Menyibak Fenomena Gen Z Gischa Debora Aritonang di Balik Konser Coldplay
Rabu 15 Nopember ybl, band asal Inggeris Coldplay menggelar konser perdananya di Jakarta. Semula yang bakal melabrak konser itu adalah Novel Bamukmin dedengkot 212, dengan tudingan Band asal Inggeris itu mendukung LGBT yang melanggar syariah Islam.
Tapi berkat Sandiaga Uno, konser tetap berlangsung. Bagaimana cara Sandi membungkam Bamukmin dkk. Ntahlah. Tapi yang penting konser Coldplay berjalan lancar, bahkan beberapa waktu semasih di Jakarta, Chris Martin salah satu pemain Coldplay terlihat jalan sehat nyeker di pinggiran kali di Jakarta.
Asyik memang Coldplay, Namanya ja band idola generasi now, mulai dari  kalangan milenial hingga gen Z. Namun di luar dugaan konser itu cukup banyak memakan korban, karena adanya "penipuan tiket konser Coldplay". Itu terjadi jauh hari sebelumnya.
Penipu ulung itu ternyata masih muda-belia dan chantique lagi. Ia ternyata boru Batak (19 tahun) kelahiran rantau yi Gischa Debora Aritonang atau GDA. Sidik punya sidik Gischa si chantique bengal ini ternyata mahasiswa Fakultas Ekonomi kelas internasional Universitas Trisakti Jakarta.
Lepas dari tudingan pihak kampus bahwa ortu GDA juga terdampak lantaran ulah puterinya itu, yang pasti GDA bakal dijebloskan ke penjara atas dasar Pasal 378 KUHP tentang penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dengan ancaman 4 tahun penjara.
Modus yang digunakan GDA menipu ratusan fans Coldplay yakni mengaku mendapatkan 39 tiket saat "war ticket" pada Mei 2023. Kemudian puluhan tiket itu dijual kepada para pembeli.
Bahwa ybs memiliki kedekatan atau sebagai perantara impresario. Itu adalah bohong. Gischa cukup lihai memainkan rangkaian kebohongan untuk meyakinkan para korban, demikian keterangan Polres Metro Jakarta Pusat.
Pihak kepolisian telah menyita sejumlah barang bermerek dalam kasus ini. Barang-barang mewah itu diduga dibeli dari hasil penipuan yang dilakukan oleh Gischa.
Berbagai barang branded atau bermerek diperkirakan dibeli sejak bulan Mei atau sejak GDA menerima uang pemesanan tiket. Total barang bukti ini kurang lebih Rp 600 juta, kata pihak Kepolisian.
Sejumlah barang bukti yang ditampilkan di antaranya beberapa tas merek Hermes, sandal merek Hermes, hingga Mcbook silver. Selain itu, ada juga miliaran rupiah uang yang disita dari hasil penipuan itu untuk keperluan pribadinya.
Dan sisanya hampir sekitar Rp 2 miliar, itu digunakan untuk kepentingan pribadi  tersangka dan saat ini pihak kepolisian masih melakukan pendalaman atau pengembangan terhadap uang atau barang hasil kejahatan yang dilakukan oleh tersangka -- Lih liputan6.com dalam https://tinyurl.com/ysnkj7hf
Kalau dilihat dari usianya yang masih sangat muda itu, kita tentu bertanya-tanya ada apa dengan GDA yang ber-gen Z ini. Masalahnya dia boru Batak, meski kelahiran rantau. Dia juga kuliah di universitas swasta ternama di Jakarta, meski hanya pernah aktif di semester I saja, sedangkan di semester 2 dan 3 sekarang ia sudah tak aktif lagi, tapi masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Trisakti. Apa Gischa salah gaul atau bagaimana.
GDA adalah fenomena yang serius. Penipuan tiket konser tidak hanya merugikan para penggemar yang membeli tiket, juga dapat merusak reputasi penyelenggara acara dan menciptakan ketidakpercayaan di antara masyarakat, serta citra buruk di kalangan gen Z.
Pihak berwenang dipastikan akan menanggapinya dengan serius. Karena GDA masih muda belia, kita hanya bisa berharap keadilan yang akan ditegakkan haruslah terukur sejalan dengan langkah-langkah yang tepat untuk menanggulangi dampak dari kejadian tsb.
Mengenai motif Gischa. Ini perlu melibatkan sejumlah akhli seperti Psikolog, Antropolog dan Sosiolog. Hasil penelitian yang terintegrasi dari ketiga cabang ilmu itu setidaknya akan mengungkap apa motif Gischa sesungguhnya. Apakah penyebabnya tunggal atau menyeluruh untuk perilaku kriminal seorang Gischa, karena setiap individu tentu memiliki latar belakang, motivasi, dan faktor yang berbeda. Yang kita ketahui sementara ini hanyalah sejumlah faktor umum yang dapat mempengaruhi seseorang, termasuk gen Z seperti Gischa, untuk terlibat dalam tindakan kejahatan seperti motivasi finansial, tekanan sosial, atau masalah psikologis.
Boleh jadi Gischa terlibat dalam penipuan tiket konser dengan tujuan meraih keuntungan finansial, mungkin ada motivasi ekonomi yang kuat di balik tindakan tsb. Juga jangan dilupakan, ada tekanan untuk memenuhi gaya hidup yang dianggap sukses atau bergengsi, yang dapat dipicu oleh konsumerisme atau tuntutan sosial. Itu semua dapat mendorong seseorang untuk terlibat dalam perilaku ilegal.
Setiap individu adalah unik, dan motivasi mereka bisa dari berbagai faktor. Penyelidikan yang lebih mendalam oleh otoritas hukum dan ahli psikologi, antropologi dan sosiologi sangatlah diperlukan dalam konteks ini untuk memahami secara lebih rinci mengapa seorang Gischa melakukan kejahatan tsb.
Tidak semua gen Z seperti Gischa itu jahat, dan seenaknya melakukan tindakan kejahatan. Banyak dari mereka menjalani kehidupan yang positif dan produktif. Bagaimanapun, faktor-faktor seperti pendidikan, dukungan sosial, dan nilai-nilai moral juga dapat memainkan peran penting dalam membentuk perilaku individu.
Gischa adalah boru Batak, tapi ia lahir di Jakarta. Boleh jadi semangat "Hamoraon" yang merupakan salah satu filosofi Batak yaitu raihlah kekayaan sebanyak-banyaknya agar engkau dihormati. Itu pasti didapat Gischa dari lingkungan internalnya. Apakah filosofi ini dominan mempengaruhi Gischa, atau karena dia anak Jakarta, justeru faktor eksternal-lah yang banyak mempengaruhinya. Kita lihat betapa hasrat ingin cepat kaya tapi dengan cara mudah yaitu menipu orang lain semakin menggejala di kota megapolitan seperti Jakarta.
Filosofi atau nilai-nilai budaya tertentu seperti Hamoraon dalam tradisi Batak mungkin saja memainkan peran dalam membentuk pandangan dunia seseorang, tapi tidak semua individu yang memiliki latar belakang budaya atau etnis yang sama akan memiliki perilaku yang serupa.
Tetapi jika memang Gischa terbukti memiliki pemahaman atau interpretasi tertentu terhadap filosofi Hamoraon yang menekankan pada kekayaan dan kehormatan, bisa jadi itulah yang mempengaruhi cara dia melihat kesuksesan dan mendorongnya untuk mencapai keberhasilan finansial. Meski, tak dapat diabaikan bahwa faktor eksternal, seperti tekanan sosial, pengaruh teman sebaya, atau dorongan untuk mencapai tujuan finansial dengan cara yang tidak etis, juga dapat berperan dalam membentuk perilaku Gischa.
Setiap individu adalah entitas unik dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak faktor internal dan eksternal yang dapat berkontribusi pada perilaku seseorang. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang fenomena Gischa ini, diperlukan penelitian psikologis, antropologis dan sosiologis yang lebih intensif.
Gischa tercatat hanya aktif kuliah pada semester 1, sedangkan semester 2 dan 3 sekarang ia tidak lagi aktif, tapi tetap tercatat sebagai mahasiswa Universitas Trisakti. Apakah karena mahalnya beaya kuliah di universitas swasta seperti Trisakti, juga ketidakaktifannya sejak semester 2 hingga semester 3 sekarang. Itu semua yang melatarbelakangi gambaran Gischa terobsesi ingin cepat kaya dengan cara apapun asal semuanya berjalan cepat dan kuliah adalah urusan belakangan.
Kalaulah terbukti Gischa lebih memprioritaskan aktivitas atau usaha di luar kuliah dengan harapan untuk mencapai kekayaan dengan cepat, itu bisa menjadi tanda obsesi Gischa terhadap kekayaan atau kesuksesan finansial tanpa mempertimbangkan pentingnya pendidikan formal. Tapi, ini tetaplah spekulasi dan tidak dapat dijadikan kesimpulan yang pasti.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang tentang pendidikan, termasuk tekanan finansial, masalah pribadi, atau perubahan minat. Pendidikan formal memiliki nilai yang penting dalam membangun fondasi pengetahuan dan keterampilan, dan keputusan untuk tidak melanjutkan kuliah dapat memiliki dampak jangka panjang pada karier dan kehidupan seseorang.
Kita hanya dapat berharap fenomena Gischa dapat terungkap sepenuhnya nanti di pengadilan, agar dalam peralihan generasi, kita dapat memperoleh tuntunan yang benar dan bukannya ngaco seperti jalan pintas Gischa sekarang.
Jika penyidikan tak terukur karena tak mengintegrasikan berbagai disiplin yang diperlukan dalam penyidikan seorang Gischa, kita hanya akan menghasilkan Gischa-Gischa lain di kemudian hari yang takkan pernah mendapat keadilan di tanah airnya sendiri.
Joyogrand, Malang, Tue', Nov' 21, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H