So, mengubah masyarakat NTT itu tidak bisa revolusioner untuk semua kelas. Kelas aristokrasi NTT toh masih ada ntah itu Usfinit dan sebangsanya. Apa ini harus ditumpas dalam rangka akselerasi pembangunan. Tentu tidak. Tapi pahamilah idiom-idiom mereka dalam berpikir. Yang termudah untuk diubah adalah angkatan usia produktif sebagaimana telah disinggung di muka.
Bukan hanya Viktor yang nggak sabaran dalam memimpin NTT. Lihat, pada tahun 2016, seorang bupati di NTT, bernama Stefanus Bria Seran menjadi kontroversi karena telah menghukum sejumlah warga dengan memaksa mereka untuk menyentuh dan mengusapkan lumpur ke wajah mereka sebagai bentuk hukuman. Aksi ini menjadi kontroversial dan menarik perhatian nasional karena dianggap merendahkan martabat dan melanggar hak asasi manusia warga.
Peristiwa itu terjadi di daerah suku Nagekeo di Kabupaten Nagekeo, NTT. Suku Nagekeo adalah salah satu suku yang mendiami wilayah tsb.
Praktek semacam ini saya kira tidak mewakili seluruh suku Nagekeo atau seluruh penduduk NTT. Bentuk hukuman seperti ini bermuasal dari kepercayaan lokal atau tradisi tertentu di wilayah tsb. Tapi, respon terhadap tindakan itu bisa sangat beragam, termasuk protes dan kecaman terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan martabat individu.
Di berbagai masyarakat ntah di NTT ataupun daerah-daerah lain di Indonesia, terdapat beragam praktek adat atau hukum tradisional yang berbeda-beda. Beberapa dari praktek semacam itu dapat berupa bentuk hukuman atau cara untuk menegakkan norma dan aturan dalam masyarakat. Namun, banyak dari praktek ini telah berubah atau berkurang seiring dengan perubahan sosial dan budaya seiring perjalanan waktu.
Yang perlu dipahami mendalam di NTT yang luas dan beragam penduduknya itu adalah hal-hal mendasar sbb :
Lembaga Adat. Banyak suku di NTT memiliki lembaga adat yang mengatur norma-norma dan hukum tradisional. Praktik ini dapat mencakup penyelesaian sengketa, hukuman bagi pelanggaran tertentu, dan pengaturan kehidupan sehari-hari.
Hukuman Fisik. Selain praktek usap lumpur di wajah, ada juga kasus di mana pelanggaran terhadap norma adat dapat dihukum dengan hukuman fisik seperti cambuk atau pukulan.
Sistem Kompensasi. Beberapa suku menerapkan sistem kompensasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa. Misalnya, pelanggar mungkin diminta untuk memberikan barang-barang tertentu kepada pihak yang merasa dirugikan.
Hukuman Sosial. Hukuman sosial seperti pengucilan dari masyarakat atau pemisahan dari aktivitas tertentu dapat menjadi bagian dari praktek adat dalam beberapa suku.
Ritual dan Upacara. Dalam beberapa kasus, pelanggaran norma adat dapat diatasi melalui ritual atau upacara tertentu yang dirancang untuk mendamaikan hubungan dan mengembalikan keseimbangan sosial.