Gus Dur ingin NU tetap menjadi organisasi yang independen dan tidak terkooptasi oleh pihak-pihak politik atau kepentingan-kepentingan eksternal. Dengan kembali ke Khittah 26, ia berharap NU bisa tetap setia pada misi asalnya tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal.
Gus Dur mendorong NU untuk aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak rakyat. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan pentingnya keadilan dalam masyarakat.
Dalam konteks Indonesia yang beragam, Gus Dur ingin menjaga NU dari potensi ekstremisme dan konflik. Dengan kembali ke Khittah 26, ia ingin mempromosikan Islam yang moderat dan toleran.
Upaya Gus Dur untuk "kembali ke Khittah 26" adalah bagian dari visinya untuk menjadikan NU sebagai organisasi yang lebih terbuka, inklusif, dan berperan aktif dalam masyarakat dan politik Indonesia.
Tak heran Gus Dur adalah tokoh yang dihormati dalam sejarah NU dan Indonesia secara umum karena upayanya dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia.
Mengenang Impeachment Gus Dur
Gus Dur mengalami pemakzulan (impeachment) dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia, dan pada saat yang sama, Muhaimin Iskandar memimpin fraksi di DPR yang mendukung Presiden Esbeye.
Gus Dur merasa dukungan Muhaimin Iskandar terhadap Esbeye adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip dan pandangan politik yang dipegang oleh PKB saat itu. Gus Dur juga merasa tindakan Muhaimin Iskandar telah mencabut dukungan PKB dari pemerintahan yang sebelumnya ia pimpin.
Yenni Wahid, bersama dengan sejumlah pendukung Gus Dur, menganggap tindakan Muhaimin Iskandar sebagai kudeta dalam arti tindakan tsb telah menggulingkan atau mencabut Gus Dur dari posisi politik yang penting dan mengubah arah politik PKB.
Ini adalah salah satu contoh konflik internal yang kompleks dalam politik Indonesia, terutama di kalangan partai politik yang memiliki akar dalam organisasi-organisasi sosial dan agama seperti NU. Konflik ini berdampak panjang pada dinamika politik Indonesia.
Musykil