Istilah Batak tsb terbawa oleh orang luar, para ahli bahasa, penginjil, dan kemudian oleh para pegawai pemerintahan Belanda sehingga lama-kelamaan teradopsi oleh penduduknya sebagai istilah kesukuan.
Yang sedikit mengganggu adalah term "SI Raja Batak". Kalau memang ada  moyang yang bernama Si Raja Batak, maka istilah "Batak" tersebut mestinya sudah digunakan oleh penduduk.
Ketika Uli Kozok seorang Batakolog menanyakan hal ini kepada Johan Angerler, apakah istilah "Si Raja Batak" memang merupakan istilah asli orang Batak (Toba). Johan menjawab bahwa sebutan pertama "Si Raja Batak" di dalam literatur adalah dengan terbitnya buku "Poestaha taringot toe tarombo ni Bangso Batak" oleh Waldemar M. Hoetagaloeng pada tahun 1926.
Apakah ini berarti bahwa "Si Raja Batak" baru lahir pada tahun 1926. Dalam arsip Universiteitsbibliotheek Leiden, Uli Kozok menemukan surat-menyurat yang ditulis oleh P. Voorhoeve (ahli pernaskahan Batak) kepada Pater Promes, seorang pastor Katolik yang juga ahli budaya.
Di dalam surat tertanggal 6 Maret 1985 Voorhoeve mengatakan kepada Pater Promes bahwa dia tidak pernah melihat rujukan pada "Si Raja Batak" sebelum terbitnya buku  W. Hoetagaloeng.
Pater Promes membenarkan bahwa munculnya istilah Si Raja Batak relatif baru. Dalam literatur tentang Batak, termasuk pustaha-pustaha, tidak ada sebutan tentang "Si Raja Batak, dan tarombo atau silsilah yang ditulis sebelum 1926 juga tidak mengenal Si Raja Batak. Lih Dr Uli Kozok dalam http://tinyurl.com/yrvkhuso
Voorhoeve menjelaskan bahwa Belanda membagikan posisi administratif (pegawai negeri) berdasarkan keturunan. Hanya mereka yang dapat memperlihatkan bahwa mereka keturunan raja diperbolehkan menjadi pegawai negeri. Maka orang ramai-ramai mulai menyusun tarombo atau silsilah keluarga (yang secara tradisional tidak pernah ditulis) untuk membuktikan "kelayakan" mereka diterima sebagai pegawai negeri.
Dan baru sejak keluarnya buku W. Hoetagaloeng maka tarombo-tarombo Batak menyebutkan "Si Raja Batak" sebagai leluhurnya.
Apakah hal ini berarti bahwa orang Batak secara tradisi tidak mempunyai nenek moyang pertama? Di dalam tarombo yang ditulis sebelum tahun 1926, moyang tertua kadang-kadang disebut sebagai "Ompu Jolma".
Istilah "Ompu Jolma" merupakan istilah dalam budaya Batak yang merujuk pada nenek moyang atau leluhur tertua. Sebelum buku tarombo ditulis oleh Waldemar M. Hoetagaloeng pada tahun 1926, tradisi menyusun tarombo atau silsilah keluarga di masyarakat Batak umumnya bersifat lisan atau verbal. Oleh karena itu, konsep nenek moyang atau leluhur dinyatakan dalam istilah seperti "Ompu Jolma" ketika disampaikan secara lisan.
"Ompu" adalah gelar penghormatan yang digunakan untuk merujuk kepada orang yang lebih tua atau leluhur. Sementara "Jolma" bisa diartikan sebagai manusia atau individu. Jadi, secara harfiah, "Ompu Jolma" dapat diterjemahkan sebagai leluhur manusia atau leluhur tertua.