Usai perang kemerdekaan 1948, Israel menolak mengizinkan pengungsi kembali ke rumah mereka. Sejak itu, Israel menolak tuntutan Arab-Palestina untuk mengembalikan kaum diasporanya sebagai bagian dari perjanjian damai, dengan alasan hal itu akan mengancam mayoritas warga Yahudi di Israel.
Tidak ada skenario akhir perang
Mesir khawatir sejarah akan terulang kembali dan sejumlah besar pengungsi Arab-Palestina dari Gaza akan menetap selamanya di pengungsian di luar Gaza.
Hal ini sebagian disebabkan karena tidak ada skenario yang jelas mengenai bagaimana perang kali ini akan berakhir.
Israel mengatakan mereka bermaksud menghancurkan Hamas karena aksi berdarah mereka yang mengamuk di kota-kota di Selatan Israel. Namun tidak ada indikasi mengenai apa yang mungkin terjadi setelahnya dan siapa yang akan memerintah Gaza. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Israel akan menduduki kembali wilayah Gaza untuk jangka waktu tertentu, sehingga memicu konflik lebih lanjut.
Militer Israel mengatakan warga Arab-Palestina yang mengikuti perintahnya untuk mengevakuasi diri dari Gaza utara ke bagian selatan Jalur Gaza akan diizinkan kembali ke rumah mereka setelah perang berakhir.
Mesir khawatir pertempuran bisa berlangsung bertahun-tahun jika Israel berpendapat mereka belum cukup menumpas militan. Sebagaimana diketahui kalangan militer tahu persis Hamas tak mudah ditumpas, karena memiliki jaringan terowongan kl 300 Km di bawah Gaza. El-Sissi mengusulkan agar Israel menampung warga Arab-Palestina di Gurun Negev, yang bertetangga dengan Jalur Gaza, sampai IDF mengakhiri operasi militernya yang sulit ditebak kapan berakhirnya.
Ketidakjelasan Israel mengenai niatnya di Gaza dan evakuasi penduduk merupakan suatu permasalahan. Kebingungan ini memicu ketakutan di lingkungan sekitar.
Mesir telah mendorong Israel untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, dan Israel pada Rabu mengatakan pihaknya akan mengizinkannya, meski tidak menyebutkan kapan. Menurut PBB, Mesir, yang sedang menghadapi krisis ekonomi yang semakin parah, telah menampung sekitar 9 juta pengungsi dan migran, termasuk sekitar 300.000 warga Sudan yang tiba tahun ini setelah melarikan diri dari perang di negara mereka.
Namun negara-negara Arab dan banyak warga Arab-Palestina juga mencurigai Israel mungkin menggunakan kesempatan ini untuk memaksakan perubahan demografis permanen guna menghancurkan tuntutan Arab-Palestina akan status negara mereka di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, yang juga direbut oleh Israel pada tahun 1967.
Tak heran Mesir uring-uringan dan curiga eksodus warga Arab-Palestina dari Gaza dimaksudkan untuk menghilangkan perjuangan Arab-Palestina, perjuangan terpenting dunia Arab selama ini. Seandainya negara demiliterisasi Arab-Palestina telah terbentuk sejak dulu melalui negosiasi, maka tidak akan ada perang besar yang terjadi seperti sekarang.