Mengapa ia cenderung pada Prabowo, dengan terbentuknya relawan Prabu atau Prabowo dan Budiman Bersatu. Itu bukan penyimpangan ideologis.
Kalau ia memilih negara khilafah atau negara koboi yang main hajar terhadap bangsanya sendiri. Itulah penyimpangan ideologis, dan Budiman layak dihukum PDIP dengan dipecat seperti sekarang. Tapi ini dipecat tanpa ba bu harus ada pertanggungjawaban di hadapan partai. Itu jelas tak rasional dari segi kepartaian, melainkan emosional.
Coba nikmati lagu "Bridge Over Troubled Water" atau Jembatan di atas air keruh nggak keruan dari duo musik AS, Simon dan Garfunkel. Lagu metaforis ini menyenandungkan tentang seseorang yang siap untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada seseorang yang sedang mengalami kesulitan atau kesusahan. Atau menggambarkan seseorang yang bersedia menemani dan membantu melintasi masa-masa sulit seseorang dalam hidup. Singkatnya lagu ini bertema dukungan, persahabatan, dan cinta dalam menghadapi kesulitan.
Ketika kamu merasa lemah; Saat-saat gelap datang; Dan teman-teman hanya akan membuatmu tertawa
Ketika perasaan sudah menghilang; Jika punggungmu terasa benar-benar merana; Dan ketika malam jatuh begitu cepat; Aku akan berada di sisimu
Sayang, Bridge Over Troubled Water itu ditampik PDIP. Pokoknya harus Ganjar dan Ganjar. Itu perintah Bu Banteng. Padahal jauh sebelum Budiman berpendapat drastis seperti itu, cukup banyak orang yang menyarankan sebaiknya PDIP dan Gerindra membentuk koalisi agar dalam satu putaran saja Pilpres 2024 selesai sudah. Misalnya untuk sekarang Prabowo dulu, barulah periode berikut Ganjar. Tapi karena PDIP ngotot harus jadi The Ruling Party lagi, maka puah jadilah Ganjar setelah Puan dicancel bukan karena budaya cancel, tapi ya memang harus dicancel, karena rakyat nggak suka PDIP bergaya dinasti seperti ini.
Apa boleh buat tahi kambing bulat-bulat dimakan jadi obat. Masalah ini bagaimanapun harus diluruskan publik, karena nggak mungkin Prabowo melulu strategis. Prabowo juga harus merakyat dan harus tetap terasah intelektualitasnya.
Yang pasti, pilihan tipe kepemimpinan yang diperlukan untuk Indonesia di era pasca-kepemimpinan Jokowi tidak hanya tergantung pada satu karakteristik kepemimpinan saja. Idealnya, seorang Capres harus memiliki campuran berbagai tipe kepemimpinan, termasuk sifat-sifat populis, intelektual, dan strategis. Dalam konteks yang lebih luas, kepemimpinan yang efektif memerlukan berbagai kualitas dan kemampuan yang dapat mengatasi tantangan dan memimpin negara dengan baik.
Beberapa pertimbangan
Benar, capres pilihan haruslah populis. Itu diperlukan karena dapat berhubungan dengan rakyat secara langsung, mendengarkan aspirasi mereka, dan merespons kebutuhan dan masalah mereka. Ini adalah aspek penting dalam demokrasi, karena pemimpin harus memahami dan mengakomodasi keinginan rakyat.
Benar, capres pilihan haruslah intelektual, karena ybs akan berkemampuan memahami isu-isu kompleks, merumuskan kebijakan yang cerdas, dan memecahkan masalah yang rumit. Itu adalah aspek penting dalam mengelola pemerintahan dan memajukan negara.