1926 dan merujuk pada mitologi Batak dapat mencerminkan pergeseran dalam cara orang Batak merekam dan merinci silsilah keluarga mereka. Faktor-faktor seperti pengaruh kolonial Belanda, praktik administratif, dan munculnya literatur tertentu, seperti buku "Poestaha taringot toe tarombo ni Bangso Batak" oleh Waldemar M. Hoetagaloeng, telah memainkan peran dalam mengubah cara orang Batak mendokumentasikan keturunan mereka.
Budaya Batak yang bersifat verbal dan tradisi lisan telah menyebabkan perubahan dalam cara cerita keluarga dan silsilah direkam setelah literatur tertentu diperkenalkan. Peningkatan penulisan tarombo mencerminkan upaya untuk memperjelas dan mengabadikan mitologi, sejarah, dan asal-usul keluarga dalam bentuk tertulis.
Ketika sebuah masyarakat beralih dari tradisi lisan ke bentuk tertulis, terkadang ada kemungkinan bahwa mitologi dan cerita keluarga yang sebelumnya ditransmisikan secara lisan dapat mengalami perubahan atau penyesuaian dalam proses dokumentasi. Hal ini juga dapat menciptakan keberlanjutan dan adaptasi dalam cara suku Batak memahami dan mengartikan warisan budaya mereka.
Masalahnya naskah terkuno Batak kurang lebih 500 tahun lalu adalah naskah Hindu Batak dalam bentuk laklak atau buku dari kulit kayu. Itu pun hanya tersimpan di museum oriental di Belanda. Begitu Hindu Batak raib tak berbekas dalam perjalanan sejarah, orang Batak kembali ke budaya verbal semula yi mitologi Batak.