Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tangis Goenawan Mohammad dalam Pusaran Who's Jokowi

7 November 2023   13:58 Diperbarui: 7 November 2023   14:13 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangisan Goenawan Mohammad  & pasangan ber-skor tinggi Prabowo-Gibran untuk Pilpres 2024. Foto : Dikolase dari hajinews.co.id & antaranews.com

Tangis Goenawan Mohammad dalam Pusaran Who's Jokowi

Hari ini putusan MKMK tentang hasil putusan MK yang digugat oleh sejumlah orang yang tidak puas terhadap keputusan MK tentang batas usia capres-cawapres, Mereka menuding Anwar Usman Ketua MK telah menyalahgunakan jabatannya sebagai Ketua MK. Jokowi telah mendorong MK mengambil keputusan kontroversial itu.

Saya tak hendak ikut-ikutan menggugat MK, tapi ingin menegaskan satu hal bahwa keputusan MKMK hari ini (ntah pukul berapapun itu nanti diumumkan) hanyalah seputaran norma atau "ugeran". Apakah para Hakim pemutus itu melanggar norma atau tidak. Yang terbanyak dilaporkan misalnya Ketua MK Anwar Usman yang adalah Paman Gibran sekaligus Adik Ipar Presiden Jokowi, menyusul Hakim Sitompul. Hakim Saldi Isra sendiri yang semula mempersoalkannya, juga dilaporkan.

Yakinlah, sidang MKMK tak akan menganulir keputusan MK bahwa batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, dengan "tambahan" dimungkinkan di bawah itu pun bisa sejauh telah berpengalaman sebagai kepala daerah dan pernah ikut pemilu. Mengapa? Keberadaan MK adalah amanat konstitusi dan apakah mungkin sidang MKMK akan mengkerdilkan keberadaan MK seperti itu dengan menganulir keputusannya. Ya tidaklah, except masalah norma atau "ugeran" thoq.

Sampai menit ini kegaduhan itu semakin menjadi-jadi, bahkan setelah keputusan MKMK pun kegaduhan itu akan terus berlanjut. Mengapa? This is war atau dalam bahasa kromo inggil : Ini pilpres Bung!

Dalam pemilu "One Man One Vote", atau satu warga, satu suara. Itu adalah kekuatan sekaligus kelemahan demokrasi. Tapi bagaimanapun itu pula puncak demokrasi sebagai puncak peradaban politik manusia, kata Francis Fukuyama.

Suara satu orang professor akhli bedah katakanlah nyaris sejajar dengan dr. Christian Barnard, satu orang filsuf pemikir seperti Franz von Magnis Suseno, dan satu orang mantan wartawan senior seperti Goenawan Mohammad, itu sama nilainya dengan suara satu orang petani, satu orang buruh, atau satu orang pekerja serabutan yang SMP pun nggak tamat.

Dengan kerangka demokrasi seperti ini, bagaimana kita merespon berita yang viral tentang Goenawan Muhammad soal Jokowi. Ia menyatakan kekecewaannya pada Jokowi dengan menitikkan air mata.

Mendengar wawancara Goenawan Mohamad dengan Rosi dalam sebuah talkshow di Kompas TV belum lama ini, betapa wartawan senior yang sudah pensiun dari Tempo ini kesungguhannya dalam talkshow itu terkesan jujur dengan segala kesedihannya.

Goenawan Mohamad dalam kesempatan itu menyoal sikap Jokowi atas Gibran, dan putusan MK. Ia merasa Jokowi ingkar janji. MK tak lagi bisa dipercaya. Gibran terlalu dipaksakan untuk diberi jalan tol mendampingi Prabowo Soebianto menjadi calon wakil presiden.

Yang pasti sebagai pandangan pribadi, renungan, juga tontonan Talk Show, ekspresi Goenawan Mohamad itu terasa Wow. Masalahnya kemudian seberapa banyak segmen masyarakat yang diwakili oleh Goenawan?

Seberapa banyak yang kecewa pada Jokowi soal Gibran? Dan sebaliknya, seberapa banyak orang yang justeru optimis, masih percaya Jokowi, yang malah mendukung langkah Jokowi?

Kalau kita masuk kepada hasil riset tentang Data dan Fakta. Dalam konteks ini tak lagi orang per orang, tapi kita menyelami populasi Indonesia secara agregat, secara makro, secara menyeluruh.

Riset di mana pun di dunia ini, itu biasa dilakukan melalui sampel, seperti yang biasa dikerjakan oleh lembaga survei.

Di sini kIta tidak menampilkan hanya satu lembagai survey saja, tapi tiga sekaligus untuk mencelikkan mata kita. Lembaga survey yang dipilih tentulah yang sudah memiliki jejak panjang di Pilpres sebelumnya.

Tiga lembaga itu adalah yang kebetulan melakukan survei pasca putusan MK, bahkan setelah Gibran dideklarasi sebagai cawapres.

Tiga lembaga survei itu al Indikator Politik, LSI dan LSI Denny JA. Bagaimana publik menilai Gibran sebagai cawapres Prabowo, tergambar dari seberapa banyak yang memilih pasangan dimaksud, yi Prabowo-Gibran?

Jika publik kecewa, tentu saja mereka tak memilih pasangan yang mengecewakan. Jika mereka putus asa pada Jokowi, adalah hal yang lumrah, jika mereka tak memilih pasangan capres dan cawapres yang paling terasosiasi dengan Jokowi.

Indikator Politik mengumumkan, bahwa setelah putusan MK, pasangan Prabowo dan Gibran justeru paling unggul. Mereka dipilih rakyat lebih banyak ketimbang Ganjar dan Mahfud, juga Anies-Muhaimin.

Survey yang dilakukan LSI juga memberitakan realitas yang sama. Bahwa setelah putusan MK , pasangan Prabowo dan Gibran justeru paling tinggi. Pasangan ini mengungguli Ganjar-Mahfud apalagi Anies-Muhaimin.

LSI Denny JA melakukan survei pasca putusan MK juga memotret kemenangan Prabowo-Gibran yang sama. Dalam survei LSI Denny JA, lebih jauh lagi tergambar tingkat kepuasan publik atas Jokowi - Lih timeline facebook Denny JA dalam https://tinyurl.com/ynttkmpd

Paska putusan MK, approval rating Jokowi, kepuasan publik padanya masih sangat tinggi di angka 76,7%. Apa arti semua data di atas?

Well, kesedihan dan kekecewaan Goenawan Mohammad itu layak menjadi renungan. Tapi pandangan itu tidak meluas ke kalangan seperti wong cilik. Ingat, di Indonesia, wong cilik itu adalah pemilih mayoritas.

Pandangan Goenawan Mohamad hanya bergema di segmen kecil sebagian kaum terpelajar saja. Tak semua kalangan terpelajar satu pendapat. Di belakang masing masing pasangan capres-cawapres terdapat pula kaum terpelajar yang berbeda posisi.

Bukankah presiden manapun tak bisa berpretensi ingin memuaskan semua segmen masyarakat dari wong gede hingga wong cilik?

Dari pengalaman mengikuti sepakterjang Jokowi  mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI, hingga Presiden RI sekarang, juga mencermati banyak sumber yang bisa dipercaya, majunya Gibran menjadi cawapres sama sekali bukan inisiatif Jokowi.

Kalau ada postingan yang menseolahkan ada kegaduhan antara Presiden Jokowi dengan Megawati PDIP, bahkan ada usul agar Jokowi diimpeach atau dimakzulkan sebagaimana Connie Rahakundini, Eep Syaefulloh Fatah, Meilanie Buitenzorgie dll. Apa rupanya pelanggaran yang dilakukan Jokowi terhadap konstitusi, ideologi negara Pancasila dst. Apa mau kekuatan politik yang ada di parlemen sekarang mengiyakan ide sinting tak berdasar itu. Jawabannya tentu tidak. Terlalu banyak legacy Jokowi yang harus dilanjutkan oleh penerusnya ntah siapapun itu.

Dipilihnya Gibran sebagai cawapres justeru karena pertimbangan elektoral. Gibran dipilih karena memang ia paling potensial membawa kemenangan, seperti yang sudah ditunjukkan hasil survey.

Tentu saja kemenangan yang dimaksud adalah di momen ketika survey dilakukan. Apa yang akan terjadi di hari pencoblosan, 3 bulan dari sekarang (Pebruari 2024), tentu segala hal masih terbuka.

Dari kubu Prabowo sendiri, harus pula dilihat Gibran bukanlah satu- satunya cawapres yang dipertimbangkan. Ada saingan Gibran yang tak kalah hebat, seperti Erick Tohir, Khofifah, Airlangga Hartarto.

Bahkan ketika putusan MK sudah memungkinkan Gibran bisa maju cawapres, masih belum pasti Gibran yang akhirnya dipilih oleh Prabowo dan koalisinya. Persaingan sangat ketat bahkan sampai jam-jam terakhir.

Jika lebih banyak rakyat yang kecewa pada Jokowi, dan Gibran, seperti yang disuarakan oleh Goenawan Mohamad, hasil survey Prabowo-Gibran akan jeblok. Kenyataanya, Prabowo- Gibran justeru paling unggul.

Hal yang jauh lebih mendasar adalah sikap kita kepada demokrasi, hak asasi dan konstitusi dalam menyikapi kasus Gibran sebagai calon wakil presiden.

Dalam demokrasi dan hak asasi, seorang warga tak boleh dilarang menjadi calon presiden (atau jabatan apapun yang dipilih lewat pemilu) semata hanya karena ia anak petani, ataupun semata ia anak presiden, atau semata karena ibu atau bapaknya sedang menjabat.

Hal lain yang juga mendasar yi yang tak dilarang oleh konstitusi jangan dilarang oleh opini publik. Periksa saja konstitusi dimana pun di berbagai negara demokrasi di dunia ini. Tak ada larangan anak presiden mencalonkan diri sebagai calon presiden ketika ayahnya masih menjadi presiden.

Jika tak dilarang oleh konstitusi mengapa pula harus dilarang oleh mantan wartawan senior, budayawan, dokter bedah, pemikir, ahli hukum dst.

Bukankah yang menjadi kata akhir nanti adalah pilihan rakyat banyak secara menyeluruh, bukan pilihan para cendekiawan, ahli hukum, dan orang- perorang lainnya.

Air mata Goenawan Mohamad di depan Rosianna Silalahi dalam sebuah talkshow di Kompas TV memang Wow pangkat sepuluh bahkan lebih dari itu. Tapi seyogyanya kita pun bisa menghargai pandangan dan penilaian lebih banyak orang yang memiliki pandangan yang berbeda.

Tetaplah engkau menangis wahai Goenawan Mohammad, karena itu hanyalah untuk kepentingan rating talkshow Kompas TV, tapi bersukacitalah wahai wong cilik pemilih mayoritas, karena pemilu serentak sampai kapan pun tetaplah pesta rakyat. Kalianlah ternyata yang mengenali siapa Jokowi dan Gibran itu.

Silakan pilih menu yang telah tersedia di meja pemilu dan/atau pilpres kita.

Joyogrand, Malang, Thu', Nov' 07, 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun