Batak terdiri dari 5 puak utama yi Batak Toba, Batak Angkola atau Mandailing, Batak Pakpak, Batak Simalungun dan Batak Karo. Kelimanya mempunya pijakan budaya yang sama yi Dalihan Natolu atau Tungku nan Tiga yang pada intinya adalah aturan dasar bagaimana masyarakat di atur oleh tokohnya dengan Dalihan Natolu sebagai filosofi, sebagai aturan dasar, sebagai semacam protap berjalannya adat-istiadat dst.
Istilah Batak itu sendiri adalah istilah yang diciptakan Antropolog Belanda. Batak dari kata Bataha artinya orang pedalaman sumatera utara yang dianggap pemerintah kolonial Belanda ketika masih terbelakang. Di masa kemerdekaan sekarang, yang benar adalah orang Toba, Orang Angkola atau Mandailing, orang Pakpak, orang Karo dan orang Simalungun. Tapi pastinya lingua franca di tanah Batak secara keseluruhan adalah Bahasa Toba.
Yang perlu sekarang pasca deklarasi tarutung itu adalah bagaimana agar keculasan politik para poliyo di Sumut tidak lagi terulang. Dengan kata lain, menetralisir pentas politik Sumut dengan nucleus Medan. Itulah tugas terpenting politisi Batak yang berkiprah di pusat maupun Sumut.
Batak Karo, Batak Mandailing dan Batak Simalungun yang terkesan kuat semakin menjauh dari visi Batak Unity. Perjalanan waktulah nanti yang membuktikan apakah mereka tetap berkultur Dalihan Natolu seraya menampik sebuah kebersamaan meski sadar sepenuhnya akan alasan sejarah dan kultural yang melatarbelakangi pemekaran Protap. Atau mereka pasti akan bergabung apabila kelak terbukti Protap adalah rumah bersama yang akomodatif untuk keragaman Batak dan juga akomodatif untuk kemajemukan sub-etnik lainnya yang settled di seluruh tanah Batak.
Dan bagi mereka yang sinis dan kemudian membombardir pemekaran Protap sebagai sebuah omong kosong karena SDA di tano Batak tak menjanjikan apapun. Mereka adalah angkatan muda yang tak punya pengetahuan memadai tentang SDA tano Batak. Mereka adalah generasi yang gelagapan mencari jatidiri di rantau orang, karena mereka memang lahir dan besar di tanah Diaspora. Karenanya dapatlah dimaklumi mengapa mereka begitu sembrono dalam memandang Protap sebagai daerah yang tak punya SDA yang mumpuni- Lih Parlin Pakpahan dalam kompasiana.com https://tinyurl.com/27yjuemt
Mereka tak pernah tahu betapa potensi Geothermal dari sejumlah titik energi panas bumi di Taput akan dapat melayani seluruh kebutuhan energi Sumut di masa datang. Mereka juga tak pernah tahu bahwa bukan sawahladang seperti di pulau Jawa yang menjadi hari depan industri agro cikalbakal Protap, melainkan tanaman ekonomi yang laris di pasar dunia seperti Kopi, Sawit, Karet, Pinus, Tembakau, Kakao, Haminjon (Styrax/Kemenyan), Kayu Manis, Kemiri, Aren, Andaliman; tanaman buah-buahan seperti Jeruk, Marquica, Terong Belanda, Mangga, Nenas, Durian dst.
Belum lagi potensi pertambangan yang masih tidur semuanya seperti Mika, Pasir Kuarsa, Zeolit, Kaolin, Feldspar, Batu Gamping, Sulphur, Emas di Parlilitan dll.
Jangan pula dilupakan harta karun tanah Batak di Batang Toru Forest yang begitu kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga Emas. Tanah Batak pun punya lautan. Coba cermati kekayaan laut di pantai barat Sumut yang terentang mulai dari Natal hingga perbatasan Aceh.
Cermati juga potensi pariwisata dengan seluruh obyek wisata alam di kawasan Bukit Barisan dengan nucleus Danau Toba dan obyek wisata budaya yang tinggal digali dari khasanah kebudayaan Batak secara keseluruhan.
Ini bukanlah apologi, tapi gambaran apa adanya tentang kekayaan alam di seluruh kawasan tanah Batak dengan maksud agar angkatan muda yang lahir dan besar di tanah Diaspora tidak lagi salah dalam menakar SDA di rumahnya sendiri.
Di balik kegagalan pemekaran Protap pada 2009, dalam hati kecilnya semua orang Batak merindukan Batak Unity. Hanya saja syakwasangka antar ke-5 puak utama Batak selalu muncul di saat kerinduan itu hendak mewujud menjadi kenyataan.